Bantu Salaka.
Cari teman untuk mendukung.
Tapi siapa?
Kepala Silva pening. Ia berlari menjauhi Kotagede, menaiki bis kota. Menatap barang-barang yang dibelinya lalu teringat sesuatu. Atau seseorang. Ia menarik napas panjang. Tangannya berkeringat ketika mengetik.
Ia harus memanggil apa? Pak? Mas? Abang? Bro? Oppa? Yang pasti tidak panggil nama.
"Mas Rendra ada di mana?"
🔅🔆🔅
Silva hampir menyerah. Hubungan mereka tak pernah baik. Setiap pertemuan selalu buruk, setiap perpisahan berakhir rusak. Hal terakhir yang terjadi adalah Silva memanfaatkan kartu kredit Rendra habis-habisan hingga kasus penundaaan gaji buruh proyek membuatnya dihakimi massa.
Apakah ia harus menghubungi bu Candra, mamanya? Atau Vira, asistennya?
Turun dari bis, tanpa tahu harus ke mana, Silva memanggil becak. Menaikinya dan meminta abang becak untuk membawanya ke toko buku super murah yang terkenal di Yogya – shopping center. Toko buku itu mungkin tak lagi populer di era inernet, tapi di mana mencari informasi saat tak tahu pula apa yang harus dicari?
"Cari apa, Mbak?" seorang pedagang bertanya.
Bahkan Silva tak tahu apa yang dicarinya. Ia hanya berjalan, berkeliling, melihat-lihat dan semakin kebingungan dengan tawaran.
"Bahasa? Sejarah? Kedokteran? Ekonomi? Psikologi?" seorang pedagang terlihat lebih gencar menawarkan.
"Bahasa asing? Bahasa Indonesia? Bahasa Jawa?"
Silva berhenti, menatapnya. Si pedagang merasa dapat angin.
"Mbak cari buku bahasa?" tebaknya.
Silva menggeleng.
"Buku cetak, buku terjemahan, kliping koran, atau skripsi bekas?"
Silva menggeleng, makin bingung.
"Kami punya buku yang gak ada di luar sana lho, Mbak," si pedagang benar-benar mahir merayu. "Cuma buku fotokopian, ada tulisan tangan juga, atau gambar-gambar. Gak semua bisa didapat di Google."
Silva mulai tertarik.
"Apa itu, Mas?" Silva mendekat.
"Macam-macam. Mbak maunya apa?"
"Yang tadi, yang gak didapat di 'search engine'. Yang cuma fotokopian atau tulisan tangan," jelas Silva.
"Ada surat cinta, buku harian anak kos, wasiat orang yang mau meninggal..."
Silva menggeleng kecewa, "Bukan! Bukan itu."
"Coba Mbak jelaskan maunya apa," si penjual mencoba bersabar. Pembeli adalah raja walaupun menyebalkan!
Silva ragu-ragu, menoleh ke kanan ke kiri, merasa jengah.
"Nggak usah malu, Mbak," si penjual tertawa. "Banyak orang nanya ke saya hal lucu, gak masuk akal. Apa ada buku petunjuk melihara tuyul? Gimana cara memikat gadis? Atau panduan bikin jamu biar muda seterusnya. Mbak ngomong aja…"
Silva mengangguk pelan.
"Buku tentang…apa ya…," Silva menerawang, melihat tumpukan buku-buku dari dasar lantai hingga plafon kios. Semua sudut dan dinding tertutup tumpukan buku, bahkan terlihat bantal tipis dan sehelai selimut di atas hamparan buku. "…tentang kesaktian. Atau perak…atau pangeran…ya..jenis-jenis gitulah…"
Penjual itu mengerutkan kening.
"Udah pernah nyari di internet?"
"Udah. Tapi belum nemu yang kuinginkan," Silva berterus terang.
"Buat apa, kalau boleh tau?" si penjual bertanya, disambut Silva dengan mata terbelalak.
Ya. Buat apa, ya?
Silva menarik napas panjang, "Saya…eh, aku lagi neliti sesuatu. Tentang simbol, unsur logam, kerajaan dan…pokoknya semuanya yang berkaitan."
Penjual mengangguk, "kesaktian. Perak. Pangeran. Raja-raja. Kerajaan. Silsilah. Senjata. Aha!"
Tangan si penjual menarik cepat berbagai macam buku, termasuk berbagai fotokopian yang tampak usang berdebu.
"Ini ada buku-buku wisata sejarah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kalau mau yang di luar itu juga ada. Saya punya lengkap!"
Silva menatap buku-buku yang dihamparkan. Sejarah keraton. Sejarah keris. Situs-situs purbakala. Skema makam raja-raja. Candi-candi yang misterius. Yap! Setidaknya ia akan melahap semua sembari terus memelajari bahasa kuno yang belum sepenuhnya dikuasai tanpa bimbingan Najma.
"Ada lagi?" tanya Silva.
Si penjual memberikan isyarat untuk menunggu. Ia mengambil buku-buku tipis yang tampaknya berusia jauh lebih tua dari usia Silva dan Rendra. Diketik dengan mesin lama, digambar dengan tangan.
