Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 133 - ●Gelombang Hitam (10) : Berlindung di Girimba

Chapter 133 - ●Gelombang Hitam (10) : Berlindung di Girimba

Nami merasa udara surga bertiup, bersama angin lembut membelai wajahnya yang kering.

Rasa kantuk menyerang tetiba hingga kesadaran seolah lenyap. Langkahnya ringan. Bagai selendang kuat yang tak tampak mengitari tubuh, membawanya pergi cepat dari permukaan tanah tepian Gangika. Aroma dedaunan mengitari. Bersama wangi bunga yang menenangkan, mengobati ingatan menyakitkan tentang masa lalu yang tak dapat dipungkiri.

Perjalanan itu terasa singkat dan terlalu cepat, meninggalkan sejenak dunia nyata di belakang punggung. Bendungan Gangika, tenda-tenda, alat-alat, para buruh kasar dan tangisan anak-anak tengah malam yang terkepung mimpi buruk.

Bisakah Nistalit mendapatkan kehidupan yang lebih baik?

Bertalu di benak. Bergema di kepala.

Setiap kali melihat keanggunan Akasha, keperkasaan Pasyu, hati bertanya-tanya : apakah kelemahan hanya satu-satunya ciri khas budak Nistalit? Apakah kehidupan yang layak tak pantas didapatkan? Apakah mustahil memahat jalan kehidupan sendiri?

Berhimpitan di lubang gelap kaki gunung, tidur saling memeluk menepis hawa dingin. Bau tubuh, berputar dalam cuaca buruk lembab gua, bercampur aroma busuk terbakar atau luka menganga. Rintihan, tangisan, sedu sedan adalah irama malam beserta bujukan agar para Nistalit menghentikan tangisan dan menyimpan sedih sendirian. Sssshhh. Ssssttt. Telinga terbiasa menerima desisan, perintah untuk menghentikan keluhan, agar kemarahan Akasha Giriya tak lebih tertumpah. Agar Akasha Giriya tak menganggp mereka mudah mengeluh.

Ssssshhhh. Sssst.

Nami mengigau.

Ayah ibu memeluknya. Jalma memeluknya. Suta menemaninya. Ki Nam membersamainya.

Sssssh.

Wangi cendana mengantarkannya pada tidur yang damai. Kelima inderanya terampas begitu nikmat.

❄️💫❄️

*Lelap yang tenang

Dalam buaian malam

Mimpi yang panjang

Memeluk bulan

Kau tak ke mana-mana

Tetaplah bertahan

Kau tak akan takut

Walau sendirian*

Kemerduan ini pernah menghampiri telinga.

Senandung para pemusik menghibur hari yang ganas, mengaliri hati yang keras.

Peraduan lembut, bantal lunak, selimut halus. Masih ingin berlama-lama, namun bisikan meresahkan menggilas mimpi. Kelopak mata berat. Nami duduk, merasa asing dengan sekeliling. Meski, tak dirasakan ancaman yang akan merampas nyawanya di sini.

Seperti pernah mengenal tempat ini. Entah kapan dan di mana. Rambut panjangnya yang dijalin satu, kusut masai. Anak-anak rambut berkeliaran di dahi. Perlahan, Nami mencoba mengumpulkan kesadaran, bangkit berdiri, merasakan tubuhnya ringan dan sehat seutuhnya.

Ia belum pernah tinggal di tempat seperti ini.

Dinding kayu yang indah. Jendela dengan tirai hijau. Peraduan, meja, kursi, makanan dan minuman. Sebuah pintu berada di sudut. Diraba gagangnya, tak dikunci sama sekali. Nami melangkah ke luar.

Tempat apa ini?

Kakinya menyentuh tangga dahan-dahan kayu yang dingin dan licin. Tangga itu berkelok-kelok, dengan pegangan dahan berukir, beratap kanopi daun-daun raksasa berwarna zamrud. Cahaya-cahaya berada di tiap pilar, dalam wadah lampu kaca yang digantung oleh sulur-sulur tanaman.

