Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 172 - ●Perayaan Gangika (4) : Mimpi Kavra

Chapter 172 - ●Perayaan Gangika (4) : Mimpi Kavra

Mereka berkejaran. Bermain bersama. Berlatih pedang. Bertengkar, bergumul di tanah, berkelahi hingga babak belur. Saling menendang, lalu menangis. Berikutnya tertawa, dan saling memukul lagi. Sebuah arus deras memisahkan mereka berdua ketika tengah berenang bersama. Ia berteriak, berusaha menjangkau, tapi tak bisa. Pada akhirnya, dirinya terbenam dalam pusaran air yang anehnya, terasa dingin dan nyaman.

Kavra terbangun dengan dada sesak. Napasnya terengah.

Menjelang perayaan Gangika, mimpi-mimpi buruknya berkejaran. Berjejalan di dalam kepala. Bila seperti ini, tak ada yang dapat dilakukannya kecuali menghabiskan sisa malam hingga pagi menuju ruang bawah bilik peraduannya. Ia mengucapkan mantra, pohon-pohon bakau raksasa tumbuh cepat dari dasar Gangika. Menjadi sasarannya melepaskan permainan pedang dan tombak untuk melampiaskan sesuatu yang mendesak hebat di dalam dada.

❄️💫❄️

Seorang dayang paruh baya baru selesai menyisiri rambut tebal Kavra, menggulungnya ke atas. Mengikatnya dengan hiasan emas berukir. Pakaian khas panglima Gangika yang berwarna cokat tua telah dikenakan, selendang kuning terselempang di bahu kanan, terselip di sabuk pinggang.

Prajurit lelaki yang melayaninya belum mempersiapkan senjata, ketika terdengar seruan penghormatan.

"Hormat pada Ratu Mihika! Berikan jalan!"

Berderet dayang di selasar depan bilik peraduan Kavra membungkukkan badan. Para prajurit pun demikian. Kavra memberi isyarat pada dayang untuk menyelesaikan segera urusannya, sembari berucap terimakasih.

Mihika berdiri tenang di depan pintu, menunggu prajurit membukakan. Ia melangkah anggun memasuki ruang peraduan bagian depan Kavra, yang lebih mirip tempat luas menerima tamu atau tempatnya membaca kitab-kitab lontar.

Pakaian keemasan Mihika menutupi sekujur tubuhnya, kecuali sepasang bahunya yang terbuka. Rambut ikalnya digulung tinggi, khas dandanan bangsawan Gangika, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Sama seperti Kavra, selendang kuning tersampir di bahu kanan. Bila pakaian lelaki Gangika lebih tertutup, perempuan Gangika memperlihatkan sepasang bahu mereka. Selendang menjadi penanda kedudukan.

"Hamba belum mengenakan seluruh perlengkapan panglima, Ratu Mihika," Kavra membungkuk hormat.

Mihika tersenyum.

"Apa aku dilarang masuk sini, Kavra?" suara merdunya terdengar curiga.

"Tentu tidak," Kavra menggeleng.

Mihika menatap teliti panglima di hadapannya. Tubuh tinggi tegap, rahang tegas, mata tajam dan keseluruhan dirinya yang mempesona. Sesudah Nadisu, Kavra adalah sosok yang paling banyak dibicarakan para bangsawan dan didambakan putri-putri kerajaan. Ratu Madhavi banna Giriya, salah satu yang sering menyebut-nyebut Kavra untuk menjadi simbol pertalian antara Giriya - Gangika.

Mihika tersenyum rahasia. Ketampanan Kavra wajar menjadi buah bibir dan perebutan, tapi sebagai ratu, ia tak akan membiarkan begitu saja panglimanya menentukan jalan hidup yang tak menguntungkan kerajaan.

Bersatu dengan Giriya?

Walau Giriya kerajaan yang kaya, tampaknya tak terlalu bermanfaat bila Kavra harus menjadi bagian dari kerajaan yang menguasai seluruh wilayah gunung-gunung.

