Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 159 - Si Penakut (1)

Chapter 159 - Si Penakut (1)

Dari mana Silva harus memulai?

Perasaan ingin terlibat, keinginan untuk dihargai, berangan untuk dianggap penting dan dianggap 'sesuatu' oleh orang lain. Ketika Candina dan Salaka membutuhkannya, baru kali ini di sepanjang hidup Silva yang panjang dan hampa, ada yang terdengar indah.

Dulu, ia tinggal di rumah seorang perempuan tua yang dipanggilnya nenek. Bu Candra sesekali datang menengok. Memberi sejumlah uang dan sedikit kecupan.

Teman-teman TK dijemput oleh para ibu mereka. Sebagian kecil ditemani pembantu, tapi mereka tetap saja memiliki orangtua.

"Silva, kamu dijemput nenek?" guru TK yang baik hati menemani Silva hingga sekolah benar-benar sepi.

Silva hanya bisa mengangguk.

Guru yang baik. Anak-anak yang baik. Tak ada yang mengusiknya dengan kata-kata atau tindakan. Anak kecil memang selalu baik, pikir Silva.

Ketika SD dan anak-anak mulai bisa bicara, sebagian mulai memberondongnya dengan pertanyaan. Tapi, mereka sungguh baik. Maklum, masih anak-anak, pikir Silva kembali.

"Mama kamu gak pernah jemput?"

"Pulang sama aku aja, yuk. Aku juga gak punya ibu."

"Aku tinggal sama tante aku. Tante aku baik, deh."

Ketika ia menduduki kelas yang lebih tinggi dan teman-temannya mahir berkata-kata, beberapa mulai ingin tahu.

"Eh, apa papa kamu udah mati?"

"Mama kamu meninggal?"

"Kamu yatim piatu? Kok sama nenekmu terus?"

"Kamu gak punya kakak? Gak ada adik?"

"Enak ya, jadi anak tunggal. Gak kayak aku, adikku banyak."

Silva mengingat itu semua.

Masa SD yang bagi sebagian orang hanya diisi dengan belajar dan menghabiskan uang jajan, tidak demikian baginya. Benaknya ditumpuki banyak pertanyaan dan pikiran-pikiran yang tak menemukan jawaban.

Siapa ayahku?

Siapa ibuku?

Apakah bu Candra benar-benar mamaku?

Kalau ia memang mamaku, apakah aku punya kakak? Adik?

Rumahku, di mana sebetulnya?

Pernah sekali waktu, bu Candra mengajaknya tinggal di sebuah rumah indah yang dipenuhi pilar-pilar dan lampu-lampu. Setiap orang punya kamar sendiri-sendiri. Ia pun demikian. Sejenak, kehidupan surgawi dirasakan. Hanya sebentar. Sebab orang-orang yang disebut sebagai kakak-kakaknya, lebih banyak menyudutkannya. Memarahinya. Menganggapnya bukan bagian dari keluarga Candra Cahyaningrat.

Silva mulai belajar, bahwa melampiaskan kemarahan pada orang lain terasa memuaskan. Seperti yang dilakukan kakak-kakaknya.

Akhir masa SD yang banyak dilalui dengan kegembiraan bagi anak-anak yang ingin bersegera menjadi remaja SMP, dihadapi Silva dengan pergolakan batin dan kegemparan emosi.

Mungkin karena ia baru saja menjalani masa menstruasi pertama.

Mungkin karena hormonnya tak stabil.

Mungkin karena berada di puncak kemarahan.

Mungkin karena tak ada satupun teman bicara kecuali seorang nenek yang bukan neneknya.

Ia jadi mudah berteriak, merusak, memukul. Ketua geng yang ditakuti ketika telah bersabda untuk menindas anak lain yang polos dan lugu. Skorsing beberapa minggu dan ancaman tak mempan. Hanya karena sekolah itu harus segera meluluskan siswa agar tak terlalu lama menjadi hama, ia lulus dengan nilai pas-pasan.

๐Ÿ”…๐Ÿ”†๐Ÿ”…

Nilai pas-pasan menghantarkannya pada sekolah yang dipenuhi anak borjuis dan circle tak sehat yang terbagi berdasar strata : anak rajin, anak cantik dan anak kaya. Ia masuk dalam kategori ketiga. Pilihan boarding school menjadi tujuan utama agar Silva tak lagi perlu berkumpul bersama keluarga besar.

Awalnya, ia merasa harus bersikap manis sebagai siswa di sekolah baru yang bergengsi. Sayangnya, isi kepalanya mulai dapat berpikir lebih panjang dari masa-masa SD. Boarding school bukanlah tempat yang nyaman untuk mengisi hari-hari. Ia hanya disingkirkan di sini, menjauhi ibu dan kakak-kakaknya yang tak ingin diganggu. Melihat kebahagiaan orang lain, menerbitkan magma panas dalam dadanya.

