Sungai Loh Dhamarga, pusat kerajaan Nadisu dalam hingar bingar kesibukan bersama suara hiruk pikuk yang penuh kecemasan. Bendungan Gangika - benteng dan pertahanan- , dilapisi mantra yang lebih berbobot dan diperkuat dengan senjata tambahan. Kedatangan Milind nyaris tanpa penyambutan, tak dihamparkan permadani kehormatan apalagi diringi nyanyian kebesaran. Bertemu Raja Nadisu adalah tujuan utama setelah didengar kabar bahwa Kavra harus mendapatkan perawatan mantra Ratu Mihika.
"Yang Mulia Paduka Nadisu," Milind memberikan hormat. "Bagaimana keadaan Panglima Kavra?"
Nadisu mengernyitkan dahi. Matanya menghujam.
"Panglima Gangika terluka karena berjuang mati-matian mempertahankan perbatasan luar. Apa kabar Panglima Wanawa? Apa saja yang telah kau lakukan?" Nadisu berkata menyindir.
Milind merasakan sambutan tak ramah. Walau demikian, ia harus mengutarakan rencana.
"Paduka, pasukan Akasha harus ditarik mundur untuk beberapa waktu. Menyerang dengan senjata sendiri hanya akan membuat Mandhakarma mendapatkan cara untuk menyerang balik," Milind berujar tegas.
"Kami tak butuh nasihat Wanawa," Nadisu menolak cepat. "Gangika punya pasukan dan persenjataan yang cukup untuk melawan Mandhakarma."
"Korban akan jatuh lebih banyak lagi," Milind berujar khawatir.
"Mengapa kau tak mengurus Wanawa saja? Wanawa selamat sejauh ini karena Gangika mampu bertahan dengan baik," kecam Nadisu. "Alih-alih menahan pasukanku untuk maju, kau seharusnya mengatur pasukanmu sendiri!"
Milind menarik napas panjang. Apa yang dapat dilakukannya bila Nadisu tak mau mendengarkan?
"Raja Jaladri telah menghentikan serangan untuk sementara waktu," Milind menyampaikan.
"Atas saran siapa?" Nadisu bertanya getas. "Saranmu?"
"Perlu waktu untuk menyusun rencana kembali agar serangan lebih terarah dan pasukan Akasha serta Pasyu tak lagi mati sia-sia,"ujar Milind.
"Prajuritku tak mati sia-sia, Panglima," Nadisu mendekat ke arah Milind. "Mereka gugur dan akan menjadi bintang gemintang yang menerangi malam-malam kita. Aku tak akan membiarkan siapapun, atau apapun, meremehkan Gangika!"
"Pasukan Wanawa siap mendukung bila dibutuhkan, Paduka. Kami telah mengirimkan bantuan kepada Jaladhi," Milind menawarkan.
"Kami tak butuh bantuan Wanawa!"
Milind menatap punggung Nadisu yang meninggalkannya.
Sejenak sang raja berhenti, berbalik. Selendang kuning di bahunya berkibar.
"Kami sudah punya pasukan tambahan sendiri," Nadisu menatapnya penuh ejekan dan kemenangan.
Sesungguhnya, Nadisu pun tak yakin dengan ucapannya sendiri. Mengapa pikirannya selalu berputar-putar antara bekerja sama atau berseberangan dengan Wanawa? Mengapa pula Vasuki atau Giriya sebagai sekutunya tak mengirimkan bantuan? Wanawa bersedia membantu Jaladhi. Bersama Akasha Jaladhi tentu Pasyu Mina hadir mendukung, sebagaimana Pasyu Aswa dan Akasha Wanawa bagai terikat sumpah persekutaun abadi.
"Hamba sangat senang mendengarnya," Milind mengangguk. "Akasha atau Pasyu manapun, tentu bersedia mendukung Paduka Nadisu di saat genting seperti ini."
"Pasukan tambahanku, bukan Akasha manapun ataupun Pasyu," Nadisu menatap tajam ke arah Milind, lalu berbalik cepat menuju balairung untuk mempersiapkan rencana Gangika yang dirahasiakan dari Milind.
Milind menatap Nadisu penuh tanda tanya.
❄️💫❄️
Menunggang angin, Milind menyusuri wilayah Gangika.
Di kejauhan, warna hitam Mandhakarma telah mencemari lautan dan meracuni sungai. Sosok prajurit tewas bagai tumpukan daun kering di bawah pohon yang meranggas. Ya, mereka akan menjadi bintang gemintang usai mantra raja dan ratu menjadikan tubuh-tubuh itu mengkristal. Para Utusan Langit akan menerbangkan kristal-kristal itu dan membiarkannya menjadi penghias kanopi langit malam.
Tepian sungai wilayah Gangika, dipenuhi iringan Nistalit yang terlihat bergerombol. Berjalan maju. Barisan mereka bagai kerumunan lalat berkerubung. Prajurit Gangika tampak memerintahkan Nistalit untuk bergerak lebih cepat. Berlari.
Milind mengawasi tajam. Mempertanyakan arah dan tujuan Nistalit yang menjauh dari Bendungan Gangika; seolah dipaksa menuju ke titik tertentu. Apakah mereka sedang diperintahkan untuk membangun sesuatu? Atau mungkin memikul perbekalan dan persenjataan?
Mustahil, pikir Milind.
Prajurit Gangika dengan mantra mereka akan lebih lincah dan cepat untuk melakukan segala yang dibutuhkan dalam pertempuran. Walau tangan-tangan Nistalit dikenal mahir menciptakan sesuatu, ini bukan saat yang tepat untuk mengukir!
