Tujuan pembersihan yang dilakukan Salaka pada lingkaran dalam Dahayu dan lingkaran kedua adalah untuk mempersiapkan penyatuan seluruh unsur perak yang masih tersisa di bekas kerajaan wangsa Akasha dan Pasyu yang pernah bertahta belasan ribu tahun silam.
Adanya gangguan dan kekotoran yang ditimbulkan Dubiksa serta pasukannya, akan mempersulit penyatuan yang diharapkan. Mengapa serbuk perak tak digunakan langsung untuk menghadapi empat pasukan utama : Basruwa, Basunggal, Badwasa dan Bagulwab? Itu pula yang ditanyakan Candina.
"Kita tak dapat mengandalkan kekuatan sendiri, Candina," jelas Salaka. "Pertimbanganku, serbuk perak hanya dapat mengalahkan pasukan Dubiksa. Mereka mati, begitu saja."
"Mereka mati," Candina mengulang, "kita dapat keuntungan. Bukankah begitu?"
"Ya. Tapi, tak ada hal lebih yang didapatkan kecuali kematian mereka. Ketika melemparkan serbuk perak ke cermin, aku berharap lebih banyak kekuatan yang bergabung bersama kita."
Candina membelalakkan mata, "apa maksudmu, Salaka?"
"Aku melihat kekuatan Silva," Salaka merenung. "Ia bisa menguasai perak dan memanfaatkannya. Kita terbantu sekali. Dapatkah kau bayangkan bila banyak orang seperti Silva mendukung kita?"
Candina terdiam. Ia merindukan gadis itu. Gadis pemurung yang tak tertebak. Gadis pendiam, penyendiri, selalu tak diperhitungkan. Nyatanya, ia menyimpan kekuatan istimewa yang dapat diledakkan bila mendapatkan pemicu tepat.
"Aku harap Sonna dapat menggantikannya…," ujar Candina, suaranya mengambang tak yakin.
"Ya."
"Walau Sonna tak seperti Silva," Candina mengingatkan.
"Ya."
"Apakah kau tak memaafkan Silva, Salaka?" pancing Candina. Ia merasa iba pada beban berat yang harus ditanggung sebagian besar oleh pemuda di depannya. Hampir seluruh malam Salaka digunakan untuk bersemedi, melapisi persenjataan para prajurit yang akan digunakan dalam pertarungan agar lebih memiliki daya hancur yang lebih dahsyat.
"Bila ada Silva di sini, mungkin kita akan terbantu," gumam Candina.
Salaka terdiam. Tak mengiyakan, tak menyangkal.
Suatu saat, Candina, bila waktu masih berpihak; aku akan mengisahkan secara lengkap kisah leluhurku padamu. Apakah sejarah akan berulang, untuk kesekian kali? Suara batin Salaka berucap, menghadapi gadis di hadapannya.
🔅🔆🔅
Sebuah malam yang tenang bagi banyak orang. Sebuah malam yang bising dan menegangkan bagi sosok seperti Salaka dan pasukan Dubiksa. Tahun-tahun terbagi menjadi bulan. Bulan terpisah dalam pekan demi pekan dan hari demi hari. Dalam waktu satu hari; berdetak detik, menit hingga jam. Ada waktu-waktu istimewa yang diwaspadai oleh setiap makhluk di alam semesta.
Di atas dini hari, adalah masa emas bagi pasukan Dubiksa untuk menebarkan terror ke hati manusia. Salaka mengamati angkasa di luar ruang Dahayu. Cuaca sebagian tampak berkabut hingga beberapa lapis ke luar Dahayu, udara terasa lebih lembab dan suhu turun dengan cepat. Matanya tajam meneliti dan memikirkan sesuatu.
"Dirya! Balwa! Lingkaran dalam sudah kalian pastikan bersih?" Salaka berkata.
"Sudah, Pangeran!"
"Lingkaran kedua, bagaimana?"
"Malam ini, kami akan selesaikan urusannya."
"Kalian sanggup hingga lingkaran luar?" Salaka kembali bertanya.
Hening sesaat, sebelum suara tegar berucap, "Kami sanggup, Pangeran!"
"Bagus," Salaka mengangguk. "Candina akan membantu kalian untuk membersihkan lingkaran kedua. Malam ini, lingkaran kedua Dahayu harus bersih sebersih-bersihnya. Kita dikejar waktu. Empat purnama paruh pertama akan hadir sebentar lagi. Balwa! Kau yang memimpin kali ini!"
Persiapan dan persenjataan dilakukan secara singkat, seperti yang sudah-sudah.
"Berikan aku tugas, Salaka," sebuah suara berat menegur.
Semua yang hadir di aula Dahayu menoleh ke arah suara. Sosok tangguh menakutkan berdiri di sana, dengan mata berkikat yang teguh dan meyakinkan.
"Nimar," Salaka mengangguk. "Apa yang kau inginkan?"
"Aku membantu anak buahmu lolos dari pasukan Dubiksa," ujar Nimar mengingatkan, melangkah mendekati Salaka.
"Kau menginginkan sesuatu dari penyatuan perak?" Salaka menelisik lebih jauh. "Aku tak bisa menjanjikanmu apa-apa."
Nimar terdiam sesaat.
"Jujur, aku ingin meminta sesuatu padamu," Nimar melemparkan keluh kesah, "…tapi aku tahu, itu tak pantas. Aku ingin menawarkan kemampuanku kepadamu terlebih dahulu. Selebihnya, aku percaya pada keputusanmu, Pangeran Salaka."
