Tidak biasanya, Hulubalang Janur membantu Milind berkemas merapikan diri. Jubah hadiah Ratu Varesha melengkapi perlindungan. Rambut panjang Milind diikat satu ke atas, membuat Janur bertanya-tanya, apakah kali ini sang panglima benar-benar berniat bertempur habis-habisan?
"Aku tak pernah suka kekerasan, Janur," Milind seolah menebak pikirannya. "Aku lebih suka berunding terlebih dahulu. Terlihat lemah dan memakan waktu lama, tapi itu mengurangi jumlah korban."
Janur mengangguk. Memelihara kesabaran sangat sulit. Melampiaskan kemarahan, jauh lebih mudah.
Milind memegang pundaknya, "Kau harus belajar mengendalikan diri lebih banyak. Kelak, jika kau menjadi pemimpin yang lebih tinggi, menaklukan kesombongan dalam dirimu jauh lebih melelahkan."
Ya. Tak mudah mematahkan kekaguman kawan dan lawan, menempatkan diri rendah hati serta selalu mau belajar dari pihak lain.
"Ajarkan hamba menjadi diri seperti Panglima," Janur mengatupkan kedua belah tangannya di depan dada.
❄️💫❄️
Gerbang Hitam kerajaan Vasuki berhias simbol cakar. Pilar-pilar batu menopang wadah obor api yang hanya akan menyala saat malam hari atau ketika cuaca sangat pekat. Wajah prajurit jaga dalam pakaian gelap menyambut dengan kata-kata sangat hemat dan pandangan yang menusuk. Walau suasana hari itu berlimpah cahaya matahari, suasana lebih suram dari pemakaman. Apakah Vasuki dilanda kesedihan? Atau memang kegelapan selalu menjadi aura keseharian?
Tala tak menolak keinginan Milind untuk bertemu.
"Selamat datang, Panglimaku," sambut Tala hal Vasuki, tersenyum lebar. "Aku sangat merindukan untuk bertemu denganmu."
Milind mencoba tersenyum sesopan mungkin. Tala sendiri yang langsung menggiring Milind menuju meja perjamuan, tempatnya menjamu Calya beberapa waktu yang lalu. Gayi dan Nagen selalu setia berada di sisinya, meski tatapan mata kedua ratu menyimpan banyak rahasia terhadap Milind. Bila selama ini kedua ratu atau salah satu pangeran yang menuangkan minuman ke cawan tamu, kali ini, Tala sendiri yang melakukannya. Gelas piala tinggi dengan simbol Vasuki yang khas, tampak berkilau di hadapan Milind. Mereka duduk berhadap-hadapan, sementara kedua ratu berada di sisi meja, berdiri anggun.
Milind menolak halus jamuan Tala.
"Kenapa? Kau takut kuracuni?" Tala memicingkan mata.
"Hamba sedang menjalani laku tirakat, Paduka," Milind menjelaskan. "Hamba sedang berpuasa."
"Berpuasa," Tala menyungging senyum penuh makna, "tepat saat akan bertamu ke kerajaanku?"
"Hamba terbiasa melakukannya," Milind membungkuk hormat. "Bagi seorang prajurit, menahan diri adalah latihan yang harus dijalani dengan seksama."
Tala menutup guci keemasan di atas meja.
"Hanya tamu istimewa yang menerima suguhan minuman dalam kendi dan cawan emas," Tala menjelaskan. "Aku jarang menjamu tamuku seperti ini, hanya beberapa saja yang pantas mendapatkan penghormatan layak seperti ini."
"Hamba tersanjung," Milind membungkukkan separuh badan kembali.
Tala bangkit berdiri, mengitari meja, memberikan isyarat kepada Gayi dan Nagen untuk beranjak pergi.
"Kau seharusnya menjadi panglimaku," bisik Tala di dekat telinga Milind. "Kekuatan kita akan melindungi wangsa dari segala kejahatan, termasuk serangan Mandhakarma."
Milind, yang masih duduk, terdiam. Tenang dan waspada. Kedua pedangnya tersemat di sabuk pinggang. Walau tangan Milind di atas meja, ia dapat dengan cepat meloloskan senjata jika Tala melakukan tipu muslihat.
"Bukan tanpa makna, sarung pusaka Wanawa dan Vasuki berada berseberangan," Tala berkata jernih dan memengaruhi. "Kita, kau dan aku, adalah pasangan sejati."
"Maksud Paduka, Raja Vanantara dan Yang Mulia Tala," Milind meluruskan.
Tala menatapnya penuh rahasia, "Vanantara? Ya, ya. Aku harap ia dan aku bisa bersatu. Mungkin suatu saat nanti, Wanawa dan Vasuki dapat bersekutu."
Milind menatapnya tajam.
"Tapi, tak mungkin dua raja bersatu, bukankah begitu, Milind?" senyum Tala penuh makna. "Yang mungkin dilakukan adalah, bersatunya seroang raja dan seorang panglima."
"Hamba yang bodoh tak mengerti maksud Paduka," jujur Milind berucap.
"Kita harus bersatu jika ingin menghadapi, atau sebaliknya, berpihak pada Mandhakarma. Aku rasa itu yang selalu kau lakukan ketika melakukan persekutuan : mengajak raja-raja dan para panglima bersatu."
Milind terdiam.
"Hanya saja kau lupa mengajakku," Tala mengingatkan.
Milind menarik napas. Bagaimana mungkin ia mendatangi raja yang jelas-jelas pernah mencoba membunuhnya saat bertarung di angkasa?
