Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 152 - ●Pusaka Para Wangsa (6) : Penolakan Panglima

Chapter 152 - ●Pusaka Para Wangsa (6) : Penolakan Panglima

"Tidak," ucap Milind tegas. "Hamba tidak setuju. Akan hamba sampaikan sendiri kepada Raja Shunka bila hal itu sangat berbahaya."

"Sepakat!" Gosha tetiba bangkit berdiri. Melangkah ke arah jendela balairung dengan geram. Mondar mandir ke arah tempatnya duduk.

Calya menatap tak percaya. Tirai bening membayang di warna kelabu bola matanya.

"Panglima Gosha, duduklah," Yami mencoba menenangkan. "Kita harus bahas hingga tuntas perkara ini."

"Hamba akan mengawal Putri Calya," Jagra berucap yakin. "Hamba pastikan keselamatannya."

"Tidak!" Gosha bersikeras. "Dua sosok terbaik Aswa akan mati sia-sia??"

Calya menatapnya gusar. Jagra pun terhenyak.

"Hamba setuju dengan Gosha," Milind menggeleng tegas.

Sebutir air luruh di ujung mata Calya, ia mengusapnya cepat. Milind dan Gosha menahan napas memandangnya. Air mata perempuan selalu berhasil mengguncangkan sikap laki-laki paling kokoh.

"Apakah kalian tidak tahu…apa yang bisa dilakukan pusaka dan sarungnya bila…bertemu?" Calya menahan isak tangis.

Pusaka kerajaan adalah senjata pamungkas yang akan melengkapi dan memperkuat bukan hanya raja dan prajurit, namun juga seluruh benteng yang melindungi rakyat di dalamnya. Dibentuk dari material unggul kerajaan, ditempa oleh semedi ratusan pandhita terbaik yang siang malam merapal doa, disepuh mantra sakti raja dan ratu yang tiada henti menjalani tirakat bersama para prajurit terpilih. Jika pusaka kerajaan kembali ke tahtanya beserta warangka*, maka kekuatan utuh nan dahsyat akan didapatkan kembali. Raja berlipat kesaktiannya, wilayah bertambah-tambah kesuburannya.

Lembah hijau.

Hujan rinai.

Tambang melimpah.

Tanaman yang menghasilkan.

Dan, penyakit yang terobati.

"Ratu Laira …akan punya kesempatan untuk mendapatkan hidupnya kembali," Calya menatap Yami dan Nisha bergantian. Padangannya yang sayu namun menghunjam tertuju ke arah Milind, "Tidakkah kau menginginkan hal ini juga?"

Milind menelan ludah.

Nisha terkesiap. Tubuhnya menegang. Ia menatap Calya lurus, penuh harapan dan kecemasan.

"Apakah…yang Putri Calya sampaikan …benar adanya?" Nisha terbata bertanya.

"Kita belum tahu," Gosha memotong cepat.

Milind tak menjawab.

"Milind?" Nisha mengalihkan pertanyaan, tak mendapatkan jawaban. Cepat ia beralih ke arah Yami, "Ayunda Yami?"

Yami terdiam, mendesah panjang, berujar lamat-lamat, "…ya…aku…aku pernah mendengar demikian adanya."

Napas Nisha turun naik tak teratur, matanya melebar. Bayangan Raja Vanantara yang seringkali memasuki bilik khusus Ratu Varesha melintas jelas. Dirinya yang sering mengendap sejak kecil, masuk bilik itu, menggenggam tangan ratu dan menjatuhkan air mata yang menganak sungai. Hingga kini. Kerinduan yang tak terbendung bahkan ketika telah berpindah ke Girimba. Ia ingin melihat ibunya membuka mata, menatap dirinya, memeluk dan membelai rambut. Mencium pipinya, seperti yang dilakukan para ibu.

Vanantara mencintainya. Yami mengasihinya. Seluruh rakyat memujanya. Tapi betapa kecil perasaannya hidup tanpa kehadiran seorang ibu. Seolah, matahari dan bulan tak sama cerahnya dengan mereka yang masih merasakan dekapan hangat seorang bunda. Ada kekosongan demikian luas dan dalam di jantungnya yang kecil, hingga terkadang ia tak sanggup membendung kehampaan yang menyesakkan.

Bila, Ratu Laira dapat dibangunkan dari tidur panjangnya, berarti Ratu Varesha pun demikian!

Nisha berdiri tetiba.

"Aku mendukung Putri Calya!" bibirnya bergetar. Matanya beradu pandang dengan Calya yang tampak berterima kasih.

"Putri Nisha!" Milind dan Gosha serentak meninggikan suara tanpa sadar.

Yami berdiri, mendekati Nisha, berusaha menenangkannya, "Adinda, jangan gegabah!"

Nisha melepaskan pegangan tangan Yami di lengannya.

"Kalau itu bisa mengembalikan ibuku untuk hidup lagi, akan aku lakukan apapun!" pekik lirih Nisha bagai bisikan getir paling pahit. "Bahkan…jika aku harus menemani Putri Calya ke Vasuki. Aku siap untuk itu!"

"Nisha!" Yami membentaknya. Matanya menatap nyalang, namun seketika dipenuhi rasa bersalah dan keinginan untuk meminta maaf. "Nisha…kau tak tahu apa yang kau katakan!"

Nisha membalikkan badan.

Tangisnya tak dapat teratasi. Ia berlari cepat meninggalkan balairung; meninggalkan Milind dan Gosha yang masih ternganga. Calya menatap kedua panglima gusar, ia bangkit dan berlari mengejar Nisha menuju biliknya.