"Kau tampaknya sangat sibuk," Mihika berujar. "Kau bahkan tak mempersilakanku duduk."

Kavra menahan napas, tersadar berlaku tak sopan. Ia mempersilakan Mihika duduk di kursi kayu berkilau, dengan sandaran bantal keemasan.

Mihika meminta Kavra duduk di depannya.

"Apa kau sangat sibuk sampai tak pernah sempat menghadapku?" Mihika menyindir.

"Hamba kedatangan beberapa utusan. Tempo hari Panglima Milind dan hulubalangnya membahas beberapa hal penting," Kavra menjelaskan.

"Milind?" Mihika berbisik sinis. "Ia sekarang berusaha mendekatimu?"

Kavra terdiam. Hanya pihak bodoh yang berani meremehkan Milind.

"Aku tak pernah meremehkan Wanawa," Mihika seolah membaca pikiran Kavra. "Aku hanya tak pernah suka, kita dijadikan pihak terakhir utuk menjalin persekutuan."

Kavra terdiam, kedua tangannya terkepal di atas lutut.

"Apa yang kau persiapkan untuk acara perayaan kerajaan kita?" Mihika bertanya.

"Hamba mengerahkan prajurit terbaik. Hulubalang Sin dan para Nistalit tak berhenti berlatih. Mereka akan menjadi salah satu...," Kavra terhenti ketika didengarnya Mihika mendengus tak suka.

"Bukan itu maksudku," potong Mihika. "Aku menyerahkan seluruh perihal keamanan Gangika padamu."

Kavra menunduk dan mengangguk, meminta penjelasan lebih lanjut.

"Apa yang kau siapkan untuk Putri Padmani halla Vasuki, putri Raja Wuha?" tanya Mihika.

Kavra menunduk lebih dalam, kedua buku-buku jarinya tergenggam lebih kencang.

"Kavra," panggil Mihika, "aku bertanya padamu."

"Hamba…belum mempersiapkan apapun," Kavra jujur berkata. "Hamba sangat sibuk, Ratu Mihika."

Mihika menarik napas panjang, tampak kesal.

"Apa yang ada di benakmu ketika aku menyebut Putri Padmani?" bisik Mihika.

Kavra menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.

"Hamba…hamba merasa harus menemui para pandhita, untuk meminta restu mereka," Kavra berujar pelan.

Dagu Mihika tegak dengan anggun.

"Silakan," ujarnya dingin. "Tapi restu seorang ratu memiliki kedudukan lebih tinggi."

Kavra mengangguk pelan.

Mihika bangkit berdiri, memperbaiki letak selendangnya.

"Asal kau tahu, Kavra, kau sangat beruntung dengan perjodohanmu," Mihika menegaskan. "Putri Padmani adalah yang tercantik dari dinasti Vasuki. Raja Tala dan Raja Galba ingin menikahkan putra mereka dengannya, tapi Raja Wuha lebih mengarahkan pandangan matanya ke Gangika."

Kavra tak berani bernapas mendengarkan. Apakah ia tersanjung? Atau terhimpit dibuatnya?

"Raja Tala telah merestui kita," Mihika berbisik. "Jadi, persiapkan hadiah terbaikmu bagi Putri Padmani."

Mihika membalikkan badan, melangkah anggun meninggalkan bilik Kavra.

Meninggalkan panglima Gangika berdiri kaku memejamkan mata, membayangkan bilik bawah kamarnya yang dipenuhi batang-batang bakau raksasa sebagai sasarannya melepaskan permainan pedang dan tombak.

❄️💫❄️

Saat dilanda kegelisahan, Kavra senang mendatangi para penasihat kerajaan yang rajin membaca kitab dan para pandhita yang menghabiskan waktunya dengan banyak berdoa. Perayaan Gangika salah satu peristiwa besar yang tak hanya menampilkan perjamuan para penjaga wangsa. Peresmian bendungan dan benteng akan dilakukan, dengan pesta yang dihadiri seluruh undangan kerajaan.

