Rendra duduk tenang di kursi kemudi.
"Kita ke mana?" tanyanya.
Silva di depan. Untuk pertama kali, mereka duduk bersisian seperti ini. Tenang. Damai. Lebih banyak kebisuan yang asing.
Javadiva? Pikir Silva.
Tidak, seru batinnya yang lain.
"Kau harus menjelaskan apa yang benar-benar terjadi," benak Silva berargumen.
Baiklah. Javadiva, pikir Silva. Penjelasan yang lengkap akan menjernihkan situasi.
Oh, tidak, jerit suara emosinya.
"Mereka gak akan ngerti!" batin Silva berteriak. Perak, perak, perak. Hanya perak yang jadi pusat perhatian mereka, hati Silva sengit menuduh. Untung hanya perak. Kalau emas? Perang dunia ketiga akan dimulai dari Javadiva!
"Kita ke mana?" Rendra mengulang.
Silva menoleh ke arahnya.
Begitu pentingkah keinginannya saat ini, sampai-sampai Rendra bolak balik bertanya? Apakah setiap keinginannya akan dipenuhi? Silva memejamkan mata. Salaka. Wajah penuh amarah tertahan. Mata hitamnya yang dipenuhi rahasia terpendam. Candina yang cantik dan lembut. Perilakunya yang aneh, bagai manusia bukan dari abad ini atau dari planet ini. Sonna? Mata Silva terbuka. Teman terdekatnya, kawan satu kamar, cewek yang tulus dan kocak.
Sekali lagi, didengarnya Rendra bertanya, "kita ke mana?"
Silva tak tahu akan ke mana.
Satu-satunya tempat istirahat yang memungkinkan hanyalah apartemen bu Candra.
"Casablanca," gumam Silva.
Rendra mengemudikan mobil menuju tempat yang disebutkan.
🔅🔆🔅
Apakah kau pernah merasakan tubuh sangat lelah dan pikiran letih, justru ketika tidak melakukan apa-apa?
Silva merasakannya.
Tubuhnya lunglai bagai bekerja seharian.
Pikirannya tak dapat bekerja.
Justru ketika beberapa hari dilaluinya hanya dengan tidur, makan minum, menonton televisi. Rasanya diri terlalu lelah tidur terus menerus tanpa tahu apa yang harus dikerjakan. Sesekali ia memelajari bahasa-bahasa kuno yang diajarkan Najma. Candina. Salaka. Ingatan akan Javadiva menguras perasaan. Rasa ingin membela diri dan tumpukan perasaan bersalah silih berganti datang.
Beberapa hari di Casablanca, atas izin penuh dari bu Candra dan Vira dan asisten, Silva menikmati kebebasan tinggal. Sesekali, telepon jarak jauh dilakukan. Beda benua terkadang membuat jam perbincangan tak sesuai, saat bu Candra bertugas ke luar negeri. Silva terkantuk-kantuk mendapat telepon.
"Kamu nggak sekolah?" bu Candra menelisik.
"Aku…bisa online, Ma," Silva terdengar ragu.
"Betul?"
Silva mengangguk, tentu tak terlihat.
"Silva?" tegur suara di seberang.
"Ya, Ma."
Hening sesaat.
"Kamu…sama Rendra?" bu Candra bertanya hati-hati. "Vira cerita."
"Ya."
"Dia baik sama kamu?"
"Ya."
"Dia gak ngata-ngatain kamu?"
"Nggak, Ma."
"Kalian sudah baikan?"
Silva terdiam, tak tahu harus berkata apa.
"Silva?" bu Candra bertanya kembali.
"Y-ya."
"Kamu…sama Rendra baik-baik aja, kan?"
"Ya, Ma."
"Oke. Mama lagi mau meeting dengan rekan di Maroko. Kamu mau oleh-oleh apa?"
Silva menarik napas. Malas berpikir. Apa yang tidak ada di Indonesia?
"Coklat?" bu Candra menawarkan.
Silva menggeleng, "nggak usah, Ma."
Coklat di Indonesia berlimpah!
"Kamu mau kosmetik dari bahan minyak arghan asli?" tawar bu Candra lebih lanjut.
Kosmetik luar negeri tak selalu cocok. Pernah sekali mencoba, pipi Silva break-out –dipenuhi jerawat.
"Nggak usah," Silva menolak lagi.
Terdengar helaan napas di seberang.
"Atau…kamu mau perhiasan aja?" bu Candra masih menawarkan. "Cepetan, Mama bentar lagi harus nutup telpon."
