Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 115 - ●Langkah Nami (12)

Chapter 115 - ●Langkah Nami (12)

Gelombang rasa sakit dan ledakan sukacita atas kesempatan hidup yang ke sekian kali, menghantam Nami hingga ia tak tahu harus menangisi nasib atau berteriak gembira.

Walau air embun Wanawa bekerja cepat mengatasi luka, ingatan akan rasa nyeri tak hilang begitu saja. Cakar yang mencabik. Taring yang menancap. Pukulan yang menghantam. Tendangan yang dilepaskan. Setiap sendi bahkan helai rambut mencatat kedalaman rasa sakit yang berdenyut, bertalu-talu.

Nami berlutut.

Mengumpulkan kesadaran.

Menatap ke sekeliling.

Daun dewa. Bunga-bunga berwarna tajam yang hanya hidup di Girimba. Tanaman yang bentuknya menyerupai sisik-sisik tubuh Vasuki. Isi kepala Nami bekerja cepat, merangkai ingatan dan naluri.

"Nistalit! Jangan jauh-jauh dari kami!" teriak Janur.

Gulungan angin yang memutar cepat, mengangkat tubuh mereka naik menuju istana kedua Wanawa.

❄💫❄

Penjara ujung terlihat lebih ramah.

Walau masih berpagar jeruji kayu sekuat baja, tangan dan kaki tak lagi terikat akar. Minuman dan buah tersedia, juga selimut. Nami menumbuk daun dewa, bunga berwarna tajam dan tanaman serupa sisik. Membalurkannya ke luka.

Dingin.

Nyaman.

"Semakin tajam warna tanaman atau kulit hewan, semakin berbisa atau semakin ampun daya sembuhnya," Jalma mengajarkan. "Kau juga bisa memilih tanaman yang bentuknya mirip sebuah benda, untuk mengobati. Jerami? Itu bagus untuk rambutmu. Pisang? Bagus untuk kulitmu."

Jalma seharusnya berumur panjang, pikir Nami. Panglima Gosha mungkin akan senang bertemu dengannya.

Sebuah langkah mendekat.

Nami menoleh ke arahnya.

"Tabib mengirimkan air embun Wanawa. Senandung Putri Yami dan Putri Nisha ada di dalamnya," Janur menyampaikan. "Minumlah. Oleskan ke tubuhmu yang terluka. Semoga lekas membaik."

Nami mengucapkan terima kasih.

"Hulubalang Janur, bolehkah hamba bertanya?"

Janur mengerutkan dahi, mempersilakan.

"Apakah...Panglima Milind pernah terluka karena...Vasuki?" Nami terbata bertanya.

Janur menatapnya penuh selidik, "kenapa kau ingin tahu?"

Nami salah tingkah. Mengulurkan sekantung kecil tumbukan ramuan.

"Kami sering meramu obat-obatan dari tetumbuhan dan hewan. Barangkali...ahya, mungkin Panglima Milind membutuhkannya."

Nami mengulurkan tangan. Janur menatapnya ragu, walau pada akhirnya menerima.

❄💫❄

Lautan biru.

Pegunungan kelabu.

Sungai kecoklatan.

Hutan hijau.

Dua pohon kapuk randu raksasa di gerbang masuk Wanawa. Dedaunan bersemi, titik embun bagai jajaran permata di mahkota para ratu.

Wajah-wajah yang menatapnya. Raja Vanantara banna Wanawa dan Ratu Varesha. Raja Jaladri banna Jaladhi dan Ratu Jaladhini. Raja Nadisu banna Gangika dan Ratu Mihika. Raja Araga banna Giriya dan Ratu Madhavi.

Mata-mata yang memandangnya. Mata kesakitan Vurna. Mata kosong Gosha. Mata licik Tala. Mata kemarahan Rakash. Mata dendam Gayi.

Pelatihan keprajuritan. Senjata. Genderang. Pertarungan. Bela diri. Pembelajaran mantra. Ketatanegaraan. Hukum para bangsawan. Kitab rahasia. Mantra pusaka.

Bayang-bayang yang tak dimengerti. Terasa jauh, namun seolah pernah berjumpa. Terasa dekat, anehnya tak dikenali siapa.

Arrrgh.

Ugh.

Sebuah usapan dingin. Menyerap sakit. Menghisap pedih.

***

Biarkan sakitmu dibawa pergi dedaunan

Lepaskan lukamu bersama sayap kunang-kunang

Tinggallah di sini bersama kami sekarang

Dalam rahasia abadi dan umur panjang

***

Senandung lembut mengalir merdu. Menjinakkan tekanan amarah yang menggumpal, menenangkan ledakan pikiran yang dipenuhi prasangka.

"Sssshhh, Milind," bisik Nisha. "Kau bersama kami."

Tawa Tala.

Teriakan Gosha.

Tombak kristal dan mantra Ratu Laira.

Milind bangkit dengan cepat, terengah. Nyeri di dada dan bahu merambat ke separuh tubuh.

"Itu hanya ingatanmu, Milind," Nisha menenangkan. "Lukamu sudah semakin pulih."

Milind menatap ke sekeliling. Putri Yami, Putri Nisha, Hulubalang Janur, para prajurit Wanawa menatapnya tegang.

"Raja Vanantara, di mana Paduka?" bisik Milind.

"Beliau masih di istana utama, Panglima," Janur berkata.

"Ambilkan jubahku," perintah Milind, mencoba bangkit dan berpijak kokoh pada kedua kaki. Ia terpaksa memejamkan mata sesaat, untuk membangun keseimbangan sempurna.

Janur menurut, bertanya kemudian, "apa yang akan Panglima lakukan?"

