Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 130 - ●Gelombang Hitam (7) : Tumbangnya Para Panglima

Chapter 130 - ●Gelombang Hitam (7) : Tumbangnya Para Panglima

"Aku tak melihatmu menyerang Mandhakarma!" geram suara Jaladri. "Apakah kau takut, Milind?!!"

Milind menahan napas, merasakan ketegangan makin meningkat.

"Kau berkata akan mendukungku dan berganti maju," garang suara kemarahan Jaladri. "Kalau Wanawa ingin aman selamat, lebih baik tinggalkan medan ini sekarang!"

"Paduka, mohon jangan salah sangka," Milind mencoba tenang. "Pasukan Akasha dan Pasyu tak terhitung yang tumbang. Hamba tak ingin lebih banyak lagi korban dari pihak kita."

"Kita??" sinis suara Jaladri. "Vurna dan Watsa telah menjadi korban. Kulihat di angkasa Pasyu Aswa bertempur gagah berani. Ke mana saja kau selama ini? Dan sekarang kau malah menarik mundur pasukanmu??"

"Pasukan Wanawa tidak berniat mundur dari pertempuran, Paduka," Milind merasakan kemarahannya ikut tersulut. "Kami mengambil rencana perang terbaik!"

Jaladri mendekat ke arah Milind.

Tangannya mencengkram bahu sang panglima. Matanya nyalang. Jelas, kelebat kecewa dan dendam ada di sana. Wajah Vurna berkelebat berkali-kali di mata Milind, sejak ia pertama bertemu Jaladri di pertempuran ini.

"Apa rencana perangmu yang terbaik?" suara Jaladri bagai hembusan api. "Kalau kau punya rencana yang baik, mengapa baru sekarang kau beritahukan, hah??!"

"Paduka, hamba mohon kesabaran Yang Mulia Raja Jaladri," Milind mencoba mendinginkan keadaan. "Hamba juga baru mengetahui semua setelah benar-benar masuk dalam pertempuran ini."

Huru-hara pertempuran memenuhi langit, lautan, sungai dan sebagian daratan.

Badai kemarahan dan prahara kebencian bertunas dalam diri setiap pasukan Akasha dan Pasyu. Pertarungan yang semula berjalan sesuai rencana, berubah cepat menjadi kegemparan pembantaian dan keinginan untuk memenangkan peperangan tanpa kejernihan berpikir. Apapun senjata dan kesempatan dilakukan, walau hasil akhirnya adalah tewas mengenaskan. Seolah kematian adalah penebus rasa malu atas kegagalan.

"Paduka!" Milind dilanda kecemasan yang bergolak melihat betapa banyaknya pasukan Jaladri dan Aswa meregang nyawa. "Bila Paduka tak menghentikan serangan sekarang, pasukan Jaladhi akan musnah! Musuh menggunakan senjata kita untuk menyerang balik! Hamba sedang berpikir untuk langkah selanjutnya! Untuk sekarang, hentikan melempar senjata sendiri ke Mandhakarma!!"

Tangan Jaladri terkepal keras, masih mencengkram bahu Milind dan menekannya kuat-kuat.

Lembut, Milind menyentuh tangan kokoh Jaladri. Ia memegang lengan kanan sang raja dengan kedua belah tangannya. Ketika cengkraman Jaladri terlepas, Milind menggenggamnya kuat-kuat, membawa punggung tangannya ke wajahnya sendiri. Menciumnya dengan hormat.

"Hamba akan menjadi panglima Paduka sepanjang pertempuran ini, Yang Mulia Baginda Raja Jaladri," janji Milind dipenuhi kesungguhan. "Hamba akan menggantikan Panglima Vurna banna Jaladri, walau kehebatan hamba tak sampai seujung kukunya."

Jaladri menarik napas. Di hadapannya, sang panglima tangguh Wanawa tetap bersinar dalam ketampanan dan ketenangan, di tengah porak poranda pertempuran.

"Rajaku Paduka Jaladri, izinkan panglima pengganti Vurna – Milind yang hina –, mengupayakan kemenangan bagimu," Milind berkata tegas.

Perlahan kemarahan Jaladri mereda. Ia menggenggam tangan Milind, menepuknya pelan.

"Kau bersungguh-sungguh?"

"Vurna adalah kebanggaan wangsa Akasha," Milind berkata, "ia adalah salah satu sahabat terbaik hamba. Hanya kemenangan atas Mandhakarma yang dapat mengobati kepedihan atas kehilangan Vurna."

Jaladri tersenyum samar.

Kelebatan putih menyeruak tiba-tiba. Sesosok hadir dengan wajah dipenuhi aroma berita paling mengerikan.

"Panglima Milind!"

"Jagra?"

Jagra bagai kehilangan detak nyawa.

"Jagra?!" Milind membentak.

"Panglima Milind…pasukan Sembrani…"

Milind menunggu dengan tegang.

"…Gundha tewas, Panglima."

Milind terhenyak sesaat. Menggertakkan rahang. Ia tak boleh kehilangan akal sehat! Tak boleh! Milind menoleh ke arah Jaladri, mengangguk. Sang raja membalasnya dengan isyarat persetujuan dan meneriakkan pasukan Jaladri untuk menghentikan pelemparan senjata. Milind menoleh kembali ke arah Jagra.

