Milind mengatur napasnya yang memburu, mencoba meneguhkan kuda-kuda kaki. Mengabaikan rasa sakit yang menyerang separuh badan, memusatkan pikiran pada tujuan utamanya kemari : mendapatkan mantra Vasuki. Ia memejamkan mata. Bersemedi sesaat, mengerahkan mantra Wanawa untuk membersihkan separuh tubuh dari racun Vasuki. Hampir saja pedang Dahat lolos, bukan untuk menyerang, namun untuk menopang agar tubuhnya sanggup berdiri tegap.
"Kau hebat!" Tala memuji. "Gosha bahkan langsung berada di bawah pengaruhku. Ingat, saat tombak kristal itu menancap di tubuhmu? Gosha taat seutuhnya di bawah mantraku! Kau, Milind, masih sanggup bertahan padahal berada di istanaku yang sepenuhnya berada si bawah kendaliku."
Napas Milind mulai teratur.
"Karena serangan Paduka, Ratu Laira harus menyerahkan hidupnya," Milind mencoba memojokkan Tala.
"Salahku?!" Tala mendesis. "Bila Laira harus kehilangan nyawa, maka berikutnya yang akan kuhabisi adalah Shunka. Lalu Gosha. Lalu Vanantara. Lalu…"
Milind menunggu Tala menyelesaikan ucapannya.
"Aku tentu tak akan menghabisi seluruh penghuni Wanawa atau Aswa. Putri-putri bangsawan Wanawa dan Aswa adalah pasangan yang sempurna bagi Vasuki," Tala berujar dingin.
Seluruh tubuh Milind terasa mendidih seketika. Matanya berkilat, tertangkap oleh Tala yang langsung membuat kesimpulan sesukanya.
"Kenapa?" Tala menatap Milind. "Kau juga menginginkan mereka? Demi Jagad Vasuki, Milind. Pikiranmu bukan saja kotor, tapi juga serakah!"
"Paduka Tala," Milind mencoba tetap tenang dan sopan berbicara saat kekuatannya pulih segera, "hamba berharap Paduka berkenan memberikan mantra Vasuki untuk membuka rantai pusaka Gerbang Ambara. Kita semua membutuhkan pusaka untuk melawan Mandhakarma yang bisa saja mengancam sewaktu-waktu."
"Kita?" Tala memicingkan mata.
"Ya, Mandhakarma telah melibas Aswa, Jaladhi dan Gangika. Bukankah Gangika adalah sekutu Paduka?"
"Aku tak menyangkal, Gangika adalah sekutuku."
"Bagaimana Vasuki bisa bertahan, bila Mandhakarma menyerang?"
"Aku tidak berpikir Mandhakarma adalah musuh," Tala tersenyum licik.
Aku sudah menduga, pikir Milind. Walau Vasuki tampaknya belum bersekutu dengan Mandhakarma, tampaknya Tala ingin mengambil kesempatan untuk bergabung dengan kekuatan yang mampu menghancurkan Akasha dan Pasyu. Bukankah itu cita-cita utamanya?
"Bagaimana jika Mandhakarma beranggapan semua Pasyu, termasuk Vasuki, adalah musuhnya?" Milind mencoba memancing lebih jauh.
"Boleh jadi," Tala mengangguk. "Tapi sejauh ini, Mandhakarma tidak akan bergerak lebih jauh. Aku bisa pastikan."
Milind membelalakkan mata.
"Kenapa?" Tala tertawa kecil. "Kau terkejut?"
Tala berjalan menuju tepian altar singgasana. Angin kencang menerbangkan jubah dan rambut ikalnya. Milind berpikir cepat. Apakah Tala mengetahui apa yang tidak diketahuinya tentang Mandhakarma? Memang, Gelombang Hitam berhenti bergerak setelah meracuni Jaladhi dan Gangika. Setelah menghancurkan Aswa berikut benteng utara serta timur laut. Apakah ia berhenti setelah melewati perairan?
Ataukah ia berhenti setelah mendapatkan perlawanan…Nistalit?
Milind merasakan keterkejutan membuat dirinya nyaris terhempas jatuh dari ketinggian. Apakah ada yang terluput dari pengamatannya? Ia berjalan pelan mendekati Tala. Jubah hijau Wanawa yang berkibaran tampak mencolok di tengah warna hitam istana dan singgasana Vasuki. Bila yang menghentikan Mandhakarma adalah perairan Jaladhi dan Gangika, tentu Raja Jaladri banna Jaladhi dan Raja Nadisu banna Gangika tidak akan gusar, apalagi kebingungan menghadapi serangan yang berikut.
"Mandhakarma berhenti bergerak," Milind berujar hati-hati, "apakah karena…Nistalit?"
Tala terdiam.
Mereka berdiri bersisian.
"Hamba sungguh ingin berguru pada Paduka Tala," Milind berucap rendah hati. "Banyak hal yang hamba tidak ketahui."
Tala tersenyum kecil, menoleh ke arah Milind.
"Itulah kenapa kau kusebut sebagai panglima kesayanganku, Milind," Tala berujar. "Kau akan perkasa di bawah asuhanku."
Milind menunduk sesaat. Apakah memang lebih baik ia mengambil hati Tala?
"Berapa usiamu, Milind?" Tala bertanya, seolah mengalihkan percakapan.
Milind menatapnya tak mengerti.
"Seribu? Duaribu tahun?" tebak Tala. "Berapa usia Gosha, sahabatmu?"
Milind tak ingin menjawabnya.
"Walaupun usiamu telah mencapai seribu tahun, kau masih jauh lebih muda dariku. Kau bahkan belum banyak mengenal seluk beluk dunia setelah ribuan tahun. Padahal aku yang hanya berusia paling panjang limaratus tahun pun, telah belajar banyak. Apakah kau tak pernah bertanya-tanya, mengapa usia Akasha, Pasyu dan Nistalit berbeda?"
