Silva kebingungan, menoleh ke kanan dan ke kiri. Ransel di punggungnya ikutan bergerak gelisah.
Jalanan kecil yang terkotak-kotak, lorong-lorong panjang yang menjebak. Rumah kanan kiri dengan jendela-jendela kayu tertutup, bangunan-bangunan lama yang dingin dan menyimpan misteri. Dalam kegugupan, hatinya berdoa. Sembari memainkan cincin perak di tangan kanan yang segera berpindah-pindah dari satu jari ke jari yang lain.
Entah mengapa, Silva mengikuti kata hati. Menuju rumah paling kuno yang terlihat mencolok di antara rumah-rumah tua yang telah dipugar. Rumah itu tak memiliki halaman sama sekali. Jendela kamar langsung menembus jalanan. Pintu depan pun demikian. Apakah sopan jika mengetuknya dan bertanya?
Dogg.
Dogg.
Dogg.
Kayu itu luarbiasa kuat hingga ujung buku jari tengah langsung memerah sekali ketuk. Terpaksa menggunakan empat buku jari sekaligus!
Lama, tak terdengar apapun. Silva menempelkan telinga. Hampir terjerembab ketika pintu tetiba terbuka.
"Cari siapa?" seraut wajah muncul di sana, perempuan paruh baya.
"Eh…maafkan. Saya…saya…cari bapak tua yang…yang kerja di toko perak…," panik dan gugup, Silva menyebutkan nama toko terbata-bata. Salah pula! Untung ibu di depannya meralat.
"Oh, barangkali Pak Brotoseno," tebaknya. Ia menunjuk ke satu titik, "Coba Mbak ke rumah itu. Di situ ada bapak-bapak tua yang kerjanya memang jadi perajin perak."
Silva mengangguk, mengucap terimakasih. Rumah yang ditunjuk sama kunonya, dengan ukuran lebih besar. Jendela-jendelanya berlapis, ketika daun kayunya terbuka, masih tersisa jendela kaca yang memperlihatkan suasana rumah di dalam. Lebih mantap, Silva mengetuk pintu rumah.
Seorang perempuan berusia tigapuluhan tahun, dengan pakaian sederhana muncul. Rambut panjangnya digelung di kepala, seperti berasal dari masa perang kemerdekaan tahun 40-an. Alisnya mengernyit. Walau penampilannya terlihat kuno, parasnya sangat manis.
"Ya, Dek?"
"Rumah pak Brotoseno? Yang kerja di toko perak?"
"Ya. Adik siapa?"
"Apa…apa saya…saya bisa bertemu beliau, Bu? Eh...Kak?"
Perempuan muda itu tersenyum,"Panggil mbakyu aja, Dek. Mbakyu Ida."
Jelas tampak keraguan di matanya, menghadapi orang asing seperti Silva. Walau takut tertolak, sungguh kejujuran adalah satu-satunya senjata yang dimiliki. Silva mengulurkan tangan, memperlihatkan cincin perak.
"Pak Brotoseno pernah memberikan ini pada saya. Ada…yang ingin…saya tanyakan."
Orang yang dipanggil Mbakyu Ida menjorokkan tubuhnya sedikit ke depan, mengamati jemari Silva, lalu mengangguk kemudian.
"Mbah Broto memang suka bagi-bagi cincin perak. Kamu bisa ketemu beliau. Tapi ngomongnya agak keras, ya. Agak-agak hilang pendengaran karena usia tua. Ohya, kamu di ruang depan aja, ya. Jangan masuk-masuk," ucapnya tegas. Terlihat Ida sedikit curiga dengan kehadiran Silva, namun juga merasa iba melihat wajah gadis di depannya yang bersimbah keringat dan kelelahan.
Silva mengangguk lega.
Ida menyiapkan kursi rotan yang tampaknya diperuntukkan khusus bagi mbah Broto. Terdengar percakapan dengan suara keras sebelum sesosok tubuh tua melangkah ringan ke depan dan duduk di sana. Silva melepaskan sepatu, melangkah masuk.
Lantai kotak-kotak abu-abu tua itu mendekapnya segera dalam masa lalu yang tak dikenalnya.
Langit-langit sangat tinggi. Plafon dari anyaman bambu warna coklat muda berkilap. Lampu gantung yang talinya terjalin dari sabut kelapa tua yang telah menghitam. Saklar lampu di rumah ini tak akan ditemui di apartemen Casablanca, bundar berwarna gelap dengan suara 'ceklek' yang keras. Rumah ini telah dibangun sejak zaman Belanda, atau lebih tua lagi. Sejak zaman kerajaan Mataram berdiri. Rasanya, seperti terlempar ke masa berabad silam yang begitu megah dan penuh kejayaan, walau diliputi rahasia tak terjabarkan.
Mbah Broto mengamati Silva.
Gadis itu terkesiap tetiba. Ia melangkah mendekat, dan entah kekuatan apa yang mendorongnya untuk mengambil tangan keriput lelaki tua di depannya. Menyalami dan menciumnya dengan sepenuh hormat.
"Mbah Broto?" Silva menyapa.
Tak nyaman duduk di sampingnya, Silva memilih bersimpuh duduk di depannya. Untung ia mengenakan celana panjang jins hingga duduk bersila atau berlutut, tetap enak dilakukan.
"Mbah Broto?" Silva mengulang lagi.
