Nami mencoba melepaskan tombak yang berada dalam genggaman kuat musuh hitamnya.
Beberapa kali pukulan dan tamparan mengenai hingga gadis itu terhuyung. Tubuhnya terjatuh.
"Keparat! Lepaskan Nami!" teriak Suta.
Ia memerintahkan beberapa Nistalit untuk bergerak maju serentak. Setelah merobohkan beberapa pasukan hitam, sepertinya bukan hal mustahil mematahkan kekuatan pemimpin mereka secara beramai-ramai. Musuh sempat kewalahan sebentar, terdesak ke belakang beberapa langkah. Wajah-wajah Nistalit kegirangan. Lalu tetiba pukulan-pukulan mematikan tak tampak menyerang hingga beberapa tubuh terlontar.
Tewas.
Suta dan Nami terbelalak. Tak percaya. Ketakutan, ketakberdayaan, kemarahan bercampur setitik harapan untuk menunjukkan jati diri; merayapi benak Nistalit.
"Suta! Hati-hati!" teriak Nami, melihat Suta menghunus senjata dan maju.
Wajah Suta merah padam melihat beberapa Nistalit mati mengenaskan. Apakah demikian buruk nasib tertulis bagi seorang budak : mati di tangan Akasha, mati di tangan Pasyu atau mati di tangan sosok hitam?
Suta menyerang membabi buta.
Kemarahan menguasainya. Semakin naik pitam, semakin mudah musuh berkelit. Tombak Nami masih berada di tangan lawan yang dipergunakan untuk mengangkis serangan Suta. Gusar Suta melihat kemampuan lawan yang berada di atas dirinya, entah mengapa baru kali ini timbul keinginan untuk melalukan perlawanan setelah sekian lama berada di bawah tekanan.
Apakah sebetulnya, ia ingin memberontak atas keadaan tapi tak pernah punya kesempatan? Baru kali inilah tercipta peluang baginya untuk melampiaskan dendam. Apalagi, prajurit Gangika terutama Hulubalang Sin mendukungnya untuk berbuat kekerasan.
Heaaaa.
Trang. Trang. Trang.
Kapak di tangan Suta berkelebat cepat dan kuat, beradu tombak di tangan musuh.
"Matilah di tanganku, Topeng Sialan!" bentak Suta kasar.
Tanpa perhitungan lagi, ia maju ke depan, mengayunkan kapak. Sebagai buruh kasar yang sama sekali tak pernah mengenyam pendidikan keprajuritan, Suta tak sadar betapa berbahaya musuh di hadapannya yang tampak tenang bergeming.
Krrraaaaang.
Kapak terlempar.
Clapp.
"Sutaaa!"
Suta terpental.
Tombak Nami bersarang di tubuhnya.
Mata semua Nistalit dan prajurit Gangika terbelalak, menyaksikan tubuh Suta terlempar ke luar dari gulungan buih hitam. Nami merangkak memburu, mencoba menangkap tubuh Suta, jatuh ke tanah bersamaan. Suta terbatuk-batuk. Merasakan napas-napas pendek melintasi paru-parunya yang mulai tak mampu memompa udara.
Panik, Nami merobek pakaiannya, menahan aliran deras darah yang mengucur dari luka Suta. Tombak masih tertancap di sana.
"Nami…" Suta berbisik parau.
"Sssh, diamlah! Kau akan baik-baik saja!"
Mereka berpandangan. Mata penuh gairah Suta yang selalu mengawali pagi dengan kegembiraan untuk pergi bekerja, redup dengan cepat. Bagai mata Ki Nam. Bagai mata ibu Aji dan Usha. Bagai mata para Nistalit yang melolong saat terkena cambuk Kuncup Bunga.
"Kau…kau kenapa?!" Nami tercekat. Panik. Kedua tangannya berlumuran darah. "Aku…aku akan membawamu ke tenda. Akan kucari daun dewa!"
"Nami! Nami! Dengarkan!" Suta menahan tangan Nami yang gemetar, berusaha menangani lukanya. "Aku titipkan Nistalit padamu. Kita …berjanji akan membuat pemukiman bagi Nistalit…."
"Kau yang akan membangunnya, Suta!"
Suta bergerak susah payah. Ia memberikan isyarat tangan, meminta Nami mendekatkan kepala dan berbisik beberapa kata padanya. Wajah Nami tegang, matanya basah. Tangan lemah Suta menepuk pelan lengan gadis itu sebelum ia tersenyum dalam damai dalam tidur panjang.
Nami memejamkan mata. Mengatur napas yang memburu. Kata-kata Suta bergaung di kepala. Apa yang dikatakannya? Apa yang dimaksudkan? Ia telah menganggap Suta sebagai pengganti Jalma, walau mereka sering berbeda pendapat.
"Nistalit Nami! Berhati-hatilah!" Hulubalang Sin berteriak memperingatkan.
Tumbangnya Suta mengejutkan semua, termasuk Sin. Bagaimanapun, harus diakui. Ada Nistalit istimewa di antara para budak, Suta termasuk satu diantaranya. Walau seringkali membentak, menghardik, memperlakukan Nistalit sebagai hamba; tak jarang Sin pun memberikan arahan.
"Tahan, Nistalit!" sebuah suara jernih dan lantang menahan.
Sin menoleh ke arah sumber suara. Nami tak menggubris. Matanya tertuju ke arah sosok bertopeng hitam yang balik menatapnya tajam.