Mata Milind terus menelusuri, seiring gerakannya melesat di atas tunggangan angin.
"Demi Penguasa Langit!" bisik Milind pada diri sendiri. "Yang dikatakan Raja Nadisu sebagai pasukan tambahan adalah…Nistalit?"
Nistalit dengan alas kaki seadanya, berpakaian buruh kasar, memanggul kantong tas di bahu berisi peralatan yang terkadang menjadi persenjataan.
"Mereka akan mati dibantai bahkan sebelum sempat melemparkan satu pun senjata!" pikir Milind dengan kemarahan terpendam.
Nistalit memang kasta terendah. Tapi tidakkah keterlaluan menyiksa dan membasmi mereka seperti ini? Bahkan hewan paling kecil sekalipun harus diperlakukan dengan baik, batin Milind berteriak. Sebagaimana Gangika sangat menghormati lebah pohon Ara dan Wanawa menghormati kunang-kunang. Jaladhi menghormati kerang, Paksi menghormati segala yang bisa terbang termasuk ngengat kecil.
Milind mendekatkan tunggangan angin ke arah pasukan Gangika dan gerombolan Nistalit.
Rombongan itu bergerak menuju gerbang sungai Gangika yang tengah digulung Mandhakarma!
Milind mendengar percakapan dalam teriakan.
"Mereka belum terlatih, Hulubalang Sin!"
"Pasti mereka bisa seperti kalian!" bentak Sin.
"Biarkan kami yang maju!"
"Kalian tak akan mampu dengan jumlah sedikit," Sin berkata berang.
Sebagian Nistalit mencoba berbaris serapi yang bisa dilakukan.
❄️💫❄️
Milind tertegun.
Apa yang dilihat tak dapat dipercaya.
Tumpukan sosok hitam terkapar di sepanjang tepian sungai. Jumlahnya tidak sebanyak korban Akasha dan Pasyu yang gagal menaklukan Mandhakarma. Tapi tentu, sangat mencengangkan melihat wujud asli Gelombang Hitam yang selama ini tak pernah dipahami.
"Kapakmu, Nami!"
Seorang gadis bergerak lincah dan gesit. Melepaskan tombak, menariknya. Melemparkan lagi, menariknya. Melontarkan lagi, menariknya. Satu tusukan berarti satu tubuh tumbang.
"Soma? Bagaimana?" teriak Nami.
"Mereka terus berdatangan!" teriak Soma.
"Mereka seolah tak habis-habis!" teriak Suta.
Nami berkeringat. Ia mengambil kapak yang dilemparkan Dupa. Pasukan Hitam menyeringai ke arah mereka, wajah bengis yang ingin menerkam. Di sekeliling meraka, prajurit Gangika menatap tegang dan bingung pada gerakan Nistalit yang mampu mengayunkan senjata.
"Mengapa prajurit Gangika tak dapat menyentuh musuh? Panglima Kavra dan para hulubalangnya membumbung naik untuk melawan apa yang mereka sebut sebagai Mandhakarma," pikir Nami keras. "Bagaimana mungkin Panglima Kavra dan Hulubalang Sin terluka? Sementara kami Nistalit dapat melihat musuh dan melukai mereka!"
Di tangan Nami, puluhan Pasukan Hitam tewas. Di tangan Soma, Suta dan Dupa pun demikian. Beberapa Nistalit yang mahir menggunakan senjata dapat merobohkan belasan, atau setidaknya beberapa lawan. Walau mulai kelelahan, Nistalit dibuat kebingungan.
Ada sesuatu yang aneh, pikir Nami.
"Nami! Awas!" teriak Dupa.
Satu sosok tinggi besar, berjubah gelap, dalam topeng hitam bergerak maju. Jubahnya terlihat berbeda dari Pasukan Hitam yang lain. Sebuah simbol tergambar di sana, entah simbol apa.
"Sepertinya, dia adalah pemimpinnya!" teriak Soma.
"Biar aku yang menghadapinya!" teriak Suta.
Sang Pemimpin, bergerak lincah. Menghindari senjata para Nistalit.
"Hati-hati! Ia mengincarmu, Suta!" teriak Nami.
Pemimpin Hitam melayani serangan Nistalit dengan tangguh dan lincah. Menahan serangan, menangkis pukulan. Menggagalkan hujaman tombak, ataupun kapak. Nami mencoba membantu Suta. Ia melemparkan tombak, ditangkap cepat dan diputarkan dengan kekuatan penuh hingga tubuh Nami ikut menggasing.
"Namiii!" teriak Dupa.
Dalam bayangan para Akasha, tubuh Nami tertelan buih-buih hitam yang menggelembung.
Sebuah suara menghardik tajam.
"Mengapa kalian menyerang kami??" suara tanpa sosok masuk ke kepala.
Suta menutup daun telinga dengan kedua telapak tangan. Soma dan Dupa pun demikian.
Nami mencoba melepaskan tombaknya dari genggaman kuat Pemimpin Hitam. Telinganya berdenging dengan kepala pening luarbiasa.
"Mengapa kalian menyerang dan membunuh kami!?" nyaring menyakitkan suara itu berdesing.
Suta dan para Nistalit berlutut, menahan nyeri di gendang telinga.
"Kami adalah sekutu kalian, Nistalit!!!" bentak sebuah gema yang berasal dari Gelombang Hitam.
❄️💫❄️