"Ada kabar dari Gosha?"

Jagra terdiam. Beberapa bagian tubuhnya pun dipenuhi luka, walau masih dapat diatasi dengan mantra Aswa. Tapi pikirannya seolah mati, tak mampu berpikir lebih jauh.

"Ada kabar dari Gosha, Jagra??"

Jagra membisu. Menelan ludah. Keberaniannya membuka mulut lenyap di hadapan Milind. Sang Panglima Wanawa menatapnya tajam, bagai ingin meluluh lantakkan setiap sendi.

"Panglima," Jagra menguatkan diri. Suaranya bergetar, "…k-kesepakatan kita di Girimba adalah menyelamatkan seluruh Akasha dan Pasyu."

Milind memandang Jagra.

Apa maksudnya? Apakah hanya hingga di sini usia wangsa kebanggaan mereka? Apakah ada yang ingin dikatakan Jagra terkait Gosha? Kecamuk tanya berperang di benak Milind.

Jaladri memerintahkan pasukan Jaladhi menahan diri untuk tak menyerang, mundur beberapa ratus hasta. Di kejauhan, pertempuran Gangika dan Aswa belum terhenti. Setelah Vurna dan Watsa, apakah Gosha pun roboh?

"Panglima Milind…," Jagra menahan diri untuk tak bersedih. "Tuanlah panglima kami saat ini. A-apa yang harus kami lakukan?"

Milind meremas hulu pedang Dahat dan Tanduk yang sama sekali belum digunakannya.

"Perintahkan Aswa Turangga dan Sembrani untuk menahan serangan. Mundur, Jagra! Kita harus pikirkan serangan berikut! Aku akan menuju Gangika mencari Kavra! Setelahnya, aku akan mencari Gosha!"

❄️💫❄️

Kapak bertali Nami dipenuhi anyir. Berbeda dengan darah Nistalit yang berwarna saga, Pasukan Hitam mengeluarkan cairan kehitaman yang ke luar dari luka-luka tubuh mereka.

"Berikan aku tombak dan pisau!" teriak Nami. "Kapakku mulai licin!"

Nistalit lincah menghindar. Berlari. Bertopang pada batang pohon sebagai pijakan. Menyepak. Bergulingan. Melepaskan tendangan. Menyerang. Menusuk. Menikam. Melempar senjata. Menariknya kembali.

Sin terbelalak. Matanya hanya menangkap gulungan kabut gelap, lalu tetiba tangan-tangan Nistalit mampu menewaskan musuh yang berguling keluar dari buih-buih hitam Mandhakarma. Mengapa tak satupun mata prajurit Akasha Gangika dapat melihatnya?

Aji dan Usha, meramu obat dari dedaunan, memberikannya segera pada Sin. Walau selalu merasa Nistalit sebagai budak paling bawah dari kasta wangsa, untuk sejenak, Sin merasa perlu berterima kasih pada anak-anak Nistalit yang berpakaian lusuh di dekatnya.

"Bagaimana mungkin Nistalit ini bisa menewaskan …apa? Prajurit? Bayangan? Pasukan?" benak Sin dipenuhi tanda tanya melihat kemampuan Nistalit. Batinnya bergumul antara kegembiraan, atau kekhawatiran, entah oleh sebab apa.

Pusaran angin berkelebat cepat.

Kelebatan selendang kuning cemerlang keemasan tampak.

"Paduka Nadisu?" teriak Sin.

Nadisu, menunggang angin beriring bersama para hulubalang. Bersama mereka, ayunan selendang kuning yang berguna sebagai tandu, tergeletak Kavra dalam gulungannya.

"Panglima Kavra!" teriak Sin dalam kegetiran. Masih diingatnya bagaimana Kavra demikian berani menghadapi Mandhakarma.

"Kita kalah sangat banyak," pahit suara Nadisu. "Aku akan perintahkan pasukan khusus pengawal ratu dan raja untuk bergabung."

"Bagaimana dengan panglima?" tanya Sin.

"Dia terluka parah, Sin," Nadisu memandang hampa. "Kita butuh mantra ratu Mihika."

"Paduka Nadisu!" Sin menarik tangan sang raja, ingin memberitahukan sesuatu. Matanya terarah ke arah para Nistalit yang tengah bertempur dengan berani di tepian sungai wilayah Gangika.

"Ya, aku melihatnya!" Nadisu berkata, memicingkan mata, tak dapat mempercayai. Pikirannya bekerja cepat. "Sin?"

"Ya, Paduka!"

"Kau masih bisa bergerak?"

Sin menelan ludah. Tubuhnya dipenuhi luka, tapi anak-anak Nistalit itu memberinya obat yang lumayan untuk menahan sakit.

"Siap, Paduka!"

Nadisu melihat ke arah Nistalit yang mampu melawan Pasukan Hitam dan menewaskan mereka.

"Entah terbuat dari apa Nistalit!" desis Nadisu. "Tapi jelas mereka berguna bagi kita selain sebagai budak. Perintahkan Nistalit untuk bertempur!"

"Siap, Paduka!"

❄️💫❄️