Ratu Mihika pagi-pagi telah hadir di bilik Kavra.
"Kau akan menemani Padmani pagi ini?"
Kavra menghela napas.
"Bukankah para putri memiliki acara sendiri hari ini? Bersenang-senang di pemandian?" Kavra bertanya, merasa malu dan kurang berminat membahasnya.
"Akan sangat baik bila kau menemaninya berkeliling Gangika," Mihika menegaskan. "Jangan merendahkannya, Panglima Kavra. Kita sedang menyatukan dua kerajaan."
Kavra membungkukkan badan. Apakah ia harus menemani para putri mandi sekalian? Pikirnya jengkel. Benaknya dipenuhi berbagai lintasan. Bayangan wajah para panglima yang tampak tegang ketika perahu Kavra berbalik, gerakan isyarat tangan Nami yang memintanya tak melanjutkan perjalanan. Ucapan Rakash yang mencurigakan, bisik-bisik Shaka dan Ananta yang membuatnya berpraduga. Juga, kehadiran Milind yang sering membuatnya sesak napas.
Kejadian di perahu tadi malam benar-benar menguras perhatiannya hingga ia sulit tidur dan terbangun sangat lelah. Untung pagi ini dilaluinya dengan bersemedi hingga hati sedikit tenang dan tubuhnya merasa nyaman, sebelum perasaannya kembali rusak oleh kehadiran Mihika.
"Kavra?"
"Baik, Yang Mulia," Kavra mengiyakan. "Hamba akan menemui Putri Padmani sebelum mengadakan rapat dengan para hulubalang."
Alis Mihika naik, "rapat? Ini adalah masa perayaan, Kavra! Waktunya kita bersenang-senang! Jangan biarkan waktumu habis oleh pekerjaan. Kau harus menyediakan waktu berdua bersama Padmani."
Kavra membungkuk hormat, kembali. Di luar bilik Kavra, sang ratu berpapasan dengan Milind yang tampaknya cukup lama menunggu.
"Bisakah kau tak mengganggunya, Panglima Milind?" Mihika menyindir tajam.
Kavra menaikkan alisnya separuh. Demi melihat Milind, ia kembali merasa paginya akan sangat runyam. Bila Mihika memintanya bersenang-senang, Milind adalah sosok yang sebaliknya. Ia pasti akan memintanya bekerja dan berpikir sepanjang waktu. Tidakkah ia bisa tenang pagi ini?
❄️💫❄️
Kavra terpaksa menyapa Padmani pagi itu, walau merasa sungkan harus bercakap-cakap di depan para putri yang bersiap ke pemandian. Para dayang berjajar di belakang mereka, menyiapkan berbagai jenis pakaian dan alat-alat kecantikan yang tak pernah diketahui kaum lelaki.
Yami dan Calya saling mengedipkan mata.
Padmani merona.
"Semoga hari-hari Paduka Tuan Putri semua menyenangkan dan indah selama di Gangika," Kavra memberikan sambutan penghormatan singkat.
Kavra menatap Padmani hingga sang putri makin merona dan menundukkan kepala.
"Pergilah, Panglima," Yami berbisik pelan, menggamit pelan lengan Padmani. "Ia bisa pingsan kau tatap seperti itu."
Kavra tersenyum dan berpamitan.
Sang panglima bergegas menuju satu tempat tersembunyi yang telah menjadi kesepakatannya bersama hulubalang Sin. Kejadian di malam perayaan yang dapat ditangani dengan cukup baik oleh pasukan Nistalit, dilaporkan. Bukti-bukti korban penyerangan dan musuh yang mati, semuanya disimpan baik dalam perlindungan mantra hulubalang Sin. Ruangan tersembunyi itu terletak di bawah bilik peraduan Kavra, bersebelahan dengan ruang berlatihnya yang luas dan dipenuhi berbagai persenjataan.
"Milind mendatangiku pagi ini, Sin," gumam Kavra. "Haruskah aku memberitahukannya?"
Sin terdiam.
"Hanya Nistalit asli yang pernah berhadapan dengan Nistalit bercakar. Selain itu, pasukan Panglima Milind di Girimba," ujar Sin. "Kita berhadapan dengan musuh yang tak biasa. Kerjasama akan menguntungkan, hamba rasa."
Kavra bersedekap, tampak berpikir keras.
"Biarkan Milind melihat mayat Nistalit," gumam Kavra. "Tentang mayat Akasha Giriya yang membelah dari tubuh Nistalit bercakar, harus kita sembunyikan."
Sin mengiyakan.
Sejenak kemudian Milind bergabung bersama mereka, tampak tak terkejut melihat mayat Nistalit bercakar.
"Apakah bisa kita panggil pasukan Nistalitmu yang telah berhasil membunuh mereka?" Milind bertanya.
Kavra memandang Sin.
"Mereka pasti sudah bangun, bukan?" Milind bertanya. "Bolehkah aku memanggil Janur juga? Hulubalang Sin dan hulubalang Janur yang melatih Nistalit. Kupikir akan baik bagi kita untuk melihat pendapat masing-masing. Lagipula, Janur pernah melawan Nistalit bercakar."
Kavra memberikan isyarat pada Sin, menyetujui.
"Panggil mereka cepat ke mari," Kavra berujar. "Gunakan tunggangan angin beberapa hulubalang."
Milind mengerutkan alis, "tunggangan angin? Bukankah mereka hanya berada di tenda tepian sungai?"
Sin terdiam. Kavra mendengus.
Milind terdiam seketika, terhenyak.
"Demi Kebaikan Abadi!" gumam Milind. "Kalian masih menyuruh mereka bekerja di saat perayaan Gangika ditujukan bagi semua rakyat dan seluruh tingkatan prajurit untuk bersenang-senang? Kavra, apa kau tak punya perasaan kasihan sedikitpun??"