Dan, pengumuman rencana perjodohan Gangika – Vasuki.

Benar-benar rencana gila, pikir Kavra dengan kemarahan terpendam yang tak dapat diungkapkannya. Bagaimana mungkin melawan kehendak seorang ratu seperti Mihika? Raja Nadisu tampaknya juga menginginkan kekuatan Gangika bertambah kuat. Mengapa mereka tidak menjalin kerjasama dengan para hulubalang dan panglima kerajaan lain, ketimbang menyelenggarakan perjodohan tak masuk akal?

"Aku tahu keresahanmu," Mihika memberi nasihat, ketika Kavra tampak sangat terkejut dengan usulan itu. "Tapi tak satupun bangsawan yang menikah atas pilihan mereka sendiri. Aku pun demikian. Tugas kerajaan di atas segalanya, Panglima Kavra."

Kavra menanti dengan sabar seorang pandhita termuda yang masih menyelesaikan doa panjangnya di pagi hari. Ia memberikan hormat yang dalam ketika pandhita itu membuka mata. Mereka berjalan berjajar berdua, menjauh dari ruang kebatinan, berjalan di aliran sungai yang telah terhampar mantra di atasnya. Tempat semedhi pandhita Gangika terletak di tengah sungai, tidak di dasar atau di atasnya. Dari arah ini, berbagai kesibukan seluruh warga Gangika dapat diamati. Walau mantra pelindung menjadikan suasana di dalam tetap hening, tanpa suara-suara masuk.

Pandhita muda itu, menjadi pilihan Kavra bertukar pikiran. Di usianya, tentu dapat memahami gejolak Kavra. Alih-alih menceritakan keresahan hatinya atas perjodohan dengan Putri Padmani, Kavra justru bercerita tentang rencana perayaan Gangika. Ungkapan pandhita Akara, mengejutkannya.

"Apa kau tidak tahu, bahwa kutukan seringkali mengiringi langkah Ratu Mihika?" gumam Akara. "Keangkuhan sifatnya, keinginannya untuk menindas pihak lain. Ratu tak mau diungguli siapapun."

"Hamba tidak mengerti maksud Pandhita," Kavra jujur berujar.

Pandhita Akara mengangguk-angguk.

"Aku mempelajari dari kitab-kitab yang kubaca selama menjadi pandhita. Ketika kita suka menindas dan meyakiti pihak lain, kita akan dibalas lewat sesuatu yang tak mungkin kita tepis," jelas Akara perlahan.

"Kami tidak menindas siapapun," tegas Kavra. "Hamba inginkan yang terbaik bagi Gangika. Perayaan ini…ya, sesungguhnya hamba merasa, kurang tepat waktunya."

Kavra tak mengungkapkan bahwa Mihika sangat berambisi memperlihatkan kemegahan benteng baru beserta bagian-bagian kerajaan yang dibangun oleh tangan-tangan Nistalit.

"Berhati-hatilah Panglima Kavra, jangan menjadi seperti Ratu Mihika," nasihat pandhita.

"Apakah Pandhita tengah menghina ratu?" Kavra menggertakkan geraham.

"Tidak, jangan salah sangka. Tugasku untuk memberikan nasihat dan meluruskan," pandhita Akara berujar tenang. "Kau akan jatuh oleh pihak yang paling kau hina dan kau rendahkan. Jadi, jangan pernah meremehkan siapapun. Termasuk lawanmu, atau bawahanmu. Setitik api dapat membesar bila kau abaikan."

"Apa yang harus hamba lakukan dengan perayaan ini?" Kavra bertanya.

Pandhita Akara menatapnya tajam.

"Waspadalah," ia mengingatkan. "Dan, perbaiki hatimu."

❄️💫❄️