Ida menyela, membawa teko dan cangkir keramik. Mempersilakan Silva minum teh hangat sembari mengingatkannya, "Ngomongnya yang keras aja, Dek. Gakpapa kok."
"Mbah!" Silva mendekatkan wajah ke arah telinga. "Saya mau nanya perihal cincin perak ini!"
Pembicaraan itu lumayan melelahkan. Mengesalkan. Menguras kesabaran. Tapi Silva benar-benar ingin tahu walau hatinya mulai bertanya-tanya : benarkan mbah Broto adalah lelaki tua yang pernah memberinya perak? Wajah si pemberi itu pun mulai mengabur dari ingatan. Ia mungkin salah orang!
Ketika lelaki tua itu tampaknya tak terlalu tahu dengan pertanyaan Silva, gadis itu mulai merasa sia-sia kehadirannya ke Kotagede. Ia bahkan tak terlalu ingat pernah memberikan cincin kepada Silva. Apalagi apa makna ukiran di cincin perak, sama sekali tak dipahaminya. Rasanya ingin menangis, mendapati perjalanan panjangnya tak membuahkan sedikitpun jawaban.
Ida, yang sesekali menangkap percakapan itu sembari mengerjakan sesuatu, menyela sejenak.
"Mbah Broto memang suka gak nyambung kalau diajak bicara," ia berkata prihatin.
"Apakah ada lelaki tua seperti mbah Broto di sekitar sini?" Silva menarik napas kecewa.
Ida mengangkat kepala, menerawang langit-langit. Berpikir sejenak.
"Ada beberapa, tapi aku nggak tau rumah mereka di mana. Kalau mbah Broto tau. Para lelaki tua suka berkumpul, bernostalgia. Bercerita tentang masa lalu. Walau kadang omongan mereka gak nyambung, ya. Pernah juga sih kumpul di rumah ini…tapi,ya, gitu. Omongannya ke sana ke mari gak jelas. Maklum, usia tua. Tapi matanya sangat awas, kalau membuat sesuatu. Kadang, ada juga ingatan tertentu yang muncul."
Silva menatap Ida, tetiba mendapatkan sesuatu berkelebat di kepalanya!
"Mbak Ida, saya izin agak lama, ya. Saya mau menggambar sesuatu."
"Silakan. Tapi habis makan siang, biasanya Mbah Broto istirahat. Agak sorean balik lagi ke dapur pengerjaan perak."
Silva mengangguk.
Ia mengeluarkan sketchbook dan pensil. Menggambar sesuatu. Tepatnya, dua buah benda. Diawali dengan sketsa kasar, lalu menarik garis lebih teliti dan tebal. Walau artline-nya tidak sebagus Bhumi kakak Sonna, setidaknya dua buah benda terlukis cukup jelas. Sebuah simbol tertera di sana. Begitu selesai, ia memperlihatkan pada mbah Broto.
"Mbah! Mbah Broto kenal ini?"
Lelaki tua itu mencondongkan tubuh ke depan.
Silva membolak baliknya, khawatir gambarnya tak tertangkap jelas. Ia terkejut ketika lelaki itu memegang paksa buku gambar Silva dengan kedua belah tangan, mendekatkan ke wajahnya. Meneliti cermat.
Silva memang menggambar simbol dengan lebih tebal, lebih hitam.
Mbah Broto barangkali bukan lelaki yang memberinya cincin perak.
Tapi apa kata Ida tadi? Ada sekumpulan lelaki tua yang sering berkumpul bernostalgia, bercerita tak jelas? Bisa jadi mereka bicara tentang sesuatu yang tak dimengerti oleh orang lain, tapi pembicaraan mereka mengandung rahasia yang dalam.
Silva menunjuk simbol huruf di dua gambar miliknya.
"Ini, Mbah. Mbah mengenalnya?" ia bertanya keras.
Suara lelaki itu tetiba terdengar berat dan jelas.
"Sa," ucapnya jernih.
Silva terkejut. Matanya menatap telunjuk, bibir dan wajah mbah Broto dengan terkesima. Penuh asa sekaligus takut harapnya terlalu tinggi mengawang.
"Sa!" ulang mbah Broto. Lebih keras dan tegas.
"Ya," Silva menatap mata lelaki tua itu yang tetiba terlihat berkilau. "Huruf 'sa' di bandul perak dan keris."
"Di mana kau menemukan Salaka?" lelaki itu tetiba bertanya tajam.
Silva nyaris terjengkang.
"Mbah mengenal…Salaka?" bisiknya.
"Ida!" mbah Broto memanggil perempuan yang ternyata adalah cucunya.
"Ya, Mbah?"
"Kamu simpan nomer telepon teman-temanku? Di buku catatan kertas yang kusimpan di dompetku?"
"Ya."
"Hubungi mereka. Minta mereka berkumpul di sini malam ini."
Ida menatap Silva dan mbah Broto kebingungan.
Silva menelan ludah yang terasa kering, buku sketchbooknya masih tergenggam di sana.
"Apa Salaka minta bantuan padamu?" mbah Broto bertanya.
Silva mengangguk pelan.
"Apa kamu punya teman-teman yang bisa membantumu?"
Silva kebingungan, antara mengangguk dan menggeleng.
"Segera kembali pada Salaka! Berikan bantuan terbaik yang bisa kau lakukan!"
Bahkan Silva belum mendapatkan jawaban yang ia inginkan.
🔅🔆🔅