Silva sulit memejamkan mata, walau hari akan menginjak dini hari. Percuma memaksakan diri bersembunyi di bawah selimut, rasa kantuk tak kunjung datang. Pikiran tak berhenti bekerja, berkejaran dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban.
Sonna mengendap masuk.
Setelah membersihkan diri dan berdoa, ia berjingkat naik ke tempat tidur.
Sama seperti Silva, Sonna tak dapat memejamkan mata. Ucapan Candina benar-benar mengganggu benak.
"Ayam seharusnya berkokok di pagi hari," Candina berujar hati-hati.
"Karena melihat ufuk fajar?" tanya Sonna.
"Atau melihat sayap-sayap cahaya. Mata ayam sangat tajam, mereka bisa melihat makhluk tak nampak. Termasuk Pasukan Hitam."
"Pasukan Hitam yang kamu ceritakan bertarung dengan Cadar Perak itu?" Sonna ingin tahu.
"Ya. Ketika kokok ayam lebih awal berbunyi, tanda mereka telah berhasil menaklukan satu manusia. Konon, kejahatan yang dilakukan terutama ditujukan bagi para gadis agar menyerahkan diri pada pemuda-pemuda yang dikuasai Pasukan Hitam."
Sonna bergidik.
"Itu yang dikhawatirkan Salaka ketika mendengar teka-teki yang dilemparkan Pasukan Hitam," Candina mendesah berat.
Sonna membolak balikkan tubuh.
Silva. Dirinya. Initta. Zaya. Apa yang terjadi bila mereka bertemu Pasukan Hitam atau orang-orang yang telah dikuasai musuh-musuh pasukan perak, prajurit Salaka?
Silva berbisik pelan, memanggil namanya. Sonna menarik napas pendek.
"Son?"
Sonna berusaha mengabaikan.
"Kamu udah bobo?" bisik Silva.
Sonna tak menjawab. Bingung bagaimana harus menanggapi. Ia ingin bercerita banyak pada Silva setelah mereka melewati banyak hal bersama-sama.
"Aku minta maaf, Son," desah Silva pelan sebelum keduanya terjatuh terlelap entah di menit ke berapa lewat tengah malam.
๐ ๐๐
Salaka bercakap pada Candina lewat semedi, membantu gadis itu mendapatkan gambaran yang terjadi di luar lingkaran dalam Dahayu, Javadiva.
"Dirya bertarung dengan Basruwa dan kawanannya malam ini. Beberapa malam yang lalu, sebetulnya Dirya sudah bertarung dengannya, dan menang. Kita tak tahu untuk kali ini, apakah Dirya akan mampu melewati dengan baik," ujar Salaka.
"Apakah Balwa menghadapi musuh yang sama?"
Di hadapan mereka, bayangan berganti.
"Balwa menghadapi Basunggal," jelas Salaka. "Kau lihat pakaian hitamnya yang berbeda dengan Basruwa. Tanda merah menunjukkan letak kekuatan dan tingkat kekuatan. Basruwa memiliki kekuatan di matanya sementara Basunggal di mulutnya. Bila Balwa tak berhati-hati, tubuhnya akan terlumat lidah panjang dan beracun milik Basunggal."
Bagai layar yang menampilkan pertarungan hidup, Candina melihat Balwa dan Cadar Perak gagah berani menghadapi Basunggal dan kawanannya yang berusaha menyerang dengan lidah-lidah yang panjangnya seukuran separuh tubuh. Beberapa kali lengan prajurit terpaksa bersinggungan dengan lidah bercabang dan berbisa yang melepuhkan. Teriakan kesakitan, berusaha tertahan.
"Salaka, mengapa mereka tak dibiarkan menggunakan serbuk perak?" Candina bertanya khawatir.
Salaka terdiam.
Jelas terlihat Balwa berusaha melindungi pasukannya sekaligus menghindari serangan Basunggal. Ia berusaha memasuki rumah yang memungkinkan untuk ditembus, menaburkan perak pada salah satu cermin di dalamnya.
"Salaka! Balwa kewalahan!" Candina berseru tertahan.
๐ ๐๐
Dua Cadar Perak tumbang terlibas lidah panjang Basunggal. Balwa berjumpalitan, naik ke atap tertinggi. Memerintahkan pasukannya membentuk barisan. Menyerupai busur terentang yang siap melemparkan pukulan bersama menuju titik terkuat Basunggal.
Heaaaaaa.
Satu pukulan terpusat memecah belah kawanan Basunggal yang berkelompok, berniat menyerang balik. Terlihat Cadar Perak berusaha memasuki rumah-rumah melewati atau dinding, yang tak semuanya memungkinkan untuk ditembus. Perkelahian terlihat imbang untuk sementara waktu. Balwa dan seluruh Cadar perak berusaha lebih banyak menghindar, menjauhi kawanan Basunggal sembari mencoba terus memasuki wilayah-wilayah yang memiliki cermin.
"Balwa! Banyak yang tak dapat ditembus!" teriak satu Cadar Perak.
"Berpindah ke yang lain!"
"Lingkaran ini apakah semuanya telah dimantrai? Mengapa sulit sekali menembusnya??"
"Teruskan! Berpindahlah terus sampai kalian temukan yang bisa ditembus!!"
Melihat kegigihan pasukan di depannya, Basunggal tertawa.
"Tololnya dirimu! Apa yang kau mau dengan menaburkan serbuk bodohmu ke rumah-rumah? Kau mau memantrai mereka? Kami bahkan masih bisa menembusnya ketika kalian sudah menaburkan serbuk tak guna itu!" teriak Basunggal.