Salaka menatap Nimar tajam, sebelum akhirnya memberikan keputusan. Senyum Salaka menggurat samar. Ia mengisyaratkan Candina untuk mendekati Nimar dan meminta pasukannya bergerak cepat membersihkan area lingkaran kedua Dahayu untuk yang terakhir kali. Sama seperti Pasukan Perak yang lain, Candina berpakaian lengkap, disertai cadar kemilau yang melindungi separuh wajahnya.
🔅🔆🔅
Basruwa dan Basunggal telah menunggu di tepian lingkaran kedua. Tampaknya, mereka tak akan meloloskan pasukan Salaka untuk melangkah lebih jauh.
"Setelah serbuk perak, apa lagi yang kalian andalkan?" Basunggal terbahak. "Kau? Apa yang kau miliki selain selain bandul karatan?"
Candina berusaha tak menggubris, walau akhirnya ingin juga melepaskan kata-kata ancaman.
"Nanti akan kalian rasakan sendiri, kehebatan bandul jamku yang telah dilapisi semedi panjang," ujar gadis itu waspada. "Apa senjata yang kalian miliki?"
Dirya menegang. Suhu dingin udara terasa menyesakkan. Angin bertiup pelan, seolah membisikkan kata-kata ancaman bahwa rencana kali ini tak berjalan sempurna. Apa yang direncanakan Balwa? Mengapa ia biarkan Candina banyak berbicara kepada Basruwa dan Basunggal?
"Dengar aba-abaku, Dirya," Balwa berpesan padanya sebelum keberangkatan. "Biarkan Candina memancing."
"Bahkan sepasang mataku bisa membunuh kalian!" Basruwa mengejek. "Apa kalian tidak ingat?"
Candina tentu ingat. Beberapa kali Basruwa membuktikan, pandangan matanya mampu menumbangkan lawan. Bukan dalam pertarungan bersama Salaka, namun ia pernah menyaksikan sendiri kehebatan tatapan mata Basruwa dalam sebuah pertempuran yang lain.
"Andaikan matamu melumpuhkan, harusnya kami sudah mati semua di sini," Candina mengejek, sembari perlahan mengeluarkan bandul jam dari saku. Mengelus rantai perak panjangnya.
"Keparaaat!"
"Tunggu!" Candina menahan Basruwa. "Apakah Basunggal masih menggunakan lidahnya?"
"Kau ingin merasakannya?!"
"Aku sangat menghormati Pasukan Hitam Dubiksa yang terkenal. Aku masih ingat bagaimana kalian memenangkan pertarungan ratusan tahun silam ketika…"
Dirya semakin tegang.
Ia tak menangkap kalimat-kalimat yang diucapkan Candina. Matanya tajam mengawasi sekitar. Pasukannya berjaga rapat. Tapi di mana Balwa? Di mana pula Nimar? Dirya merasakan degup di dada berloncatan tak beraturan. Matanya mengamati kawanan Basruwa dan Basunggal yang sama rapatnya seperti Cadar Perak.
Dua titik kecil seperti tetes kembang api muncul di belakang.
Tanda itu muncul : sekarang!
Nimar melompat tinggi, melontarkan Balwa dari atas punggungnya. Alam berkabut dan suhu dingin membawa aliran angin bertiup kencang, bersamaan jemari Balwa menebarkan serbuk perak yang tetiba secepat kilat bagai menghujani kawanan Basruwa dan Basunggal.
"Diryaaa! Serang!"
Keris yang berada di pinggang masing-masing prajurit Salaka lolos dengan satu komando.
Eiiiirrrrrrkkkkkhhh.
Heeeerrrrkhh.
Keris-keris berlapis semedi pangeran berkelebat cepat, menghabisi lawan yang terkejut dengan gerakan secepat kilatan halilintar. Kawanan Basruwa dan Basunggal tumbang dengan cepat, sebelum mereka sempat menyadari siasat Cadar Perak. Dirya dan Balwa begitu bersemangat mengayunkan keris masing-masing, menyerang musuh yang masih terpana dengan hujan serbuk perak yang dibawa oleh kecepatan angin.
"Pangeran Salaka memang cerdas!" pikir Dirya. "Ia memerintahkan Balwa untuk memanfaatkan angin bertiup, dan menyuruh Candina berbusa-busa menarik perhatian Basruwa dan Basunggal hingga waktunya tepat. Angin membantu sedikit serbuk perak bekerja cepat dan tangkas. Sebagian musuh roboh, hancur berasap."
Nimar, menyabet kawanan Basruwa dan Basunggal dari lapis paling belakang. Balwa, Dirya, Candina dan seluruh Cadar Perak merangsek dari depan. Serangan mata Basruwa dan lidah Basunggal tak sempat dilepaskan. Kalaupun dilepaskan, dampaknya dapat dihindari dengan lincah, mengingat serbuk perak yang diterbangkan angin telah membuat kawanan Pasukan Hitam porak poranda.
"Masuk ke rumah-rumah!" teriak Balwa. "Lepaskan serbuk perak ke cermin-cermin!"
Cadar Perak bergerak cepat. Menembus yang memungkinkan, menghindari yang tak dapat dilalui.
Lapis lingkaran kedua Dahayu telah diamankan. Seluruhnya mengambil napas lega sesaat.
"Hati-hati, Dirya!" Balwa berucap, melihat tapak kaki langkah temannya menapak batas lingkaran kedua dan lingkaran luar Dahayu.
Badwasa dan Bagulwab diperkirakan telah menunggu.
🔅🔆🔅