"Tak perlu mengajariku, Milind. Kau ingin tetap di sini, atau tidak?" Kavra sedikit mengancam.
❄️💫❄️
Sin hadir bersama Nami, Dupa dan Soma.
Ketiganya berpeluh dan berdebu. Luka di tubuh masing-masing masih terbebat. Sin memberikan minum pada Soma, yang langsung membaginya pada Dupa dan Nami.
"Siapa yang mau bercerita lebih dahulu?" Kavra bertanya tegas.
Soma tampak lebih siap. Menceritakan secara jelas dan lengkap bagaimana penjagaan mereka di tepian hutan Loh Dhamarga berakhir dengan pertarungan melawan Nistalit bercakar. Sebagian prajurit Nistalit tewas, sebagian luka-luka dan harus beristirahat. Yang sehat dan kuat, kembali bekerja, berkali lipat menggantikan mereka yang sedang sakit.
"Mengapa Nistalit," Janur bergumam, "…mengapa hanya pasukan Nistalit yang diserang. Mengapa mereka tidak menyerang pasukan lain yang juga berjaga di tepian sungai?"
"Kami berusaha menahan mereka agar tetap di daerah tepian hutan," Sin menjelaskan, sedikit berbangga. "Sesuai arahan Panglima Kavra, bila terjadi apapun hal buruk, sebisa mungkin ditahan. Jangan sampai merambat ke tengah pesta perayaan."
Janur menatap Sin, merasa hal tersebut masuk akal. Walau hatinya menyangkal.
"Mereka sangat kuat," Janur berujar. "Sulit dibunuh. Bagaimana kalian bisa membunuhnya?"
Soma memandang ke samping, ke arah Dupa berdiri. Dupa menjelaskan bagaimana mereka berusaha mengalahkan dengan segenap senjata yang dimiliki. Pisau, pedang, tombak, kapak. Apapun yang menjadi alat dan senjata para buruh bekerja. Alat yang berubah menjadi senjata itu biasa digunakan pasukan Nistalit untuk berlatih dan sekarang, melumpuhkan lawan.
Janur berlutut, memandang para Nistalit bercakar yang telah mati. Sebagian telah kehilangan tangan dan kaki, bahkan terluka sangat di beberapa bagian. Pakaian mereka compang camping, dengan bagian tubuh dan muka yang memiliki luka kerut khas cambuk Kuncup Bunga. Janur memperhatikan seksama. Semua yang terbaring di situ memiliki beberapa luka yang tampak mirip. Luka dengan lubang yang tampak kelabu kehitaman, jejak hangus atau sebaliknya, kebekuan yang mengeraskan. Luka menganga di bagian dada tampak jelas mengakhiri kehidupan Nistalit bercakar.
"Ada yang bisa menjelaskan luka ini?" Janur berkata.
Entah mengapa, Soma dan Dupa serentak menoleh ke arah Nami.
Kavra dan Milind berdiri tegak di hadapan mereka semua, tenang dalam diam. Menahan napas. Kedua panglima hanya membisu dan mengamati kejadian di hadapan yang telah ditangani dengan baik oleh para hulubalang.
"Nami?" Janur mendekatinya.
Mulut Nami terbuka, lalu membeku kemudian. Nami menatap ke arah Sin, yang memberikan isyarat gelengan kepala samar.
"Kau sepertinya mau bicara," Janur mendesak.
"Kau tak perlu mengatakan apapun kalau tak mau," Sin seolah menguatkan Nami. Sin mendekati Janur, tubuhnya seolah menahan agar Janur tak mengancam.
"Nami?" Janur mencoba membujuk. "Aku dan Sin sama-sama melatih kalian di Girimba. Kalian tak percaya padaku? Pada Wanawa? Pada Panglima Milind?"
Nami mengelak dari tatapan Janur.
"Janur!" sentak Sin. "Kenapa kau memaksanya?"
"Aku justru tidak mengerti mengapa Nami tak ingin menceritakannya," Janur menatap Nami tajam. "Kalau ia menceritakannya, kita bisa waspada menghadapi serangan berikut jika makhluk Nistalit cakar kembali muncul."
Nami menarik napas panjang.
Janur berdiri di hadapan Nami, mengambil pisau di pinggangnya, memperlihatkan ke arah gadis itu.
"Kau membunuh mereka dengan pisau ini?" Janur bertanya.
Milind, yang sedari tadi hanya memandang, mendekat ke arah Janur.
"Jangan memaksanya, Janur," Milind berkata lembut, menatap Nami sekilas. "Kita tak bisa memaksa pihak yang tidak mempercayai kita."
Nami menggigit bibir dalamnya kuat-kuat.
"Mungkin, jika ia lebih percaya pada Panglima Kavra dan Hulubalang Sin, ia bisa menceritakan kisah lengkapnya," ucapan tenang Milind terdengar seperti sindiran.
"Aku pikir cukup sudah perbincangan kita dengan Nistalit," Kavra berkata memutuskan. "Minta mereka kembali ke tempatnya, Sin."
Nami memandang ke arah Milind, menoleh ke arah Kavra, yang sama-sama tengah menatapnya dengan pandangan tajam.
"Apa yang terjadi tadi malam…," Nami bersuara pelan.
Kavra dan Sin melemparkan tatapan penghakiman, membuat Nami ragu meneruskan.
Milind dan Janur memperhatikannya sungguh-sungguh.
"…apa yang bisa Nistalit lakukan," Nami terbata, "pasti bisa dilakukan oleh Akasha."
❄️💫❄️