Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 170 - ●Perayaan Gangika (2) : Kekhawatiran Milind

Chapter 170 - ●Perayaan Gangika (2) : Kekhawatiran Milind

"Hulubalang Janur!" Nami berseru pelan. Bingung, antara senang ataukah waspada.

Ia terjaga setelah merasa tubuhnya bagai melayang ringan hingga kelelahan menguap cepat.

"Nistalit?" Janur menatapnya prihatin.

Nami merasa takjub melihat kedua lengannya cepat mengering.

"Kami baik-baik saja, terima kasih," Nami mengangguk. "Mengapa Tuan di sini?"

"Aku mendampingi Panglima Milind bertemu Panglima Kavra."

Debar di dada Nami berpacu.

"Apa yang kau lakukan?" Janur melihat sekeliling. Tepian sungai Gangika dipenuhi obor-obor dengan tiang tinggi yang dilindungi payung dari jalinan akar bahar, berlapis mantra. Hujan dan angin tak akan mematikan obor Gangika.

"Kami berlatih dari senja hingga malam nanti," Nami berkata.

Janur membelalakkan mata, "Apa?? Setelah bekerja seharian?"

Nami tertawa ringan.

"Nistalit!" terdengar sebuah suara keras memanggil. "Kau harus segera bergabung!"

Janur, menatap sosok yang menghampiri. Mereka saling memberi hormat. Nami beranjak pergi dengan cepat, menghindar dari kemarahan lagi.

"Hulubalang Sin," Janur menegur. "Kau seharusnya bersikap lebih baik pada Nistalit. Mereka pekerja keras dan sangat setia pada kalian."

"Apakah dia melaporkan bahwa aku bersikap buruk?" Sin mengerutkan kening.

"Tidak," Janur cepat menolak, "bukan demikian. Aku sendiri yang melihat Nistalit perempuan itu, tertidur kelelahan di pohon dengan tangan banyak dipenuhi luka. Kalian terlalu kejam pada mereka."

"Kami melakukan yang terbaik," Sin mendengus. "Panglima Kavra menyiapkan upah yang layak bagi Nistalit. Makanan, tempat tinggal, perlindungan. Jika Nistalit menjadi prajurit yang andal, mereka dapat memperoleh bayaran lebih tinggi."

Janur menarik napas panjang.

❄️💫❄️

Balairung Upaka, tempat tamu kehormatan Gangika disambut, terbuka lebar bagi Milind. Kerajaan Gangika yang berada di hulu sungai Loh Dhamarga tampak sangat sibuk bahkan ketika hari telah senja. Raja Nadisu memeluk Milind dan mempersilakannya menyampaikan apapun. Penuh hormat, Milind memberikan salam bagi Ratu Mihika yang tampak tersenyum namun waspada ke arahnya. Pada akhirnya, Milind memiliki kesempatan berdua dengan Kavra untuk bertukar pikiran.

"Kulihat, Raja Nadisu sangat hangat menyambutmu," Kavra tersenyum. "Kuharap ini pertanda baik bagi kerajaan kita."

"Ya," Milind mengangguk. "Gangika sangat beruntung memiliki Raja Nadisu dan Ratu Mihika."

"Katakan padaku, Milind, mengapa kau datang secepat ini memenuhi undangan? Kami belum mempersiapkan jamuan apapun untuk tamu istimewa sepertimu."

Milind menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tertawa pelan, "Aku justru ingin membahas banyak hal. Kau tak perlu menjamuku berlebihan."

Kavra menatap Milind penuh selidik. Ia membawa Milind menjauhi balairung, ke sudut ruangan yang merupakan tempat panglima bekerja dan menemui tamu pilihan. Dari ruangan Kavra, Gerbang Lumut yang menuju ke istana utama raja dan ratu terlihat.

"Aku…bertemu Raja Tala, Kavra," Milind berkata.

Kavra menaikkan alis, menegakkan leher. Ingin mendengar lebih jauh.