❄️💫❄️

Dalam bilik putri yang dihiasi tirai-tirai hijau dan lampu kristal berukir, Nisha membenamkan diri. Pembaringan empuk yang dingin dan lembut tak memberikan rasa nyaman yang dibutuhkan. Para dayang tak berani mendekati, hanya Calya yang punya nyali menerobos masuk. Sejenak tampak ragu harus berbuat apa, sejurus kemudian, menyentuh lembut bahu Nisha lalu mereka berdua berpelukan dalam sungai air mata.

"Aku merindukan ibuku, Calya," bisik Nisha.

"Aku tahu, Nisha. Aku tahu," Calya mengangguk di bahunya, mengusap punggungnya. "Dapat kurasakan bebanmu. Bahkan aku, yang belum lama berpisah dengan ibuku, sudah demikian beratnya. Apalagi dirimu. Itulah sebabnya, ketika ayahku meminta tugas yang tampak tak masuk akal ini, aku langsung mengiyakan."

Nisha menarik wajah dari bahu Calya, mereka saling mengusap wajah basah di hadapan masing-masing. Jemari Calya mengeringkan pipi Nisha, begitupun sebaliknya. Mereka tersenyum dan tertawa lirih bersama, mencoba menghibur diri.

"Aku akan menemanimu," Nisha berkata penuh kesungguhan.

Calya menggeleng, menolak dan berkata, "Jangan."

"Kenapa?"

"Hanya aku yang ke sana. Itu pesan Raja Shunka, ayahku."

"Oh, aku juga ingin membantumu mendapatkan mantra Vasuki!"

"Aku tidak berani melanggar perintah ayahanda," Calya mendesah. "Lagipula Nisha…kalau aku gagal…andaikan aku tak berhasil…"

"Apa maksudmu?!"

"Kalau aku gagal," Calya mengusap kembali pipinya yang basah, "…kau yang harus melanjutkan tugasku. Janji?"

Nisha menegakkan kepala. Merasakan janji itu terdengar memiliki kekuatan, keberanian dan harapan yang memungkinkan. Mereka berbicara tentang rencana-rencana yang memiliki peluang untuk dilakukan, persekutuan rahasia yang selama ini tak pernah dilakukan. Ikrar yang tampaknya mengikat untuk jangka panjang ke depan.

"Ayo, kita lakukan janji seorang putri," Calya menegaskan, mengeluarkan sebuah pisau kecil dari balik bajunya.

Nisha tersenyum, menatap wajah Calya, sembari mengeluarkan pisau kecil yang sama. Calya menyentuh rambut gelap panjang Nisha yang menjuntai, mengambil sedikit ujungnya. Nisha pun meraih rambut perak bergelombang di depannya, mengambil sedikit ujungnya. Mereka saling menatap dalam pandangan teguh, memotong ujung rambut putri di depannya dengan pisau masing-masing.

"Aku akan mendukungmu, Calya," Nisha merasakan keberanian merekah di dadanya. "Apapun itu. Walau harus berhadapan dengan Ayunda Yami, Gosha dan Milind sekalipun."

Yami muncul tetiba di hadapan mereka.

Wajahnya tampak marah dan gusar. Dadanya dipenuhi tarikan napas yang berat tak berirama. Ia menatap keduanya tajam, penuh tuduhan.

"Kau belum meminta izin padaku, Nisha," ucapnya penuh tekanan. "Kau belum meminta izin ayahanda Raja Vanantara pula!"

Calya berdiri, menghalangi Yami dari perselisihan dan pertengkaran.

"Putri Yami," ucapnya tenang, "Putri Nisha tak akan menemaniku. Ia akan tetap di sini. Aku akan berangkat sendiri ke Vasuki. Bukankah begitu?"

Calya menatap Nisha yang perlahan bangkit dari duduknya. Mereka berpandangan sejenak, menyungging senyum dan kilatan mata penuh rahasia.

"Ya," Nisha mengangguk.

❄️💫❄️

Pada akhirnya Calya berkata, bahwa ia tak membutuhkan izin siapa pun untuk berangkat menuju Vasuki. Raja Shunka telah memberikan persetujuan bahkan perintah. Lawatannya ke Girimba memang untuk menjenguk Milind, menitipkan serbuk kristal sebagai obat ampuh bagi luka-lukanya. Apapun pendapat Milind dan Gosha, tak akan menghalangi langkahnya. Jagra mendapatkan perintah khusus untuk mengawal Calya, sesuatu yang terasa aneh bagi Gosha.

"Seharusnya, aku yang mendapatkan perintah itu," Gosha melemparkan keresahannya pada Milind.

"Raja Shunka beranggapan, kau masih terluka."

"Tidak, aku rasa bukan itu," Gosha menggeleng.

"Atau, kau dipersiapkan untuk membuka Gerbang Ambara," Milind menduga. "Tugas pamungkas ini tidak boleh gagal, bahkan harus sempurna. Kemampuan Jagra masih kalah di bawahmu, Gosha."

Gosha terdiam.

"Aku hanya merasa ada yang aneh. Ada yang tidak tepat, tapi tak bisa kubuktikan," gumam Gosha.

Milind menatap sahabatnya, menepuk pundaknya pelan.

"Kau masih harus banyak beristirahat," tegur Milind. "Biarkan Jagra memenuhi tugasnya. Aku akan memerintahkan Janur membantu Jagra."

Gosha menggeleng, "tidak perlu, Milind. Kurasa, aku sendiri yang akan mengawal Putri Calya."

"Kau gila! Raja Tala akan langsung menyerangmu!"

"Aku akan mengawasi dari jauh," Gosha memutuskan. "Aku tak bisa membiarkannya berangkat seperti ini. Bagaimana pun, tanggung jawabku sebagai panglima untuk memenuhi permintaan rajaku, walau aku tak menyetujuinya."

❄️💫❄️

__________

*Warangka (bhs. Jawa) : sarung/ tempat pelindung pedang atau keris