Ada ruangan cukup besar di ujung jalan setapak kayu. Dari jendela-jendela yang terbuka dan limpahan cahaya lampu, terlihat beberapa sosok berbincang bersungguh-sungguh. Nami bergerak berjingkat, ingin mencuri dengar. Bagaimana caranya berada di sini dan bagaimana caranya ke luar, perlu diketahui.

"Hamba perlu segera kembali ke Gangika," sebuah suara berkata.

"Kau yakin, tak mengapa kembali ke sana?"

"Hamba adalah Hulubalang Gangika, Panglima."

"Setelah kejadian terakhir, apa kau tak mengkhawatirkan apa yang akan terjadi pada dirimu?"

Nami mendekatkan telinga.

"Kita perlu membahas ini dengan perwakilan dari seluruh wangsa."

"Apa yang akan Tuan bahas?"

"Tentang mayat pemimpin Pasukan Hitam."

"Hamba tak ada urusan dengannya, Panglima!"

"Sin! Kau yakin benar-benar tak punya hubungan dengan semua ini?"

"Raja Nadisu akan sangat marah bila mengetahui Tuan menculik hamba!"

Terdengar helaan napas.

"Aku tak menculikmu, Sin," suara itu terdengar tenang dan berat. "Aku, bahkan ingin menyelamatkanmu. Dapatkah kau bayangkan bila para panglima atau para raja melihat wajah mayat pemimpin Pasukan Hitam?"

"Itu bukan hamba, Panglima!"

"Aku tak mengatakan itu dirimu, Sin!"

Helaan napas. Suara dengusan. Langkah kaki. Seperti beberapa sosok hadir bersamaan. Berembug tentang hal yang tak terlalu dimengerti Nami. Apa yang mereka katakan, apa yang mereka bahas, sama sekali tak masuk dalam akal sehat.

Nami makin menempelkan telinga.

"Telah hadir Panglima Haga hal Paksi, mewakili Pasyu Paksi," sebuah suara terdengar. "Hulubalang Bahar, tangan kanan Raja Jaladri, mewakili Akasha Jaladhi. Panglima muda Jagra, mewakili Pasyu Aswa. Panglima muda Guni, mewakili Pasyu Mina."

"Bagaimana dengan Gangika?" suara Sin bertanya.

"Kau mewakili Akasha Gangika, Sin. Ataukah perlu kami haturkan kehadiran Raja Nadisu ke mari?"

Terdengar napas tercekat, tergesa berucap, "jangan, hamba mohon!"

"Perwakilan Akasha Giriya dan Pasyu Vasuki tak kami undang, sebab mereka tak ikut dalam pertempuran kali ini."

Hening sesaat. Suara langkah, gerakan tubuh.

"Janur?"

Hening lagi. Seperti bisikan bercakap-cakap.

"Biarkan dia masuk."

Pijakan Nami terbuka, ia sedikit terhuyung ketika cahaya tertumpah ke arahnya. Berpasang mata memandang hingga ia merasa masuk ke ruangan yang salah. Ingin rasanya terbenam di bumi, saat dirinya menjadi pusat perhatian yang memerahkan wajah. Beruntung seseorang menyerbu ke arahnya.

"Nami!"

"Dupa?"

"Kita berada di Girimba," bisik Dupa pelan di telinga Nami. "Di istana Akasha Wanawa."

Nami menahan napas. Langkahnya mundur beberapa hasta ke belakang. Ia tertunduk, memandang tangan dan kakinya yang tampak tak sebanding dengan kemegahan para hulubalang dan panglima di sekelilingnya.

"Berikan mereka tempat, Janur."

❄️💫❄️

Tentu, Nami tak mendengar semua.

