Girimba.
Bersimpuh di hadapan sepasang pohon hijau besar nan rindang, warna dedaunan secerah senyuman. Ketenangan yang menjadi simpul badai. Di bawah bayang keperkasaan raja murah hati, yang keberaniannya mengungkap kebenaran palsu. Rasa berseri-seri seperti ini seakan pernah dikenali. Gumpalan kebahagiaan yang memberikan jalan panjang bagi harapan.
Napas lembut cinta bertiup di telinga, membisikkan nama.
Sepasang lengan yang begitu dekat, mendekap hangat, lalu membebaskan lepas bagai burung. Terbang menjelajah langit yang begitu dekat, untuk kemudian tubuhnya terasa menukik tajam dalam cekungan takdir. Desah kepedihan yang berat, tarian kematian, hujan setajam jarum dan sengatan kenangan akan kehilangan.
Ia berteriak dalam gelap hingga denyut di dada terguncang, sakit menguras seluruh kekuatan dan ingatan hingga menyerah kemudian dalam gelap yang suram.
Gosha memeluknya. Mendekapnya erat.
"Milind!" bisiknya. "Kau aman di sini, bersamaku!"
Hal terakhir yang diingat adalah gelombang besar pukulan Burjaga berikut tendangannya yang menggulung dasar samudra hingga permukaan bumi serasa merekah dalam kemurkaan.
"Bahar! Bagaimana dia?" terengah Milind bertanya.
Gosha menatap sahabatnya penuh iba. Bahkan dalam keadaan paling berbahaya, yang diingatnya hanya menyelamatkan pihak lain.
"Bahar telah memutuskan rantai Vasuki dan Jaladhi –tentu dengan bantuan mantra Vasuki yang ada di dirimu –, lalu ia memotong rantai terakhir ikatan antara Jaladhi dan Aswa," Gosha menenangkan. "Kau berhasil, Milind."
Milind menatap Gosha tak percaya.
"Kita berhasil?" bisiknya.
Gosha tertawa kecil. Begitulah Milind! Ia tak ingin menyombongkan diri walau semua bertumpu padanya!
Milind duduk bersila, bersemedi untuk beberapa waktu. Tenaganya yang terkuras perlahan pulih. Bila diamati sekeliling, seratus prajurit pilihan yang mengawal menuju Kawah Gambiralaya tengah berbaris rapi di sekeliling peraduan. Wajah mereka terlihat cemas dan tegang. Milind, perlahan bangkit dari istirahat, mendekati pemimpin prajurit dan memujinya.
"Kerja bagus, Prajurit Wanawa."
"Kami sangat buruk di Kawah Gambiralaya," sang pemimpin berlutut, memberi hormat. Diikuti sembilan puluh sembilan sisanya. "Kami menunggu hukuman Panglima."
Milind tersenyum, menggelengkan kepala.
"Tanpa kalian, aku pasti tak akan kembali ke Girimba," sahut Milind.
"Raja Jaladri dan Ratu Jaladhini menunggu di tepian kawah, membantu para prajurit yang porak poranda. Mereka berdua membantu dengan kekuatan mantra untuk menopang tubuh-tubuh yang terhempas saat itu," Gosha memberi keterangan singkat.
"Raja dan Ratu Jaladhini," bisik Milind. "Aku sangat mengagumi mereka, sebagaimana rasa hormatku pada Raja Shunka dan Ratu Laira."
Ingatan akan Ratu Laira menikam benak Milind. Ialah yang menyelamatkan lukanya dan tertidur panjang sebagai ganti nyawa yang ditawarkan kepada Milind.
"Nasib pusaka-pusaka kita…," suara Milind menggantung.
"Aman di kerajaan masing-masing," Gosha memotong. "Raja Shunka telah menggenggam pusaka Aswa, begitupun Raja Vanantara."
"Apakah di Girimba atau Giriwana?" selidik Milind, bertanya ke arah pemimpin prajurit.
"Berada dalam pangkuan Raja Vanantara di Giriwana, Panglima," ia menjawab.
Milind terdiam, merasa tak nyaman membiarkan sang raja mengawal pusaka itu tanpa seorang panglima di sisinya.
"Aku akan selekasnya ke Giriwana," ucap Milind. "Kewajibanku berada di sisi Raja Vanantara."
"Tidak bisakah kau berhenti barang sejenak?" tegur Gosha. "Beristirahat sepenuhnya agar benar-benar pulih."
Gosha menatap Milind dalam-dalam. Apakah peristiwa Kawah Gambiralaya sama sekali tak memberikan bekas bagi kekuatan dan kesaktiannya?
Milind tetiba teringat sesuatu.
"Pusaka Vasuki," tanyanya hati-hati, "...bagaimana?
"Tetap di tempatnya," tegas Gosha. "Raja Jaladri-lah yang sempat bertarung sejenak dengan Burjaga dan memaksanya menyerah, bahwa bagaimana pun, tak ada pihak yang ingin merebut pusaka Vasuki. Burjaga boleh menjaganya seorang diri di Kawah Gambiralaya."
❄️💫❄️
Hulubalang Janur tiba di bilik Milind. Wajahnya terlihat cerah melihat apa yang terpampang di hadapan, ia bahkan berlari dan memeluk sang panglima. Milind menepuk bahu Janur, yang tampak seperti seorang adik dalam asuhannya. Janur tetiba malu dan berlutut, memberikan hormat yang dalam.
"Kau selalu sibuk sejak menjadi bawahanku, Janur," Milind berkata prihatin.
