Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 117 - Kesalahan Silva (2)

Chapter 117 - Kesalahan Silva (2)

Choco latte. Tambahan topping es krim.

Tenderloin steak, sepiring kentang goreng. Dessert box berlimpah coklat.

"Kamu mau pesan apalagi, Sil?"

Silva memakannya hati-hati. Perutnya sudah mulai penuh.

"Ayo, kupesankan lagi. Kamu habiskan, biar gak kurus kering kayak gitu. Makan apa aja sih di asrama? Apa cewek sekarang emang pinginnya punya berat badan gak sampai limapuluh?" Rendra melemparkan pertanyaan beruntun.

Najma memandang lelaki di depannya dengan penuh teka teki. Apakah kepalanya terbentur sesuatu hingga kepribadiannya berubah seratus delapan puluh derajat?

"Kalau kamu gak mau balik ke Javadiva, sebut aja sekolah yang kamu mau. Atau sementara mau pindah ke Casablanca? Atau kamu mau ke apartemenku, Sil?" Rendra menawarkan cepat.

Wajah Silva tegang.

Najma pun demikian.

Pindah ke apartemen Rendra?

"Atau kamu mau … beli apartemen sendiri?"

Silva menelan ludah. Najma pun terbengong-bengong.

Mereka menikmati makan malam di sebuah café mahal, di ruangan khusus yang harus dipesan beberapa jam sebelumnya. Walau ruangan itu biasa digunakan bagi bersepuluh orang, selama biaya sewanya disepakati, hanya digunakan oleh tiga orang tak jadi masalah.

🔅🔆🔅

Semenjak pertempuran dengan Vlad dan Cristoph di areal penggalian, Rendra berubah drastis. Sosok yang begitu bengis dan tanpa ampun terhadap Silva, berubah menjadi penuh perhatian dan melimpahkan kasih sayang seutuhnya. Bukan hanya membelikan makanan dan baju-baju baru, ia memberikan kartu kredit tanpa batas untuk digunakan.

"Nih, kamu mau pake buat apa aja, terserah," Rendra berujar cepat.

Silva menerimanya ragu-ragu. Milik bu Candra tak digunakannya secara maksimal, sekarang Rendra memberinya satu kartu gesek lagi. Untuk anak SMA seukuran dirinya, berlimpah uang buat apa? Yang ia butuhkan saat ini adalah perhatian dan pengawasan. Apakah bagi orang dewasa, cinta itu berbanding lurus dengan uang?

"Kamu mau apa sekarang?" tanya Rendra.

"Aku…," Silva terbata.

"Iya, sebutin aja. Kamu mau apa," desak Rendra cepat.

"Aku…," Silva membasahi lidah. Mengucapkan kata.

"Hah? Kamu mau apa?" Rendra mengerutkan kening, mengeraskan tanya.

Silva mengulang lagi kata-katanya, "…mama. Aku…mau mama."

Rendra menatapnya lurus.

"Aku nggak tau gimana caranya kamu bisa ketemu mama," ujar Rendra cepat. "Tapi aku ada uang cash juga, kamu beli tiket sendiri. Mungkin Mama di Jakarta. Di Yogyakarta. Di Bali. Di Singapura atau Hong Kong."

Rendra merogoh saku jasnya, mengeluarkan setumpuk uang. Menyerahkannya dengan tergesa ke arah Silva. Najma menahan tangan lelaki itu.

"Pak Rendra! Sudah cukup uangnya!" bentak Najma. Gadis itu beralih ke arah Silva, "Silva, mau buat apa kartu kredit dan uang sebanyak itu? Yang kamu butuhkan sekarang segera balik ke Javadiva, sekolah baik-baik. Lulus cepat. Lalu putuskan hidupmu mau ke mana : kuliah atau kerja."

Silva terisak kecil.

Najma mendorong tangan Rendra menjauhi Silva.

Pandangan Rendra tertuju tajam ke gadis di depannya.

"Aku…aku mau Mama, Mbak Najma," desah Silva pelan.

"Oke, nanti Mbak bantu kamu cari Bu Candra, mama kamu," Najma berjanji. "Tapi sementara ini, jangan pegang uang terlalu banyak. Hidupmu akan kacau kalau kamu nggak tau, duit itu buat apa."