"Tak perlu menjawab perdebatan mereka, Cadar Perak!" teriak Balwa. "Pusatkan perhatian pada perintah pangeran!"
Basunggal terbahak.
"Pangeran??" ejeknya merendahkan. "Pangeran jenis apa yang kalian punya? Bahkan melawan Basruwa pun tak bisa! Oh, jangankan Basunggal dan Basruwa! Pasukan Hitam paling bawah, melawan anak buah kami tak bisa dilakukan!"
"Keparat kalian!" teriak seorang prajurit.
"Tahan kemarahan," Balwa mengingatkan. "Ingat perintah dan nasihat pangeran, tak boleh kalah dalam pertempuran ini."
"Kalian berharap menang?" Basunggal menjulurkan lidah, menjilat seluruh benda di sekelilingnya. "Apa yang kalian harapkan? Wangsa kalian kembali berkuasa? Kalian telah kalah ribuan tahun lalu dan sekarang akan musnah untuk selama-lamanya!"
Balwa memerintahkan anak buahnya untuk membentuk barisan kembali, melemparkan satu kesatuan pukulan. Walau pukulan dahsyat itu menceraiberaikan kawanan Basunggal, tak satu pun mereka terluka.
"Akan kuajari kalian bagaimana menghancurkan musuh!" teriak Basunggal tertawa. Lidahnya terkulum, lalu terjulur ke luar dengan lendir merah berbau yang menjijikkan.
"Hati-hati!" teriak Balwa, memperingatkan pasukan.
Cadar Perak yang berdiri paling tepi dari formasi busur terlibas lidah Basunggal. Punggung-punggung mereka berasap, bersama cairan yang terlempar dan merayap pelan di permukaan kulit. Sebelum sempat berdiri, lidah Basunggal yang lain menangkap. Mempermainkan tubuh-tubuh malang itu dalam kesakitan dan penderitaan hingga tak terdengar lagi rintih kesakitan.
"Lihat?" teriak Basunggal dalam kekejian dan keangkuhan. "Inilah kemenangan yang dijanjikan pangeran kalian!"
๐ ๐๐
"Salaka!" Candina berteriak cemas, dalam semedinya. Nafasnya terengah, "Mengapa tak kau biarkan mereka menggunakan serbuk perak?"
"Sudah kekukatakan, serbuk perak hanya digunakan dalam keadaan terdesak!"
"Apakah ini bukan keadaan terdesak?"
"Mereka prajurit, Candina! Tugas mereka melindungi dan berkorban di garda depan saat melawan musuh!"
Candina memalingkan muka.
Tak sanggup melihat Balwa dan pasukannya menjadi bulan-bulanan kawanan Basunggal. Sebelum korban dari pihak Balwa yang berikut tumbang, sebuah auman panjang dan gerakan cepat yang membawa angin berputar merontokkan serangan Prajurit Hitam yang memiliki tanda merah di sekitar mulut. Beberapa kawaban Basunggal tumbang seketika, tubuh tercabik dan terjatuh ke tanah tak berkutik. Meninggalkan jejak asap hitam yang teraduk cepat bersama udara malam.
Mata Basunggal terbelalak.
"Apppโฆ??"
"Naiklah ke punggungku, Pemimpin Prajurit Salaka," sosok gagah memberikan perintah kepada Balwa.
Dalam semedinya, Candina ikut terbelalak.
"Nimar??" bisik Candina tak percaya.
Salaka tersenyum sembari bersemedi walau terlihat bimbang, "Ya. Dia Nimar."
"Bagaimana mungkin??" Candina bertanya.
"Aku tak tahu. Nimar pasti punya muslihat. Tapi aku harus berterimakasih padanya. Malam ini, Balwa bisa menyelesaikan tugasnya dengan lebih tenang."
Salaka dan Candina kembali menenangkan diri dalam semedi.
Di atas punggung Nimar yang gagah, Balwa mendapatkan kekuatan berlipat; melawan kawanan Basunggal yang muncul dari rumah-rumah, jembatan-jembatan, lorong-lorong. Andaikan bisa, Balwa ingin menghabisi semua. Namun bukan itu tugas yang diembannya. Serbuk perak harus sampai ke cermin-cermin hingga setiap wilayah di lingkaran luar Dahayu.
"Candina," ujar Salaka tenang dan dalam. "Esok, bersiaplah membantu Dirya dan Balwa. Aku khawatirkan, bukan sekedar Basruwa dan Basunggal yang akan muncul."
Candina mengiyakan dalam semedinya.
"Apakah enam pasukan khusus Dubiksa pada akhirnya akan menemui kita dalam pertarungan nyata kali ini?" gadis itu ingin tahu.
"Ya," Salaka menegaskan. "Mari kita selesaikan semedi ini dahulu."
Candina menarik napas panjang, sebelum membuka mata. Di hadapannya Salaka tampak membuang napas dan membuka kelopak mata dengan ketenangan yang menakjubkan.
"Apa yang akan kau lakukan jika keenam pasukan khusus Dubiksa hadir?" tanya Candina.
"Basruwa, Basunggal, Badwasa dan Bagulwab bisa dihadapi dengan serbuk perak," jelas Salaka. "Tapi Barsadu dan Barbaljag, kurasa harus kuhadapi sendiri."
"Salaka, mustahil demikian!"
๐ ๐๐