Ia hanya mendengar sebagian ketika para prajurit Wanawa meminta Nami dan Dupa menjauhi ruang pertemuan. Panglima Akasha Wanawa hanya sekedar memperkenalkan mereka berdua ke tengah hadirin. Apa katanya? Ini adalah Nistalit, yang melarikan diri dari Giriya dan membangun Bendungan Gangika. Bah, tidakkah ada perkenalan yang lebih baik lagi? Prajurit Nistalit? Pembunuh Pasukan Hitam? Pembasmi Musuh? Walau pada akhirnya Nami menertawakan pikirannya sendiri. Prajurit Nistalit! Terdengar mengada-ada.

Di ruang peraduannya, Dupa memakan buah-buahan di meja Nami dengan lahap.

"Kau tak tahu betapa enaknya ini," ujar Dupa. "Aku telah menghabiskan yang di kamarku. Perutku masih lapar. Aku perlu memakan semua, sebelum kembali bekerja ke Gangika."

Nami meneguk air putih.

Kembali ke Gangika? Ia harus bahagia atau sedih, atau marah mendengarnya? Kata-kata Dupa yang ceria sedikit menghibur hati Nami yang porak poranda tiap kali mengingat Jalma dan sekarang, Suta.

Selalu menyenangkan punya teman yang punya semangat hidup di tengah kekacauan.

Seorang prajurit mengetuk pintu. Memberitahukan sesuatu.

"Nistalit perempuan, kau dipanggil ke balairung."

Nami menatap ke arah Dupa, mengangguk ke arahnya. Saling melempar senyum. Nami merasakan ketegangan yang sangat saat mengikuti langkah prajurit Wanawa. Dalam bayangannya, ia akan berhadapan dengan sekian banyak tuduhan serta dakwaan. Dalam kenyataannya, ia merasa terkurung dalam jebakan perasaan yang bertentangan.

❄️💫❄️

Berdua seperti ini.

Walau tak tepat berdua, sebab prajurit Wanawa berjaga di tiap pintu luar.

"Kau tahu apa yang sedang terjadi?"

Nami menggeleng, "t-tidak, Panglima."

"Kau tahu Mandhakarma?"

"T-tidak, Panglima."

"Kau tahu, Panglima Kavra, Panglima Watsa, Panglima Gosha terluka parah dalam pertempuran dengan Mandhakarma?"

"T-tidak…"

"Tidak?"

"Ohya…Panglima Kavra. Kami…kami tahu ia terluka."

Milind menatap Nami tajam hingga gadis itu gelisah, meremas-remas jemarinya. Andaikan ia memegang kapak bertali atau pisau tanduk untuk dimainkan!

"Bagaimana caramu membunuh pasukan, prajurit, atau entah apa dari Mandhakarma?" tanya Milind.

Mata Nami terbelalak.

Ia hanya mempertahankan diri, atau diperintah maju oleh Sin.

"Nistalit? Aku menunggu jawaban," tegas Milind.

"Hamba…hamba tak tahu, Panglima."

"Aku tak ingin kau berbohong!" ujar Milind dingin.

Nami menggigit bibir. Ya, Tuhan! Tidakkah ada yang mau mengucapkan terima kasih pada Nistalit? Tanpa sadar, Nami mengusap hidung. Mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Tetiba rasa lelah menyergap. Semoga saja hari-hari yang lebih buruk tak menghampiri.

"Baiklah," Milind berujar akhirnya, "aku rasa, kau perlu istirahat. Esok, kau harus bersiap."

Nami mengangguk, entah untuk apa. Ia membalikkan badan, bersiap kembali ke peraduan. Sejurus kemudian, ia balikkan tubuh dengan gugup. Mengapa ia, yang mampu mengayunkan kapak melawan Vasuki, melawan Nistalit bercakar, melawan Pasukan Hitam; bagai kehilangan nyali di hadapan Panglima Akasha Wanawa?

Di hadapannya, Milind berdiri tegak. Menatapnya lurus. Nami merasa jantungnya melompat ke rongga perut.

"Apakah…apakah kami diizinkan kembali ke Gangika?"

Milind memandangnya aneh. Alis tebalnya berkerut.

"Kenapa, Nistalit? Kau merasa tak aman di sini?"

❄️💫❄️