Ponsel berbunyi.

Najma mengambil miliknya. Rendra mengambil juga miliknya.

Keduanya berbicara menyudut, dengan bahasan masing-masing yang tak dimengerti Silva. Setelah beberapa saat, Najma terlebih dulu kembali ke meja mereka.

"Silva, aku harus ke rumah sakit. Mas Ragil akan segera ditangani. Orangtua mas Ragil orang desa yang gak berpendidikan, mereka kebingungan dengan prosedur operasi," Najma berkata pelan sembari mengelus lengan Silva, "kamu…balik berdua dengan Rendra gakpapa?"

Mata Silva membelalak. Menggeleng cepat kemudian.

"Kamu gak mungkin ikut aku terus, Silva," Najma mengingatkan, "lagi pula…sepertinya aku bakal baik-baik aja, kok. Udah gak ada yang ngikuti aku."

Silva menarik napas panjang, menggigit bibir.

"Nggak tau kenapa, Rendra jadi banyak berubah setelah kejadian di areal penggalian," Najma merenung. "Mungkin…ya, mungkin sebetulnya dia sayang kamu. Namanya juga kalian punya hubungan darah. Cuma…situasi kalian begitu rumit. Kadang…kejadian tak terduga bisa mengubah persepsi seseorang."

Silva terdiam.

"Kamu OK, kan?" tanya Najma.

Silva menatapnya bingung, "…OK apaan…Mbak?"

"OK kalau pulang ke Javadiva cuma sama Rendra. Atau mungkin, kalian berdua perlu ketemu Bu Candra. Ngobrol bertiga."

Silva menahan napas.

Rendra bergabung kembali.

"Ayo, sekarang kamu mau apa, Silva," tanyanya cepat.

Najma menatap Rendra keheranan. Apakah lelaki itu juga bingung dengan situasi yang dihadapi? Mengingat Rendra juga punya banyak masalah, menghadapi satu adik bungsu yang menyulitkan seperti Silva, tentu juga membuatnya tambah sulit berpikir.

"Kamu mau apa, Silva?" suara Rendra terdengar kembali.

Najma menarik napas. Ada yang asing dari suara lelaki di depannya. Intonasinya cepat, lebih cepat dari biasanya. Seolah, ia tidak merasakan emosi sama sekali ketika mengeluarkan kata-kata. Walau Najma tak dapat menganalisa lebih jauh, kepalanya sendiri dipenuhi beban pekerjaan dan kondisi Ragil yang masih membutuhkan dukungan.

"Silva, kamu mau apa?" cepat Rendra mengulang tanya.

Najma menggoyang lembut bahu Silva, "katakan saja, Sil. Kamu butuh balik ke Javadiva."

Silva menelan ludah. Pikirannya kusut.

Ia baru saja bahagia mendapati betapa Rendra menghujaninya dengan perhatian. Sekedar pertanyaan-pertanyaan akan makanan. Sekedar bertanya apa kebutuhannya. Sekarang, ia harus segera kembali ke Javadiva. Kembali ke rutinitas sekolahnya dan…ya Tuhan! Ia punya agenda besar untuk dituntaskan.

"Mbak Najma mau nengok mas Ragil?"

"Ya."

"Aku ikut."

"Ha?"

"Aku ikut saja."

"Sekolahmu?"

"Kalaupun aku harus ngulang, gakpapa, Mbak," Silva tegas memutuskan. "Lagipula, Javadiva bukan sekolah biasa. Javadiva sekolah bakat minat yang mementingkan talenta siswanya. Bukan hanya sekedar mengejar angka pencapaian akademik."

Najma sejenak berpikir lalu berkata, "okelah."

Silva memandang ke arah Rendra.

"Aku mau ke rumah sakit," ujar Silva. "Kita harus menemani mbak Najma dulu."

Rendra mengangguk.

Matanya memandang lurus ke arah Silva.

Jantung Silva bagai terendam baskom berisi es batu. Mata legam milik Rendra berkilau kebiruan.

🔅🔆🔅