"Aku khawatir, Mandhakarma akan menyapu kita lagi dalam waktu dekat ini," Milind berucap sembari menarik napas panjang.

"Dari mana kau tahu?"

"Raja Tala memberitahuku."

"Dan…kau percaya padanya, Milind?"

Milind membuang pandangan, jauh melewati jendela ruangan Kavra. Melihat hamparan Gangika dan pepohonan tepi sungai, merasa risau akan banyak hal yang tak bisa diramalkan.

"Setiap kali menghadapinya, hatiku terbelah antara rasa percaya dan ingin mengingkari," Milind berkata jujur. "Dalam beberapa hal, ancaman Raja Tala tak bisa disepelekan."

"Ia mengancammu dengan Mandhakarma?" Kavra bertanya penuh selidik.

"Boleh jadi demikian," Milind merenung. "Raja Tala mengetahui apa yang kita tidak ketahui. Setidaknya, ia tahu lebih dulu, entah bagaimana caranya."

"Apa kata Raja Tala tentang Mandhakarma?"

"Ia tahu kapan Mandhakarma akan bergerak."

Kavra menarik napas, melepas pandangan ke titik tempat Milind menatap jauh.

"Kapan?" Kavra bertanya tegas.

"Dalam waktu dekat ini," Milind menarik napas.

"Apa kau tahu, lebih pastinya?"

"Tidak."

"Satu purnama lagi, dua purnama lagi? Atau mungkin …"

"Aku tidak bisa memastikan. Karena ucapan Raja Tala mirip teka teki."

"Lalu, mengapa kau memberitahukannya kepadaku?"

"Aku khawatir dengan perayaan Gangika," Milind berujar prihatin.

"Kenapa?"

"Aku khawatir hal buruk akan terjadi."

"Kami punya cukup pasukan dan kekuatan. Mantra Raja Nadisu dan Ratu Mihika tak mudah dipatahkan."

"Kau terluka ketika serangan Mandhakarma," Milind mengingatkan.

"Ya. Aku sembuh dengan cepat dan sesudahnya bersamamu menuju Kawah Gambiralaya," Kavra menukas.

"Kavra, tidakkah perayaan ini bisa ditunda?" Milind bertanya.

Kavra menatap tajam ka arah tamunya.

"Kenapa?"

"Aku khawatir…sangat khawatir bahwa…"

"Kau tak ingin melihat kejayaan Gangika berkibar?"

"Demi Penguasa Langit! Bukan itu maksudku, Kavra!"

"Kalau kau khawatir, menurutmu, kapan perayaan Gangika sebaiknya dilaksanakan?"

"Aku tak bisa memberikan jawaban pasti," Milind menghela napas. "Tapi kumohon, jangan lakukan dalam waktu dekat ini."

Kavra mengajak Milind, duduk di atas dipan kayu lapang, terhampar di atasnya lapisan permadani sehalus beludru. Meja pendek dengan minuman dan cawan tersedia. Mereka berhadapan, duduk bersila. Kavra menuangkan saripati madu bercampur air embun dedaunan.

Milind meneguknya perlahan.

"Madu lebah Ara adalah yang terbaik di dunia," Milind memuji.

"Aku memang menyuguhkan khusus untukmu," Kavra berujar.

Milind menaikkan alis, mengucapkan terima kasih.

"Milind," Kavra tampak merenung, "aku hargai upayamu mengingatkan kami terkait Mandhakarma. Walau aku tak yakin, kami bisa menundanya."

Milind memainkan cawan di tangannya.

"Kau sudah membaca undangan kami?" Kavra bertanya.

"Ya."

"Jadi, kau pasti tahu pesta apa saja yang akan digelar."

"Kavra, jika Mandhakarma seperti yang dikatakan Raja Tala…"

"Milind!" Kavra menukas. "Mustahil Mandhakarma menggulung saat perayaan itu."

