Undangan dalam bentuk tiga lapis daun lontar itu disegel dengan dua cincin berukir keemasan di kedua ujungnya. Lebah-lebah pohon Ara mengantarkannya ke depan istana Wanawa Girimba, bersama utusan khusus Gangika. Tertulis dalam lembar lontar tersebut : perayaan peresmian benteng dan Bendungan Gangika, berikut area istana ratu dan keputren. Miling bertanya-tanya. Perlukan perayaan megah di saat dunia dalam keadaan genting?
"Mengapa mereka tidak mengirimkannya kepada Raja Vanantara?" Milind menggumam.
"Mungkin, Panglima dianggap mewakili baginda," Janur berpendapat. "Apakah hamba harus memastikannya ke Giriwana?"
"Biar aku saja yang menghadap beliau," Milind memutuskan.
"Paduka tidak harus melakukan semuanya sendiri," Janur membungkuk hormat.
Milind tersenyum.
"Aku rindu bertemu rajaku, Janur," ucapnya. "Aku juga ingin bertemu Panglima Garanggati."
"Beliau telah menjadi pandhita, Panglima," Janur mengingatkan. "Paduka-lah sang panglima."
Milind menarik napas.
"Bagiku, ia-lah panglimaku," Milind berkata. "Jika bukan Panglima Garanggati yang menyelamatkanku dari Raja Tala hal Vasuki, aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi."
Mantra pusaka pembuka Gerbang Ambara belum didapatkan. Tala benar-benar mampu memancing kemarahan pihak lain, termasuk Milind yang mati-matian mencoba menahan diri. Hampir saja, ketahanan diri Milind bobol dan ia membuat kerusakan di istana Vasuki bila Garanggati tak segera hadir melerai.
"Melihat bagaimana Panglima Garanggati menghadapi Raja Tala, aku benar-benar malu pada diriku sendiri," gumam Milind.
Janur mempersiapkan jubah dan persenjataan Milind.
"Apakah Paduka hanya akan ke istana Wanawa di Giriwana?" tanya Janur.
"Aku akan ke Gangika juga," ujar Milind. "Kau ikut denganku dan harus bertemu Hulubalang Sin. Aku melihat Sin lebih luwes dan lunak dibandingkan Kavra."
"Ahya, Panglima Kavra," gumam Janur. "Panglima yang keras kepala dan terkadang, kasar."
Milind tertawa kecil.
"Kau belum mengenal Kavra," sahut Milind. "Dialah salah satu panglima, yang bila menjadi musuhku, aku tetap menaruh hormat yang besar."
"Hamba tidak suka sosok kasar," Janur bersikeras. "Menunjukkan keangkuhan hati."
"Hati-hati dengan penilaianmu, Janur," Milind mengingatkan. "Aku tak mampu mengenali lebih jauh Raja Tala, maka aku masih mudah dipermainkan olehnya. Sungguh, aku ingin sekali mengenal Kavra lebih jauh dan menyelami dirinya. Sebab aku berharap, ia mau berdiri di pihak kita. Kau ingat? Walau sangat memihak Vasuki, Kavra pula yang berani memutuskan untuk mendukung Wanawa terkait pembukaan Kawah Gambiralaya."
Janur terdiam, mengangguk.
"Aku ingin tahu, mengapa Gangika menyelenggarakan perayaan di saat keadaan tak aman," Milind meragukan.
"Mereka merayakan bersama pesta pergantian penjaga wangsa," Janur menambahkan. "Firasat hamba tak enak."
❄️💫❄️
"Nami!" bentak Sin. "Anak buahmu terlalu lambat mengerjakan bilik-bilik keputren! Kau perlu mencambuk mereka!"
Nami membungkuk memberi hormat yang dalam.
"Hulubalang, mereka harus mengecat gapura terluar. Sebagian sedang membangun bilik-bilik keputren dan kolam pemandian," Nami menjawab sesopan mungkin.
"Jangan banyak alasan!" Sin memperingatkan. "Kau tak ingin berurusan dengan Panglima Kavra!"
Nami menahan napas.
"Hamba akan membantu para Nistalit mengerjakan bilik keputren dan kolam pemandian," Nami melaporkan.
"Kau juga harus berlatih keparjuritan, sejak matahari terbenam sampai tengah malam," Sin menambahkan.
Nami mengangguk.
Bergegas meminta Dupa dan Soma untuk mengerahkan seluruh Nistalit bekerja.
"Matahari mulai naik," Nami berkata. "Hulubalang Sin mengatakan bila pelapisan cat gapura terluar harus selesai hari ini. Benteng dan Bendungan Gangika yang berikutnya."
"Gila!" Soma mengumpat. "Nistalit tak akan bisa secepat itu."
"Harus bisa!" tegas Nami. "Kulihat banyak pemuda tangguh yang terpilih sebagai prajurit bekerja dua kali lebih cepat. Kita tak ingin kehilangan kesempatan baik."
"Kesempatan apa?" Soma gusar.
"Soma!" bisik Nami. "Kita mulai mendapatkan kepercayaan lebih banyak. Apa kau tak berpikir, bila menjadi seorang prajurit Nistalit, kita berarti telah maju lebih jauh?"
Dupa mengiyakan.
"Kita harus bekerja lebih keras," Dupa mendukung Nami. "Bila ada Nistalit yang tak sanggup, kita harus mencair pengganti. Dan kita juga harus membantu mereka."
"Ya," Nami berujar sama. "Kalau Nistalit biasa bekerja dua kali lebih keras, kita mungkin harus lima kali atau sepuluh kali lebih keras. Aku menemukan banyak Nistalit perempuan yang trampil dan kuat bekerja."