"Aku harus ke Giriwana. Istana utama Wanawa butuh pengawalan," tegas Milind.

"Hulubalang Jawar berjaga bersama para prajurit terbaik," Janur mengingatkan. "Panglima Gosha juga akan segera kembali untuk memberitakan keadaan terkini tentang Mandhakarma."

Milind mengangguk.

"Tuan harus banyak beristirahat," Janur memperingatkan.

Milind meraba dadanya.

Sesuatu yang dingin dan lunak, menutup bekas lukanya. Seakan laba-laba kecil sedang membangun sarang dengan jaring halus demi memperbaiki lubang menganga.

"Aku sudah sangat membaik," Milind mengangguk hormat ke arah Putri Yami dan Putri Nisha. "Paduka Putri harus beristirahat juga setelah mengurusi sekian banyak pekerjaan, termasuk merawat lukaku."

"Kau harus di sini untuk sementara waktu, Milind," Yami berkata tegas. "Tempat ini bagus untuk menyembuhkan lukamu."

Menyembuhkan dan menambah luka baru, benak Milind berkata. Girimba ternyata berbatasan dengan istana pangeran Vasuki. Selama ini, mereka saling menjaga. Akasha dan Pasyu mencoba saling menghormati dan tak mengganggu urusan masing-masing. Sampai Tala merusak perjanjian. Sampai Nistalit hadir dan menambah panjang permasalahan.

"Semua Nistalit telah sampai Gangika?" tanya Milind.

Janur mengangguk, "sesuai perintah Panglima."

"Apakah Nistalit perempuan itu juga sudah diantarkan ke Gangika?" Milind bertanya lagi.

Hulubalang Janur menatap Putri Yami yang memberinya isyarat sesuatu.

"Janur?" Milind menajamkan pertanyaan.

Janur menunggu sang putri berbicara.

"Kita sudah sepakat akan mengantarkannya memasuki Gangika begitu mendapatkan mantra pembuka pusaka dari Vasuki," Milind mengingatkan.

Yami menyela.

"Aku yang menahan Nistalit perempuan itu, Milind," ujarnya hati-hati.

Milind menatap Yami keheranan. Baginya, Yami seperti kakak perempuan yang sangat bijaksana. Sebagai pengganti Ratu Varesha, sikap dan pemikirannya jauh lebih dewasa dibandingkan putri-putri kerajaan lain seperti Putri Calya halla Aswa.

"Apa alasan Putri Yami menahannya?" tanya Milind. Bayangan Gosha berkelebat.

Yami menarik napas.

"Lukamu...ya...," Yami terdiam sesaat, "...bukan luka yang biasa. Ada sesuatu di luar jangkauan kami ketika tombak kristal Gosha melukaimu."

Milind mengangguk.

"Kristal Aswa memang salah satu senjata terhebat, selain obat mujarab," Milind bergumam.

"Masalahnya, pengobatan Aswa dan Wanawa telah dikerahkan untuk menyembuhkanmu," Yami berujar, "...dan kau masih kesakitan."

Milind tersenyum.

"Bahkan Akasha yang berumur panjang pun memiliki keterbatasan. Bukankah demikian, Putri? Biarkan waktu menyembuhkan lukaku," Milind mengangguk hormat.

Pandangannya beralih ke Janur, ketika merasa belum mendapatkan jawaban seutuhnya dari Yami. Menerima tatapan penuh selidik, Janur terlepas bicara.

"Nistalit perempuan itu meramu obat. Tampaknya, itu memengaruhi keadan Panglima jadi lebih baik," ujar Janur cepat.

Alis Milind naik.

Yami menyela kembali.

"Aku yang memerintahkan Nistalit perempuan itu untuk ditahan lebih lama," jelas Yami tenang. "Kulihat, ia mampu meramu obat dan itu sangat bermanfaat untukmu."

❄💫❄

Nami duduk, memeluk lutut.

Selimut menyelubungi tubuh.

Senandung penyanyi dan petikan musik; telinganya mulai terbiasa menyimak bahasa puitis Akasha Wanawa saat hening.

Seperti malam ini.

Ia memikirkan Jalma. Dupa. Deretan nama. Panglima Kavra. Hulubalang Sin. Bendungan Gangika dan Gerbang Batu. Apakah masing-masing telah usai dibangun? Bila keduanya telah sempurna, ke mana lagi perjalanan Nistalit?

"Kau sudah tidur?" sebuah suara menyapa.

Nami memandang ke luar jeruji. Ia bangkit segera, tanpa menanggalkan selimut.

Berhadap-hadapan seperti ini, dibalut kecanggungan dan perasaan serba salah, lidah kelu memilih kata.

"Hamba...," Nami malu mendengar suaranya sendiri, "... terima kasih atas bantuan Panglima."

Milind tenang berujar, "aku masih ingat kata-katamu yang mencaciku."

Nami menggigit bibir, "maafkan."

Hening yang canggung.

"Aku berterimakasih atas ramuanmu," Milind berujar.

Nami mengangguk. Merasa lega. Banyak yang ingin dikatakan atau ditanyakan, semuanya terhenti di tenggorokan. Walau, dalam keheningan tanpa suara seperti ini, Nami pun merasakan kehidupannya berpendar beberapa saat.

"Janur akan mengantarkanmu ke Gangika besok," Milind berkata.

Pendar itu redup.

Nami tertegun, menengadahkan wajah. Bertumbuk pandang dengan Milind yang tengah menunduk ke arahnya. Hanya sejenak, segera Milind mengalihkan pandangan.

Ia berbalik.

"Selamat malam, Nami."

❄💫❄