Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 118 - Kesalahan Silva (3)

Chapter 118 - Kesalahan Silva (3)

Di rumah sakit, Najma segera berlari ke tempat Ragil dirawat. Salaka, Candina dan Sonna menunggu dengan setia di luar ruangan. Dah, oh, Cookies pun terlihat di sana. Duduk tenang. Mengamati serangga merayap di dinding. Sonna sepertinya enggan dekat-dekat Cookies dan lebih suka berkutat dengan bacaan novelnya.

Melihat Silva datang, Sonna memeluknya sambil berseru lirih, "heh, kamu gakpapa?"

Silva menggeleng kepala.

"Aku bertemu dua cowok Eropa yang menyerang kita di Dahayu," bisik Silva.

"Ya, kamu udah sempat crita sedikit lewat WA," Sonna mengiyakan. "Kamu hajar mereka, kan?"

"Ya," Silva berucap bangga, sedikit menyembunyikan rahasia.

Salaka memburu ke arah Silva, menatap gadis itu cemas.

"Kamu baik-baik saja, Silva?" tanya Salaka, tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.

Candina dan Sonna berpandangan, saling melempar senyum aneh.

🔅🔆🔅

Silva membuka ranselnya.

"Aku menemukan ini," Silva berujar, menunjukkan sesuatu.

Sebuah keris berlekuk, dengan ukiran rumit, cemerlang berwarna kelabu.

Salaka dan Candina membuka mulut tak percaya.

"Kamu dapat dari mana?" Candina berbisik, sembari mendorong tangan Silva masuk kembali ke dalam ransel.

Salaka melihat sekeliling.

Najma masih sibuk dengan urusan rumah sakit. Orang-orang berlalu lalang dengan wajah cemas dan tegang, tak peduli pada apa yang dilakukan mereka.

"Itu sejenis keris," gumam Salaka.

"Atau cundrik*," bisik Candina.

"Apa itu?" Silva dan Sonna bertanya, tak mengerti.

"Dilihat bentuknya, keris itu berusia ribuan tahun. Senjata kuno prajurit perak," Salaka menjelaskan pelan

"Melihat bentuknya yang indah," Candina menambahkan, "mungkin saja senjata itu digunakan prajurit khusus. Pasukan khusus…seperti…?"

Salaka menahan napas.

Candina menggantung ucapan.

Silva menatap Salaka dan Candina bergantian.

"Ya?" Silva melontarkan potongan gumaman pendek.

"…pasukan khusus," Candina berdehem. "Seperti prajurit perempuan."

Salaka menatap tajam ke arah Silva, "kamu bisa menggunakannya?"

Silva salah tingkah.

"Y-ya," gadis itu mengangguk, ragu, "seperti di ruang bawah tanah Dahayu. Tetiba aku bisa menggunakannya."

"Di mana kamu menemukannya?" Candina bertanya, mengerutkan kening.

Silva menatap ke arah Najma di kejauhan.

"Panjang ceritanya," Silva menjelaskan, menarik napas tertahan. "Intinya, mbak Najma ternyata bukan hanya bekerja di kantor cagar budaya, tapi juga banyak membantu penggalian artefak. Ayah mbak Najma seorang mandor bangunan, sedang menggarap semacam resor atau tempat wisata. Begitulah. Banyak terkendala ketika melakukan penggalian pondasi, dan…"

Silva tertegun.

Membayangkan lubang-lubang di tanah yang menganga dipenuhi artefak perak.

Punggungnya terasa dingin. Apakah, Vlad dan Cristoph hanya mengambil satu artefak besar yang segelnya telah dibuka oleh Silva? Atau mereka menjarah yang lain?

Salaka dan Candina menatap penuh perhatian ke arah Silva.

"…ya..intinya, entah bagaimana aku bisa membuka barang berat itu," Silva terbata, menelan ludah. "Benda itu tak bisa digerakkan oleh alat berat sekalipun. Mangkrak. Macet. Bener-bener macet."

Salaka mengajak kelompok mereka lebih menyudut, mencari tempat sepi.

Ia memberikan isyarat kepada Cookies untuk tetap di tempat, di dekar area kamar rawat Ragil.

"Barang yang kamu lihat, seperti apa bentuknya?" tanya Salaka ingin tahu.

Silva memeluk ranselnya, memainkan cincin di jari manis. Ia berpikir, mengingat-ingat.

"Aku…aku belum pernah lihat benda kayak gitu," bisiknya ragu. "Ukurannya cukup panjang. Seperti bangku-bangku di taman. Bentuknya? Ya ampun…seperti apa ya…"

"Kamu bisa membukanya?" tanya Candina hati-hati.