"Kita punya pikiran yang sama, Milind," Tala mendekat, menatap dalam ke arah sepasang mata panglima Wanawa. "Setiap kali melihatmu, aku serasa bercermin dan melihat diriku."
"Kita berbeda, Paduka," Milind membungkuk, tak ingin merendahkan. Tapi tak ingin dibandingkan pula, apalagi disamakan.
Tala tersenyum. Ia mengajak Milind naik ke singgasananya yang terletak bagai altar pemujaan, naik puluhan atau bahkan ratusan anak tangga menuju titik teratas istana Vasuki. Dari sana, ia dapat memandang langit luas dan awan lebih jelas. Termasuk wilayah kekuasaan Vasuki.
"Kau tahu, Milind? Vasuki selalu memohon belas kasihan Giriya, Gangika. Dan tentu saja Wanawa," Tala berkata datar, "aku pernah berpikir, kapankah ganti kalian yang memohon belas kasihanku?"
Milind menyimak.
"Hanya kami yang tak punya wilayah sendiri," ujar Tala.
"Paksi pun harus bekerja sama dengan kerajaan lain, Tuanku," Milind mengingatkan.
"Tapi mereka berada di puncak-puncak tertinggi," Tala berkata tajam. "Mereka masih bisa angkuh sementara kami harus bersujud pada kalian demi sepetak wilayah."
Milind menghela napas panjang.
"Jangan pernah meremehkan siapapun," Tala menatapnya tajam, "suatu saat mereka yang kau pandang sebelah mata mampu membangun kejayaan di atas puing-puing dendam."
"Berarti, Nistalit pun bisa mengalami hal yang sama?" Milind menyimpulkan.
"Ahya, Nistalit," Tala tertawa, menjentikkan jari, "tentu rumus membangun kejayaan harus sejalan dengan kekuatan yang dimiliki. Mereka tak punya apa-apa, Milind."
Tala berjalan mengitari Milind dengan anggun. Jubah hitamnya berkibaran tertiup angin. Hari ini, ia memutuskan tak mengenakan mahkota. Rambut hitam ikalnya dibiarkan jatuh terurai bergelombang, mengingatkan Milind pada rambut para Nistalit. Apakah mereka akan punya watak dan nasib yang sama?
"Walau mereka tak punya apa-apa, Nistalit punya kegunaan," Tala berkata jelas.
Milind mengalihkan tatapannya dari mata Tala, merasa tak nyaman dengan ungkapannya. Seolah Nistalit sebentuk barang yang dapat dimanfaatkan. Tala memandang sosok di hadapannya dengan teliti. Andai ia punya anak perempuan!
"Apa yang kau pikirkan tentang Nistalit perempuan itu?" tanya Tala.
"Apa maksud Paduka?" Milind memicingkan mata, tak mengerti.
"Nistalit perempuan yang membunuh anakku," Tala tetiba menjadi dingin, namun tetap mencoba menahan diri. "Aku orang yang tak gegabah melampiaskan kebencian, Milind."
"Bila Paduka ingin membalas dendam, lakukan itu pada hamba," Milind berkata. "Hamba yang melindungi mereka di Girimba, hamba juga yang mengelabui Ratu Gayi hingga berkenan memberikan mantra."
Tala menggertakkan geraham.
"Kau membela Nistalit perempuan itu sebab melihat ia punya sesuatu yang tak kalian miliki. Bukankah begitu?" Tala melempar tuduhan.
Milind menarik napas.
"Kau…ingin memiliki Nistalit bagi dirimu sendiri?" melanjutkan sindiran.
Milind berkata tegas, "Hamba rasa ini sudah keterlaluan, Paduka."
"Aku pernah membunuh Nistalit dengan tanganku sendiri, Milind," Tala makin mendekati Milind. "Darah mereka panas, tubuh mereka hangat. Dapat kurasakan ketika perlahan nyawa menghilang dari napas mereka."
Milind mencoba tak meloloskan pedang Dahat dari sarungnya.
"Tubuh mereka berbeda dengan Akasha dan Pasyu yang dingin," bisik Tala di telinga Milind. "Tubuh Nistalit…subur. Mereka bisa memberi kita pasukan yang banyak dan kuat."
"Bahkan Akasha dan Pasyu bila menikah harus seizin pandhita," desis Milind. "Bagaimana Tuan berpikir untuk mengawini Nistalit?"
"Sudah kukatakan," Tala kembali berbisik, "tubuh mereka hangat, Milind. Keturunan kita akan berbeda ketika benih tumbuh di rahim Nistalit."
"Yang Mulia Raja Tala!"
Tala tertawa ringan, "Kau marah? Kenapa? Karena aku benar menebak pikiranmu?!"
Milind merasakan tubuhnya gemetar ketika condong ke depan, seolah ingin melepaskan pukulan. Tala mengangkat tangannya ke atas, membuat Milind seketika terhenti dengan tubuh bagai terajam ribuan jarum.
"Jangan main-main denganku, Milind," Tala berujar, berdiri tegak di hadapan Milind yang membungkuk menahan sakit. "Setiap kali berhadapan dengan bangwasan Vasuki, kau akan merasakan sakit seperti ini. Kau pasti pernah merasakannya! Sejak tombak kristal Aswa menancap di tubuhmu dengan mantra sakti Vasuki. Di mana lagi kau pernah merasakannya? Girimba? Saat para pangeranku mengejarmu?!"
Tala mendekatkan pandangannya pada wajah Milind yang pias menahan sakit.
"Kau milikku sekarang, Milind banna Wanawa!"
❄️💫❄️