Silva mengubah posisi duduknya. Punggungnya tegak dan tegang.
"Apa…di Maroko ada…perak?" bisik Silva.
Tawa kecil di seberang terdengar.
"Kamu kok aneh," bu Candra meledek, perbincangan terputus sejenak. Terdengar orang asing di seberang, dalam bahasa Perancis dan Inggris berbincang menyapa. "Nanti Mama sambung lagi, Silva."
Klik.
Cukup.
Perbincangan bisa tetiba terhenti ketika rekan kerja bu Candra menyela. Sepenting apapun –atau seremeh apapun perbincangan dengan Silva, semua akan terputus begitu bu Candra berkata singkat : akan rapat atau tamu datang.
🔅🔆🔅
"Apa aku salah? Aku hanya ingin berbuat baik. Kalau ada orang meminta pertolongan, apa kita menolak ketika bisa membantu? Apa salahnya membantu orang sesekali? Toh, aku tak selalu membantu Vlad dan Cristoph. Bahkan, selama ini selalu bermusuhan. Vlad tidak sepenuhnya jahat. Negaranya butuh perak. Sama juga kan, kalau Indonesia butuh obat-obatan. Butuh gandum. Butuh otomotif. Kita impor dari negara lain. Kalau ada pihak lain yang butuh bahan baku dari Indonesia demi kepentingan rakyatnya, apa kita menolak?"
Silva mengetik panjang lebar.
Dibacanya berulang kali. Tak puas. Ditekannya tombol 'delete'
Penghapusan berjalan, mulai dari kata 'menolak' hingga 'apa'.
Mengetik lagi.
"Memangnya orang gak boleh salah, ya? Wajar kan kalau aku salah? Baru sekali ini aku berbuat salah! Sepertinya begitu, sih. Selama ini aku berusaha membantu Salaka dan Candina. Mana aku tahu kalau perak itu harus dipertahankan sampai sebegitunya. Aku sendiri gak tau, kenapa tiba-tiba aku bisa berkelahi. Aku kuat. Aku bisa membuka segel. Seolah aku ironman yang bisa menaklukan logam dan superman yang bisa memotong baja hanya dengan menatapnya!"
Silva mengetik lagi. Panjang. Lebar. Dibaca berulang kali. Tak puas, menekan tombol 'delete'. Kata-kata yang diketik hati-hati per huruf terhapus mulai ucapan 'menatapnya' hingga 'memangnya'.
"Aku ingin mengontak Salaka, juga Candina. Tapi kamu tahu, mereka gak pegang ponsel. Makhluk aneh itu gak pegang gadget di era five-point-o! Gimana caraku ngomong ke Salaka kalau aku agak-agak menyesal sudah menyerahkan perak sama Vlad? Aku bingung antara pingin berbuat baik dan diterjang rasa bersalah kayak gini! Aku juga pingin ngomong ke Candina. Tapi gimana caranya?"
Silva mengetik.
Menyimpannya di email.
Kali ketika menulis panjang lebar, ia menepuk dahinya sendiri, menyadari kebodohan. Mengapa curahan hatinya hanya terhapus begitu saja?
Mengapa lebih mudah bicara lewat media sosial, mampu berkata panjang lebar, namun membisu ketika harus berbicara bertatap muka di dunia nyata? Apa ada yang salah dengan dirinya?
Sulit sekali, bahkan untuk mengontak Sonna.
Alih-alih mengirimkan pesan, Silva malah memencet tombol 'call' dan melakukan 'missed call' yang mengganggu. Ia melemparkan ponsel ke sofa pada akhirnya. Betapa bencinya pada diri sendiri yang begitu sulit berkata-kata!
Silva memejamkan mata.
Vlad.
Salaka.
Rendra?
Ia ke luar kamar, tersadar tiba-tiba. Didapatinya Rendra duduk membisu di depan televisi.
"Mas Rendra," Silva berkata pelan, "…makanannya…gak dimakan? Sudah dingin. Sudah dari tadi."
Rendra menatapnya sejenak, mengambil rice-bowl. Memakannya dengan cepat.
Silva menarik napas. Di hadapannya, lelaki muda itu terlihat bagai makhluk bernyawa tanpa jiwa yang hanya bergerak bila diperintah. Gadis itu menuju lemari, mencari-cari kimono dan baju mandi.
"Mandi, Mas!" ujarnya.
🔅🔆🔅