"Aku terperosok masuk," Silva mengingat-ingat. "Aku terjebak. Vlad dan Cristoph memburuku. Aku ketakutan. Panik. Aku nggak tahu harus ngapain. Di depanku ada benda itu…ya, artefak yang sedang dikerjakan mbak Najma dan timnya. Aku memegangnya. Bendanya besar, seperti batang pohon. Nggak tahu kenapa, tanganku ini…tanganku ini seperti bersahabat dengannya."

Silva menatap Salaka tegang. Ia mengalihkan pandangan ke arah Candina.

Gadis itu ganti menatap kedua jemarinya. Telapak tangan yang sering dingin tiba-tiba, gemetar bila cemas. Tremor. Bila sedang memuncak kepanikan, ia akan memainkan cincin di jari manis. Memindah-mindahkannya.

Salaka menatap teliti ke arah tangan Silva.

"Sejak kapan kamu pakai cincin?" tanya Salaka, mengernyitkan dahi.

"Hmh?" Silva menaikkan alis, "…apa…?"

"Cincin," tegas Salaka.

Silva kebingungan, menatap ke arah pandangan Salaka.

"Ini??" tanya Silva kebingungan. "Ya…aku pakai sudah lama…"

Aku gak suka pakai emas. Aku juga gak suka pakai sepuhan, pikir Silva. Sepuhan emas bikin kulitku gatal. Aku lebih suka pakai cincin atau gelang dari kulit penyu atau dari logam seperti besi.

Silva masih sibuk dengan pikirannya sendiri, sembari memutar-mutar cincin di jari manisnya.

"Apakah itu…perak?" Salaka mengulurkan tangan, mengambil jari jemari Silva.

Pipi gadis itu memerah, perlahan menariknya cepat.

Sonna berdehem kencang.

Ehem!

Hellooooo. Dunia berisi banyak orang, Sodara-sodara! Teriak benak Sonna.

"Dia sudah lama pakai cincin itu," Candina menjelaskan, memotong rasa ingin tahu Salaka.

"Kamu dapat dari mana?" Salaka mendesak.

"Eh?" Silva tertegun. "Y-ya…waktu sekolahku…ya, kunjungan ke pengrajin perak di Kotagede, Yogyakarta."

Silva masih teringat.

Ia selalu sendiri. Tak ada yang menemani. Walau dibekali uang banyak dan kartu ATM yang mudah digesek hingga puluhan juta rupiah, ia sangat sulit memutuskan sesuatu. Kecemasan, kekhawatiran, kepanikan selalu mewarnai hari-harinya. Bahkan memutuskan akan makan apa atau pakai baju apa, bisa memakan waktu puluhan menit! Termasuk akan membeli apa.

Teman-temannya memborong aneka kerajinan perak : kalung, cincin, bros, kerajinan perak berbentuk becak dan sepeda. Pisau pembuka surat. Wadah surat berukir. Walau anak-anak sekarang sudah tak memakai wadah surat dan pisau pembuka surat, bagi anak kaya di Javadiva, menghamburkan uang adalah kebahagiaan.

Silva di sana. Memasuki kios kecil dengan etalasi kaca. Memutar-mutar. Tak menemukan apa yang diinginkannya, atau dibutuhkannya.

"Kamu membeli cincin perak itu?" Salaka bertanya hati-hati. "Atau ada yang memberikannya?"

Silva menatap cincin perak di jari manisnya.

Bentuk sederhana, dengan ukiran daun dan bentuk asing yang ia tak mengerti.

"Ada seorang pengrajin tua," Silva mengingat-ingatnya, "dia memberikan beberapa cincin cuma-cuma. Bukan hanya aku yang dikasih. Tapi teman-temanku juga."

"Apa yang dilakukan teman-temanmu?" Salaka bertanya.

Silva angkat bahu, tak mengerti.

Ya, mungkin bagi anak seperti Initta dan Zaya, cincin murah seharga duapuluh ribuan itu hanya pantas digunakan orang rendahan, pikir Silva. Ada yang langsung menyimpannya di tas, ada yang dikasihkan ke orang lain. Malah ada yang dibuang ke tong sampah.

Silva memutar cincin itu. Menatapnya teliti. Tak banyak orang memberi perhatian kepadanya. Seorang lelaki tua, memberikan cincin perak dengan tulus kepadanya, seperti menuang air ke dahaga kegersangan kasih sayang. Ia ingat, mengucapkan terimakasih samar kepada pengrajin perak tua.

Candina menatap jari jemari Silva.

"Aku…aku juga baru sadar Silva memakai cincin itu," bisik Candina. "Sejak Silva mampu menyelamatkanku dari perundungan anak-anak di Javadiva. Sejak ia mengangkat telapak tangannya untuk membelaku!"

🔅🔆🔅