Nami memimpin para Nistalit perempuan untuk menggali kolam-kolam. Memasang batu-batu sebagai pembatas. Sebagian membentuk ukiran patung ; yang lain mengukir bentukan alam seperti bunga dan dedaunan, berikut pola-pola yang ada di alam semesta. Ulir rumah keong, misalnya, atau jari-jari dedaunan yang melengkung indah. Bila, dibutuhkan bantuan prajurit Gangika untuk memasang bebatuan di tempat yang tinggi, Nami akan meminta Hulubalang Sin dan anak buahnya memberikan mantra bantuan.
"Nistalittt!" seorang prajurit meneriaki. "Temanmu ini terlalu lambat! Ia terluka!"
Nami berlari ke arahnya.
Seorang gadis muda terduduk, menahan sakit.
"Sati? Kau kenapa?" Nami berbisik cemas.
"Aku…aku kejatuhan…alat," gadis yang dipanggil Sati itu memperlihatkan luka di kaki. Ia meringis menahan sakit.
Nami meraba kantungnya, mengeluarkan kain, membebat luka.
"Aku perlu melonggarkan alas kakimu," kata Nami, "agar kakimu yang terbebat bisa masuk. Kau masih bisa bekerja dengan tanganmu, bukan?"
"Ya," Sati menguatkan diri. "Aku bisa, Nami."
"Aku akan mengangkat batu-batu mentah ke mari," Nami berkata. "Kau mengukirnya, nanti aku yang akan mengangkutnya kembali untuk ditata di sekeliling bilik keputren."
"Nistalittt! Jangan kebanyakan bicara!" teriak prajurit Gangika yang lain.
Nami berlari kecil, mengangkut satu demi satu batu ke arah Sati. Baru saja selesai dengan Sati, teriakan lain memanggilnya.
"Nistalit!! Anak ini terluka lagi!"
Nami memburu ke arahnya.
"Usha?" Nami berteriak lirih. "Tanganmu terluka?"
Usha terisak pelan, terdengar bentakan segera yang mengatakan bahwa mereka yang menangis tak akan mendapatkan makanan.
Sebuah luka gores yang cukup dalam terpahat di telapak tangan Usha. Nami mencari siput-siput kecil di tepian sungai, berlari ke arahnya. Menuangkan lendir dingin hingga Usha merasakan lukanya lebih lemas dan tak meradang.
"Tangan kananmu terluka," Nami meniup tangan Usha. "Kau tak akan bisa bekerja."
"Aku …aku mau bekerja," bisik Usha ketakutan.
"Kau bisa membantu Sati. Dia tidak bisa berjalan, sebaliknya, kau bisa berjalan. Kalau dia butuh alat, atau ada alatnya yang terjatuh, kau bisa ambilkan," Nami mengarahkan.
"Nistalittt!!!" teriak prajurit Gangika.
Nami memerintahkan Usha naik ke punggungnya, agar ia bisa membawa gadis kecil itu ke arah Sati sembari mengangkut beberapa batuan persegi. Usha dan Sati segera bergabung, bekerja sesuai perintah Nami.
Nami menuju tempat pengerjaan Usha, melihat gadis kecil itu belum menyelesaikan beberapa ukiran. Polanya telah terlihat, tinggal diketuk. Dipahat. Dikerik. Dihaluskan. Nami berlutut, berusaha mengerjakan cepat beberapa batuan.
"Nistalittt!" teriak pasukan Gangika. "Bebatuan di kolam pemandian habis. Segera angkut yang baru dari perbukitan!"
"Ya, sebentar!" Nami berteriak, mempercepat jemarinya mengukir bebatuan.
"Kalau kau bilang 'sebentar' , aku akan menghukummu bekerja hingga larut malam!" teriak seorang prajurit.
Nami terkesiap. Ya, ia telah salah ucap.
"Siap, Tuanku!" Nami memperbaiki sikap.
"Segera ambil batu di perbukitan!"
❄️💫❄️
Matahari condong, meluncur cepat ke bilik barat. Langit remang dengan beberapa titik cahaya bintang mulai terlihat. Walau di tengah hamparan padang dan sungai luas, langit jernih masih terlihat memendarkan sisa cahaya mentari.
Sebagian Nistalit masih harus bekerja. Nami harus menyingkir sesaat ke tepian sungai. Hulubalang Sin memintanya beserta sejumlah Nistalit terpilih untuk berlatih usai matahari benar-benar tergelincir hingga tengah malam. Jeda yang digunakannya untuk meminum air sungai sebanyak-banyaknya, sembari membuka bebatan kain di kedua lengan.
Ada banyak luka gores di situ.
Dimulai dari siku hingga wilayah lengan bagian dalam dan pergelangan. Kedua telapak tangannya telah dipenuhi berbagai macam tanda : luka lecet, luka gesek, luka iris, luka sayat. Permukaan tajam kapak, pengungkit atau pisau tak sengaja menimpa permukaan kulit. Satu luka belum mengering, luka yang lain telah hadir. Ia mengunyah beberapa dedaunan, mengoleskannya ke luka.
Sembari menyandarkan punggung dan kepalanya yang lelah ke pepohonan. Biarkan lukanya dalam baluran getah daun terkena dingin alunan angin.
Ia memejamkan mata, menghalau penat yang sangat meski mencoba terjaga.
Angin berdesir, menerbangkan dedaunan. Ia terlelap sesaat, tanpa sadar. Gerakan angin yang nyaris tak terlihat menerbangkan debu-debu kehijauan, melapisi luka-luka di tangan Nami.
❄️💫❄️