"Panglima Milind?" Sin berbisik, tak percaya.
"Teman Nistalitmu terluka oleh senjatanya sendiri," Milind memperingatkan Nami. "Begitulah cara Mandhakarma bekerja!"
"Nistalit! Kau harus mengalahkannya!" Sin berkata, mendorong Nami segera memutuskan. "Dia sudah membunuh temanmu!"
"Kau ingin memusnahkan Nistalit, Hulubalang Sin?" Milind bertanya keras. "Seluruh prajurit Akasha dan Pasyu mati karena senjata sendiri. Jangan biarkan Nistalit mengalami hal yang sama!"
Napas Nami tertahan. Matanya meneliti sekeliling. Suta tergolek tak bergerak, dengan tombak Nistalit yang menancap di tubuhnya.
"Panglima Milind, tidakkah Tuan lihat?" Sin berkata tegas. "Nistalit ini memiliki kemampuan yang tak kita miliki! Inilah kesempatan terbaik kita!"
Mata Milind nyalang menatap Sin. Berbalik khawatir saat memandang Nami yang seolah berada di bawah ancaman dan pengaruh sang hulubalang Gangika.
Nami menatap sosok di depannya, yang dalam sudut pandang Akasha hanya berupa gumpalan kelam awan yang telah sampai ke permukaan daratan : kecuali mayat-mayat yang bergelimpangan, terlempar ke luar dari batas buih-buih hitam.
"Hentikan, Nistalit!"
"Bunuh dia, Nistalit!"
"Kau sekutu kami, Nistalit!"
Dada Nami terengah. Ia memalingkan wajah, menatap mayat-mayat bergelimpangan di sekitarnya. Kata-kata Suta terngiang di benak. Nami menenangkan diri, menarik napas panjang. Ia berjongkok, meraba senjata di beberapa mayat yang tergeletak tak jauh dari dirinya. Matanya sesekali menatap awas ke musuh di hadapan yang tengah berjaga waspada.
"Hentikan, Nami!" suara lembut dan jernih terdengar.
Nami mendongak. Sepasang mata tengah menatapnya dalam ketenangan hutan yang misterius. Nami mematung.
Sin mendekat ke arah Nami, menundukkan tubuh, berbisik di dekat kepala.
"Kau Nistalit hebat! Bunuh siapapun di sana dengan kemampuanmu!" Sin memerintahkan.
Dalam diam, jelas Nami terlihat mengiyakan permintaan Sin. Gadis itu menunduk, menatap ke arah Suta, lalu mendongak lagi. Memberikan jawaban dalam kebisuan ke arah Milind.
"Sin!" bisik Milind. "Katta-na harda udava hira…saravar hosa!"*
Sin menatap Milind tak percaya.
Nami cepat meraih senjata musuh hitam yang tergeletak.
Berlari ke depan, menyerang dengan teguh ke arah musuh.
"Harabiva!!"*
Milind menarik Sin, memberikan dorongan tunggangan angin ke arah Nami, memberikan kekuatan berlipat bagi gadis itu untuk melontarkan senjata pisau hitam. Senjata Pasukan Hitam yang tewas, berada di genggaman Nami, bagai panah terentang dari busur yang siap siaga.
Pemimpin Pasukan Hitam terbelalak.
Di hadapannya Nami bergerak cepat dan kuat, dengan dorongan yang jauh lebih dahsyat dari serangan-serangan yang terdahulu.
Heeeeiiiirrrrk.
Pisau hitam Nami menancap di dada musuh. Bersamaan Gelombang Hitam memusar hebat, menghisap.
"Bertahan!!"
Milind memegangi Sin dan Nami, mengerahkan mantra terkuat, memerintahkan angin tunggangan untuk keluar dari Mandhakarma. Berputar. Bergasing. Terbentur. Naik turun. Sebelum mereka terhempas ke luar dari gumpalan pekat rahasia yang dipenuhi uap kematian dan rahasia maut.
Nami berguling-guling di tanah. Milind memegang kuat lengan Sin. Bersama mereka, terhempas pula satu tubuh yang bergumul dengan Nami dalam pertarungan terakhir.
Mandhakarma menggelembung, seolah memecahkan tinta raksasa sebelum akhirnya berhenti berdenyut di satu titik. Bagai sebuah dinding samar kehitaman, Mandhakarma tak lagi bergulung memangsa Gangika dan Jaladhi, ataupun Aswa di kejauhan. Diam. Berhenti. Surut. Menarik diri beberapa ratus hasta.
Milind menatap semua arena tempur waspada.
Apa yang menyebabkan semua terhenti tiba-tiba?
Tak mempedulikan keadaan, Nami memburu ke arah musuh bertopeng hitam.
Menamparnya beberapa kali, memukulnya sekuat tenanga.
"Dia sudah mati," Milind menahan tangannya. "Kau harus menghormati meraka yang telah kehilangan nyawa."
Napas Nami terengah. Kasar ia mengusap wajahnya yang basah airmata. Dengan kemarahan tak terbendung ditariknya topeng dari kepala musuh.
Nami terlompat ke belakang.
Milind membelalakkan mata.
Sin, terpaku tak percaya.
❄️💫❄️
_______________
"Katta-na harda udava hira…saravar hosa!"* (bahasa Akasha ) : Kita harus membantunya memusnahkan dia (musuh)
"Harabiva!"* (bahasa Akasha) : sekarang