Cincin perak.
Keris atau cundrik perak.
Salaka menatap Silva dalam-dalam hingga gadis itu salah tingkah dibuatnya.
Candina sampai harus menyikutnya agar Silva tak hendak membenamkan wajah ke bumi.
"Silva…kamu bisa membuka salah satu artefak itu?" tanya Salaka.
🔅🔆🔅
Terbata Silva menjelaskan.
Kejadian demi kejadian di dunia 5.0 yang semakin dipenuhi berita-berita kriminal. Kesejahteraan manusia meningkat di satu sisi, namun peperangan dan krisis energi menciptakan kesenjangan makin nyata antara dunia-dunia maju dan mereka yang masih berkutat dengan permasalahan basic needs –kebutuhan dasar.
"Vlad dan Cristoph membutuhkan perak," Silva menjelaskan. "Sama seperti kita juga membutuhkannya."
Candina menatap Silva tegang. Salaka berdiri tegak, antara cemas dan kemarahan.
"Maksudmu?" Salaka ragu bertanya.
"Ya...," Silva menelan ludah. "Aku...aku rasa gak baik kalau kita...serakah..."
"Serakah bagaimana?" Salaka memotong cepat.
Silva terhenyak, gugup kemudian.
"Kita...masih punya banyak perak, kan?" Silva bertanya, menoleh ke arah Candina dan Salaka.
Salaka menahan napas.
"Darimana kamu beranggapan kita punya banyak perak, Silva?" tanya Salaka.
"Di ruang bawah tanah Dahayu, ada banyak patung-patung perak. Artefak di daerah penggalian...juga banyak," Silva berusaha menjelaskan.
"Apakah artefak di lokasi penggalian, semuanya perak? Kamu sudah lihat?" Candina menyela, ingin tahu.
Silva tercekat.
Apakah semuanya perak? Ia belum tahu! Ia hanya melihat banyak lubang-lubang penggalian, alat berat macam bumblebee terserak macet di mana-mana, wajah orang-orang yang kelelahan dan kebingungan.
"Silva?" Salaka menegur hati-hati.
Silva semakin gugup. Mendekap ransel makin kuat, memainkan cincin makin tak karuan.
"...aku...aku nggak tau. Bukannya...semua artefak di area penggalian mbak Najma...perak semua?" bisik Silva.
Gadis itu mundur, satu langkah tanpa sadar. Salaka dan Candina seolah ingin menginterogasinya, atau malah, melabraknya.
"Aku belum lihat lokasi penggalian yang disebut mbak Najma," Candina menjawab jujur. "Tapi, ingat filosofi Jawa, Silva. Ojo njagakke endhok si blorok* . Jangan mengharap apa yang belum pasti datangnya. Jangan berharap ada yang lain, ketika barang itu belum menjadi milik kita seutuhnya."
Mata Silva panas.
Sonna kebingungan, tak tahu harus membela siapa. Ia ingin membela Silva, tapi tampaknya Silva melakukan sesuatu yang tidak disukai Salaka dan Candina. Ingin membela Salaka dan Candina, tapi sungguh kasihan Silva yang tersudut tanpa dukungan.
"Jadi...kamu bisa membuka kunci segel artefak itu," Salaka mencoba menyimpulkan. "Kamu bisa mengambil satu keris atau cundrik perak. Kamu bisa mengalahkan dua pangeran Eropa keparat itu? Baguslah! Bongkahan perak itu...masih aman di tempatnya, bukan?"
Silva benar-benar terpojok.
Vlad.
Cristoph.
Vampir-vampir.
Kejahatan yang merajalela.
Perak sebagai senjata.
Perak sebagai anti bakteri.
Perak sebagai cermin yang mengobati.
Apakah salah bila ia memberikan perak itu bagi bangsa Eropa yang sangat membutuhkan?
"Silva," Candina mencoba membantu. Ia memegang lengan gadis itu, sembari mengulang pertanyaan Salaka, "bongkahan perak itu masih ada, atau sudah hilang?"
Silva menatap Candina. Matanya berair.