"Suatu kehormatan bagi hamba, Panglima," Janur mengatupkan telapak tangan kiri dan genggaman tangan kanan di depan dada. "Perjamuan telah siap."
Milind mengerutkan kening, "Perjamuan?"
"Putri Yami membuat perjamuan sederhana bagi para prajurit dan demi menyambut Panglima Milind kembali."
"Tugas kita belum selesai, bahkan masih jauh dari tuntas," Milind menarik napas tegang.
Demi menatap wajah Janur, para prajurit khusus yang mengiringinya ke Kawah Gambiralaya, juga melihat raut muka Gosha; Milind sadar. Ia harus memberi sedikit jeda setelah kekacauan parah dan kelelahan luarbiasa. Bukan hanya dirinya yang berpikir tentang Gelombang Hitam dan pertarungan panjang dengan Mandhakarma. Ketegangan antar dinasti dalam wangsa Akasha dan Pasyu pun meningkat, seringkali tak dapat ditentukan arahnya. Persekutuan yang sempat membaik saat pembukaan pusaka, belum tentu dapat bertahan lama. Tidakkah bijak, memberikan kesempatan bersenang-senang sesaat?
Pada akhirnya, Milind tersenyum, memberikan isyarat ruang lebih lapang bagi semua untuk rehat. Bagaimana pun ia perlu berterima kasih pada semua yang telah mendukungnya.
"Putri Yami juga ingin menghormati tamu agung yang datang," Janur menjelaskan, berhati-hati.
Alis Milind naik. Siapa yang dimaksudkannya?
"Putri Calya halla Aswa," Janur memberitahukan. "Ia berkunjung ke mari dan ingin menjenguk Panglima Milind yang terluka. Berita Paduka memimpin pasukan untuk membuka rantai pusaka telah tersebar di seantero dunia."
"Menjengukku?" Milind mengedipkan mata ke arah Gosha. "Aku rasa, kau salah tujuan, Janur."
Wajah Gosha memerah.
"Mungkin ia akan menjemput panglima kesayangannya untuk kembali ke Aswa," Milind tanpa ampun meledek. "Aku pikir Gosha sudah terlalu lama di sini. Pasti banyak yang merindukannya."
"Aku tahu Putri Calya," Gosha mengelak, memalingkan muka. "Kalau ia berkata akan menjengukmu, berarti demikian adanya."
"Aku khawatir banyak yang akan patah hati begitu Gosha kembali ke Aswa," Milind mendorong Gosha untuk ke luar biliknya. "Kalian pergilah. Aku harus memantaskan diri untuk perjamuan."
❄️💫❄️
Walau perjamuan itu bagi semua – terutama menyambut kehadiran Putri Calya halla Aswa – semua yang hadir seolah sepakat bahwa Milind banna Wanawa lah yang sesungguhnya paling ditunggu untuk muncul.
Senandung lembut pemusik melantunkan irama kedatangan nan merdu di pucuk-pucuk dahan. Petikan dawai secepat langkah kaki yang teguh dan ringan milik sang panglima. Rambut panjangnya diikat separuh ke belakang. Helai-helai halusnya melambai seiring angin berhembus bersama gerakan dirinya. Pakaian hijau daun yang menjadi ciri khasnya, berikut ikat pinggang berukir tipis melingkar. Senyum ramahnya terlalu singkat tergurat di wajahnya yang selalu tampak merenung. Tatapan matanya lembut dan teliti menyapu ruangan, bila pandangannya menyentuh wajah seseorang, mantra seolah diucapkan.
Semua memberikan salam penghormatan.
Sesosok yang telah lama menanti kehadirannya, mendekat. Kecantikannya dan keteguhan paras sang panglima; seolah saling melengkapi. Tak satu pun yang hadir dapat menyembunyikan senyum kebahagiaan, melihat keduanya berdiri berjajar.
"Senang melihatmu baik-baik saja, Panglima Milind," suara Nisha terdengar jernih.
"Jubah hijau sulaman Putri Yami dan Putri Nisha, selalu melindungi hamba," Milind tersenyum.
"Kau harus banyak makan, Milind," Yami menyela keduanya. "Kau masih terlihat pucat."
"Hamba ingin memberikan salam penghormatan terlebih dahulu kepada Putri Calya," Milind menundukkan kepala, kearah putri kebanggaan Aswa.
Calya, berdiri di sana, di samping Gosha. Rambut perak yang bergelombang membingkai indah wajah putihnya. Bening mata kelabu menatap Milind, bibirnya tersenyum. Milind semakin menunduk. Ia dapat merasakan, pandangan Calya bercampur aduk bagai lukisan pertarungan benak dan perasaan. Bagi Wanawa, Milind adalah pahlawan. Bagi Aswa, bisa jadi sebaliknya.
Sedikit bergetar, Calya membuka suara. Menyampaikan salam hangat dan cinta dari Raja Shunka. Betapa ingin Milind bersimpuh di hadapannya, meminta maaf atas sesuatu yang tak dapat ditebusnya. Kecantikan Calya dan Ratu Laira bagai pinang dibelah dua, walau sifat kekanakan masih jelas membayang dalam gerak gerik Calya.
"Nisha," Yami memecah kecanggungan, "perintahkan para dayang menuang minuman dan menggelar hidangan. Para panglima kita dan prajuritnya harus makan kenyang. Setelah itu, kita akan rapat di aula Cempaka."
Aula Cempaka.
Milind menarik napas panjang. Apa yang akan dibahas di sana?
❄️💫❄️