Silsilah raja-raja.
Benda-benda pusaka yang hilang.
Silva menahan napas. Desir di dada terasa, jantung memompa darah lebih cepat.
"Mas punya buku tentang simbol-simbol. Ya…simbol senjata…atau perhiasan… atau sesuatu?"
Penjual itu mengerutkan dahi. Mencoba mengingat-ingat sembari matanya berkeliling meneliti isi kios bukunya yang mirip tumpukan barang rombeng. Ia menarik bangku kayu bertingkat, naik ke atasnya. Mencari-cari di tumpukan dekat plafon atas dan menarik susah payah sebuah map hitam yang membuatnya terbatuk-batuk. Begitu tebal debunya hingga ia perlu melap permukaan map menggunakan tissue basah berlembar-lembar.
Map itu dibuka.
Lembar-lembar plastik masih utuh dan rapi, menyembunyikan beberapa berkas tua yang menguning.
"Ada surat cinta prajurit masa perang yang belum pernah terkirim," ucapnya bangga. "Ada sobekan uang zaman kemerdekaan awal Indonesia. Dan ini…"
Silva mengamati seksama.
"Saya nyimpan beberapa gambar simbol yang unik," si penjual menjelaskan.
Silva mengerutkan kening.
"Gambar-gambar itu dapat dari mana?"
"Ada anak sekolah atau mahasiswa, dulu ikut lawatan ke mana gitu. Imogiri, atau Ratu Boko atau Prambanan. Ah, lupa. Pokoknya dia nemu ada orang yang lagi gambar-gambar simbol. Dia suka, trus dibeli. Pas lama disimpan, butuh uang. Dijuallah kemari. Ya, karena saya suka, saya beli aja."
"Siapa yang nggambar?" Silva mengejar.
"Nggak tau saya. Entah pengunjung atau penjaga. Pokoknya ya ada orang di situ yang suka gambar-gambar simbol."
"Berapa harganya?" Silva ingin tahu.
"Yang ini?" si penjual menunjuk. "Wah, gak saya jual."
"Mas sebutkan harganya aja. Kubeli semua buku-buku ini, silsilah, fotokopian. Termasuk simbol gambar itu."
Si penjual menatap Silva aneh. Bahkan ketika Silva sudah mengeluarkan uang cukup banyak untuk memborong, gadis itu masih meminta nomer kontak si penjual untuk meminta informasi lebih di kemudian hari.
🔅🔆🔅
Ping. Sebuah jawaban masuk.
"Aku lagi di Singapur. Kenapa? Kamu lari lagi?"
Silva menimbang-nimbang. Apa yang harus dikatakannya?
"Kapan Mas Rendra balik Indonesia?" tanya Silva.
Centang biru dua.
"Hari ini," ketik Rendra.
"Ke Jakarta?"
"Ya."
"Boleh aku ke sana?"
"Ngapain? Kamu mau apa ketemu aku?"
Silva menelan ludah. Ya Tuhan…rasanya tidak berharga sekali mengemis permintaan untuk bertemu.
"Aku pingin bisa cerita," Silva berkata jujur. Airmata meluncur begitu saja dari ujung matanya.
Centang biru dua.
Rasanya seperti menunggu berita apakah dirinya dikeluarkan atau tidak dari sekolah dalam rapat dengar pendapat orangtua, para guru dan pemilik yayasan. Lama tak ada jawaban, Silva memutuskan harus segera kembali ke Javadiva. Ia memesan taksi daring, mengemasi barang-barang beliannya yang bertambah banyak. Dua kardus berisi buku-buku beragam jenis dan jejak tulisan serta gambar, satu tas besar perhiasan perak.
Ia menyandarkan kepala lelah ke jok mobil.
Mencoba melupakan banyak hal dengan tidur. Bukankah tidur adalah kegiatan yang dapat menyembuhkan kegelisahan serta rasa takut? Mobil membawanya ke luar kota Yogyakarta, menembus jalanan yang dilewati sawah-sawah dan pemandangan lepas, membawanya ke sebuah titik antara Tengah dan Timur. Ke sekolah yang sepertinya mulai dianggapnya rumah. Ada satu kamar di ujung dengan Sonna di dalamnya. Ada Candina dan juga, Salaka, walau entah sampai kapan mereka bisa berteman.
Ada teman-teman yang tampaknya tengah menunggu kapan waktu tepat untuk menghajarnya. Sepanjang ada Salaka di sisinya, Initta dan Zaya sepertinya tak berniat mengusik.
Ping.
Sebuah pesan pribadi masuk.
Enggan Silva mengambil ponsel, di saat matanya terkantuk-kantuk.
"Mas ganti, langsung ke Yogya dari Singapura."
Kantuk Silva hilang.
Tubuhnya yang condong ke sisi kanan untuk rebahan, seketika tegak. Rendra mengubah penerbangannya ke Yogya? Rasanya tak percaya hingga ia berkali-kali membaca.
Rendra bilang apa tadi? Ia menyebut dirinya…Mas?
Mata Silva mengabur ketika mengeja pesan yang berikut.
"Kamu mau oleh-oleh apa?"
🔅🔆🔅