"..."
Ia ingin berbuat baik. Ia ingin berbuat benar. Ia ingin bertindak tepat. Apakah niat baik tak selalu benar jalannya?
"...aku bisa membuka segelnya, entah bagaimana," suara Silva gemetar, jari jemarinya bergerak hingga ia perlu meremas tangannya sendiri. "Vlad...Vlad meminta kita membantunya...aku tak ingin kita serakah..."
"Serakah?!" Salaka memotong keras penuh amarah. "Bukan serakah ketika kita mempertahankan hak milik kita sendiri, Silva! Bukan serakah, ketika kita mempertahankan hal sangat penting yang kita butuhkan! Mengapa kamu terperdaya oleh orang yang sudah menganiaya kita?!"
Mata Silva memburam. Digigitnya bibir keras-keras.
"Itu bukan kebaikan hati namanya!" Salaka berkata tegas, penuh amarah tertahan. "Itu kelemahan! Itulah penyebab klan-mu tak pernah benar-benar bisa menguasai dunia!!"
Salaka berdiri di hadapan Silva.
Bagai tiang tegak tinggi besar yang bersiap meluruskan apa yang salah.
"Apa kamu tidak pernah mendengar, bagaimana perjuangan para panglima Akasha dan panglima Pasyu mempertahankan pusaka-pusaka terhebat demi menyelamatkan dunia??!"
Silva tak sanggup menatap wajah Salaka.
Akasha.
Pasyu.
Para panglima? Sejarah macam apa itu? Mitos dan legenda mana? Kehidupannya sendiri sudah terlalu tak masuk akal untuk dikisahkan.
Silva tak tahan lagi. Ia mengusap kasar ujung matanya yang basah. Gadis itu membalikkan tubuh, keluar dari perbincangan.
"Heh! Tunggu!"
"Kamu mau ke mana?"
"Jangan pergi dulu!"
"Dek!"
Suara-suara yang menahannya. Juga satu suara yang sangat dikenalnya. Silva membalikkan tubuh pelan, tak kuasa mengangkat wajah.
"Udah selesai ngomong-ngomongnya?" Najma bertanya. "Kamu mau ke Javadiva...atau ke mana?"
Silva menatap Najma kosong. Apa yang akan dilakukan Najma dan timnya jika tahu, Silva telah membuka segel artefak perak itu dan menyerahkannya pada Vlad? Apakah Najma akan sama marahnya seperti Salaka, atau ia lebih mengerti posisinya? Vlad menjanjikan sesuatu padanya dan pangeran Eropa itu sudah memenuhi janjinya. Apa yang diminta Silva bukan sesuatu yang berlebihan, menurutnya. Mengapa dalam hidupnya, ia tak boleh memilikirkan diri sendiri, sekali saja?
"Aku merasa benar," pikiran Silva meyakinkan diri sendiri. "Tapi juga merasa, ada sesuatu yang salah. Ada hal buruk mengintai dengan keputusanku!"
Tak mampu menatap wajah semuanya lebih lama, Silva berlari ke parkiran rumah sakit. Terisak tertahan. Mencari-cari mobil seseorang. Satu kendaraan warna hitam gagah terparkir di sudut, pengendaranya langsung mengenali Silva yang berlari terseok.
"Kamu kenapa?" sebuah suara bertanya.
Silva tak dapat menyembunyikan emosi. Ia berdiri mematung, kakinya gemetar.
Lelaki muda nerwajah oriental itu menatap Silva bingung. Sejurus kemudian ia mengulurkan tangan, mengusap wajah Silva. Mengeringkannya dengan telapak.
"Udah, kamu nggak usah nangis. Ssshhh. Sudah, sudah!"
Suaranya jelas. Tenang. Tanpa frekuensi emosi.
Lelaki muda itu memeluk Silva, mendekapnya. Menepuk-nepuk kepala dan bahunya.
"Mas Rendra," Silva tersedu-sedu, balik memeluknya erat.
Apakah ia rela menukar perlindungan dan kebahagiaan seperti ini?
🔅🔆🔅