Mengapa ada yang bisa tertawa?

Mengapa orang bisa berteman dengan mudah?

Mengapa saat waktu kunjungan, ada yang memiliki keluarga?

Rasa rendah diri sempat menghantuinya hingga ia cenderung menarik diri. Tak memiliki prestasi apa-apa, selalu menjadi pecundang, deret paling akhir yang akan dipilih sebagai teman atau siswa teladan. Buruknya, ia menjadi bulan-bulan mereka yang merasa perlu melampiaskan kemarahan kepada makhluk yang lebih inferior seperti dirinya.

Seharusnya Silva bahagia di masa SMP, sebab uang sakunya tak pernah kurang. Anak-anak di sekolahnya tak semua bisa membeli tas berkelas, atau ponsel keluaran terbaru. Nyatanya, tidak. Ia tak bahagia. Uang tak selalu menghadirkan kegembiraan. Membeli barang-barang tanpa pujian teman, ada yang kurang. Ia haus penghargaan. Ia butuh dianggap ada.

Lama-lama, menjadi kasta terbawah tak memuaskan. Sebagai siswa dengan circle anak orang kaya, membuatnya memiliki previlige untuk bergabung dengan mereka yang selalu dimanjakan uang. Perilaku ganas dan brutal membuatnya terpilih sebagai ketua geng. Ia menguasai sekolah, jika timbul masalah, bu Candra membereskan dengan menyumbang uang yang cukup untuk membungkam.

Faktanya, tak cukup banyak untuk menyumpal mulut orang-orang hingga suara-suara masuk ke telinga.

"Ortunya gak pernah ikut acara komite."

"Dia kan anak yang gak ada bapaknya."

"Oh, anak haram ya?"

"Ibunya gak pernah keliatan. Jangan-jangan ibunya juga udah ngebuang dia."

"Kasihan sebetulnya, kayak gak ada yang bisa ngedidik dia."

"Apa? Kasihan?! Kelakuannya kayak anak setan! Anakku sampai robek mulutnya dia gampar!"

"Sekali lagi dia bikin masalah, kita bikin petisi! Dia memang masih di bawah 18 tahun, tapi tindakannya udah masuk kriminal."

"Jangan sampai punya anak kayak gitu. Amit-amit jabang bayi."

"Itu anak gak pernah dibacain doa. Kayak kesurupan sepanjang waktu!"

Itu yang masih diingat Silva.

Kabar burung dan ucapan buruk orang-orang masih banyak berseliweran di belakang punggungnya, tapi ia tak dapat mencatat karena harus segera pindah sekolah. Lagi dan lagi.

๐Ÿ”…๐Ÿ”†๐Ÿ”…

Karma berjalan.

Lulus SMP dengan nilai pas-pasan, buku penghubung penuh laporan buruk dan teman-teman tak setia yang mulai beranggapan ia hanya membawa musibah. Beberapa SMA menjadi tujuannya.

Satu SMA sebelum Javadiva, membalik posisi.

Silva, anggota geng yang paling berpengaruh, terpaksa mengakui bahwa ia memang melakukan perundungan pada seorang siswa hingga depresi. Orangtua yang tidak terima, menuntut agar Silva mengakui kesalahan dan membeberkannya. Pengakuan Silva yang dianggap sebagia pengkhiatan geng-nya, membuatnya menjadi pihak paling bersalah yang pantas mendapatkan serangan balik. Si pembully menjadi korban bully pada akhirnya.

"Dasar pengkhianat!"

"Ngapain bawa-bawa nama orang lain?"

"Ini kan idemu sendiri buat nggangguin anak itu!"

"Kalau aku sampai diskors, atau sampai dikeluarkan, aku bakal balas kamu berkali lipat, Silva!"

Teman-teman yang dulu seolah seia sekata dalam melakukan kenakalan, mereka ternyata tak mau dilibatkan jika salah satu kena hukuman.

Bu Candra mengancam, bahwa Javadiva adalah sekolah terakhir yang dituju. Bila sekolah bakat minat yang lebih bebas saja tak mampu dipatuhi, mana lagi sekolah yang pantas?

Silva pernah menjadi pihak yang ditindas dan menindas. Semuanya tak ada yang membanggakan. Satu-satunya pelajaran yang didapat adalah : ia semakin tak punya teman. Kesendirian adalah kawan paling abstrak namun paling setia yang pernah dimiliki.

Ia menolak berteman dengan siapapun.

Lebih suka mengunci mulut. Lebih baik mengunci diri. Lebih aman menjauh.

Sampai Sonna menjadi teman sekamarnya.

Sampai ia bertemu Candina.

Sampai Salaka meminta pertolongannya

๐Ÿ”…๐Ÿ”†๐Ÿ”