Milind menggeleng, "Hamba tak pernah mempertanyakan keadilan Penguasa Langit."
Tala menarik separuh ujung bibirnya ke atas, mencela.
"Gosha tak akan bersamamu selamanya," ujar Tala mengingatkan. "Ketika kau masih menjadi panglima, pengganti Gosha akan terpilih. Dan ia belum tentu sebaik Gosha, atau sepemikiran dengannya."
Milind membuang muka, merasakan kesedihan. Membayangkan Gosha menua disaat ia masih menikmati usia ribuan tahun tersisa. Membayangkan Gosha mati ketika ia masih sangat membutuhkannya.
"Siapa yang lebih baik Milind: Gosha atau dirimu?"
"Gosha seribu kali lebih baik dari hamba," Milind menukas cepat.
"Bagus. Manakah yang lebih kuat : pasukan Pasyu atau pasukan Akasha?"
Milind terdiam.
"Kau ragu menjawabnya?" Tala tertawa. "Tentu saja Pasyu lebih baik!"
"Pasukan Akasha tak terkalahkan," Milind menolak. "Pasukan Jaladhi, Gangika dan Giriya berjaya selama ribuan tahun. Wanawa pun demikian."
"Kalau kalian merasa kuat, wahai Akasha, kalian tak akan repot-repot mencari pasukan cadangan dari Nistalit. Coba tebak. Siapa yang menggunakan budak Nistalit sebagai tambahan prajurit? Jawabannya : Akasha Giriya dan Akasha Wanawa."
Milind menarik napas pendek.
"Apa kau tahu kenapa Pasyu ternyata lebih kuat dari Akasha? Persenjataan, pasukan, keberanian?" tanya Tala.
Milind menatap dalam ke arah mata Tala yang menyala.
"Karena kami hanya hidup limaratus tahun, paling lama. Ketakutan akan kematian membuat kami waspada dan memperkuat diri, apapun caranya. Tidak seperti Akasha yang bersukacita dengan umur panjang, hingga terbiasa hidup nyaman bermewah-mewah," jelas Tala.
Milind kembali menarik napas panjang. Ya, itu juga yang kerap mengganggu pikirannya. Bahkan Raja Vanantara dapat berduka sekian lama meratapi Ratu Varesha.
"Semakin pendek umur sebuah wangsa, semakin berbahaya dia," Tala mengumbar senyum licik.
"Apakah Tuan juga berbicara tentang Nistalit?" Milind mengorek lebih jauh.
"Tepat!" Tala menjentikkan jari. "Aku mengawasi, mengamati, meneliti budak-budak rendah kita yang berumur pendek. Yang tidak punya kekuatan, wilayah, kesaktian. Atau apapun yang pantas dibanggakan."
Sekilas wajah Nami yang cemberut dengan mata berkilat marah berkelebat.
"Coba pikirkan dengan liar, apa hubungan Nistalit dengan semua yang terjadi sekarang. Ayo pikirkan, Milind! Pikirkan saja! Tak ada yang akan menyalahkanmu!" Tala memerintahkan.
Milind melepaskan pandangan ke wilayah Vasuki yang terlihat sejauh mata memandang. Wilayah yang beririsan dengan Giriya, Wanawa dan juga Gangika. Mengapa harus merasa rendah ketika berbagi wilayah kekuasaan? Nistalit bahkan tidak memiliki itu semua. Mengingat Nistalit dan hubungannya dengan serangkaian malapetaka besar, sungguh tak ditemukan titik temu. Tetapi peristiwa di tepian Gangika yang memperlihatkan keahlian Nami dan Dupa menaklukan Pasukan Hitam, sungguh di luar dugaan.
"Apakah…," Milind tampak ragu. "Apakah …Nistalit memiliki hubungan dengan Mandhakarma?"
Tala bertepuk tangan.
"Mata batinmu sungguh tajam, Milind," pujinya. "Aku mengagumi kekuatan hati dan kecerdasan yang mungkin kau dapatkan karena kau suka menjalani laku tirakat seperti berpuasa."
Milind belum merasa puas, matanya mengikuti arah langkah Tala yang tengah naik ke tangga singgasananya.
"Kuberi tahu satu rahasia, Milind!" Tala berseru. "Ini tak kubagikan kepada sekutuku, tapi malah kepadamu."
Milind menatap tajam ke arah Tala. Sungguh sosok yang tak dapat dipercaya, namun kata-katanya terlalu nyata untuk diabaikan!
"Setiap kali aku membunuh sejumlah besar Nistalit, Mandhakarma bergerak. Kuakui, serangan Mandhakarma tempo hari terjadi setelah pertarungan para pangeranku dengan Nistalit di gua ceruk air terjun. Mereka juga banyak mati dalam pelarian. Lau, tetiba mereka pula yang bisa menaklukan Mandhakarma. Jadi kupikir, Mandhakarma bergerak karena kematian Nistalit. Tapi juga Nistalit yang mampu menghentikannya."
Milind membelalakkan mata tak percaya.
"Ah, Milind, Panglima Kesayanganku," Tala menatapnya iba. "Saat kita tengah bercakap-cakap seperti ini, para hulubalang dan pasukanku sedang memburu Nistalit di wilayah tepian Giriya. Mereka konon akan menyebrang ke Wanawa karena mendengar betapa manisnya kehidupan yang kalian tawarkan. Aku benar-benar ingin tahu, apakah Mandhakarma bergerak lagi sesudah ini?"
Milind menggertakkan geraham. Berharap perkataan Tala hanya bualan belaka!
❄️💫❄️