"Mustahil? Bagiamana kau bisa berkata demikian?"

"Kalau kau membaca undangan kami baik-baik, kau pasti akan bisa menebak. Raja Tala hal Vasuki akan hadir," Kavra menatap Milind tajam. "Jadi, kalau ia datang, pasti ia pun tahu tak mungkin ada bahaya menyerang."

Kavra menuangkan minuman kembali ke cawan Milind.

Milind meneguknya separuh, tersenyum melihat cawannya sendiri.

"Aku sampai lupa untuk mengucapkan selamat padamu, Kavra."

"Atas apa?"

"Atas perayaan Gangika nanti. Kau pasti bahagia."

Kavra membuang muka, "Kau tak perlu menyindirku."

"Aku tak menyindirmu!" Milind menatap Kavra. "Aku sungguh bahagia melihat undangan itu."

Kavra terdiam, melihat cawannya sendiri yang kosong. Milind menuangkan saripati madu yang langsung diteguk habis oleh Kavra.

"Bagaimana kabar para Nistalit?" Milind bertanya hati-hati.

"Baik," Kavra berujar. "Mereka baik-baik saja."

"Pastikan mereka aman, Kavra," Milind memperingatkan. "Ancaman Raja Tala terkait Mandhakarma, memiliki hubungan dengan para Nistalit."

Kavra terdiam, matanya menelisik Milind, sembari menyesap pelan minuman.

"Kau sangat peduli dengan para Nistalit," Kavra mengorek. "Terutama Nistalit perempuan itu."

"Aku peduli dengan semua yang berada di wilayah Akasha," Milind menegaskan, mengalihkan pandangan sangat beradu tatap dengan Kavra.

Mereka terdiam.

"Jangan biarkan Raja Tala mendapatkan apapun yang diinginkannya," Milind menyudahi pertemuan mereka.

"Walaupun kami bersekutu, Gangika tak selalu setuju dengan semua tindakan Vasuki," Kavra mengangguk, mempertegas. "Begitupun, kami tak selalu sepakat dengan Wanawa."

Keindahan hulu sungai Loh Dhamarga, pusat istana kerajaan Akasha Gangika, saat malam menjelang bagai sepotong mimpi yang tak ingin ditinggalkan. Aliran suara sungai, obor-obor dalam payung jalinan akar di sepanjang tepian, gapura berlapis dengan pahatan elok yang hampir selesai pelapisan cat berwarna gading. Bersama mantra Gangika, mereka yang diizinkan dapat melewati Gerbang Lumut menuju kediaman raja dan ratu beserta para bangsawan.

Setelah pembangungan Bendungan Gangika, Ratu Mihika menginginkan bilik ratu dan keputren, lengkap beserta pemandian dibangun pula di areal tepian sungai. Bukan saja indah, namun aliran air yang melimpah akan menambah arus kolam pemandian yang berguna untuk melanggengkan kecantikan.

❄️💫❄️

Milind menolak ajakan Kavra untuk bermalam. Menunggang angin, ia dan Janur bertukar berita.

"Apa yang kau temukan, Janur?"

"Gangika mempersiapkan Nistalit dengan latihan ketat. Mereka berlatih tiap malam. Sepertinya, semua dipersiapkan untuk perayaan Gangika."

"Kau bertemu Hulubalang Sin?"

"Ya."

Milind terdiam. Janur melanjutkan.

"Sin berkata, bahwa besar kemungkinan jika terjadi lagi serangan Mandhakarma, pasukan Nistalit akan diterjunkan lebih dulu," Janur melaporkan.

Milind mengatupkan geraham.

"Ohya," Janur berusaha meredam ketegangan. "Hamba bertemu Dupa dan Nami. Mereka sangat terlatih dan trampil."

Milind menunduk, menyimpan senyum.

"Mereka menyampaikan salam bagi Panglima Milind. Para Nistalit, sepertinya menaruh hormat dan harapan besar pada Paduka."

❄️💫❄️