Di sinilah ia berada.
Sendirian.
Hanya berteman nyali dan keberanian. Sesuai permintaan Nami : biarkan seluruh Nistalit menuju Gangika dan ia dilempar ke gua antah berantah, gua tirai air terjun. Tempatnya mencabut nyawa pangeran kelima putra Gayi, melukai pangeran kedua dan juga, tempatnya nyaris mati.
Prajurit Akasha Wanawa menggiring Nami, membawanya menunggang angin, mengembalikannya ke ceruk paling mengerikan.
❄💫❄
Wajah Gayi sembab.
"Jadi, ini Nistalit yang membunuh putraku?" suaranya serak.
Nami menelan ludah. Walau ia bersyukur selamat, bukan kebanggaan yang dimilikinya saat ini. Seorang Ratu sekalipun, adalah ibu yang melahirkan putra-putranya.
"Ketahuilah Nistalit," ujar Gayi penuh kebencian dan amarah, "walau putraku sepuluh, satu tewas serasa hidupku tak lagi punya arti."
Nami membungkuk memberi hormat yang dalam.
"Yang Mulia Ratu Gayi, hamba sungguh tak ingin membuat anda berduka. Hamba...hanya membela diri..."
"Cukuppp!!!" teriak Gayi . "Apapun alasanmu, kau akan menghadapi kematian yang menyakitkan!!"
Nami mempersiapkan senjata. Kapak bertali dan pisau panjang yang telah diasahnya dengan baik. Di depannya, prajurit Vasuki berlapis akan menangkapnya. Pangeran kesatu yang tampak paling murka, berada di garis depan.
Nami memejamkan mata.
Sekejam inikah Panglima Milind dan Akasha Wanawa, melemparkannya ke kubangan kematian yang lebih dahsyat dari cambuk Kuncup Bunga?
"Tidak," Nami berbisik pada diri sendiri. "Demi keselamatan Dupa dan para Nistalit menuju Gangika, aku telah membuat pilihan."
Pangeran kesatu menyeringai. Gayi mengamati sejenak, lalu menghilang di kegelapan. Wujud Vasuki A-Pasyu maju terlebih dahulu, serupa Nistalit dengan lengan-lengan bercakar. Serentak menyerang Nami yang hanya berdiri sendirian.
Heaaaaaa.
Grrrrrrhhhheeeeaaa.
Kapak dan pisau berkelebatan. Bertahan terhadap serangan, berbalik menyerang lawan. Tubuh Nami lebih lincah, ringan dan bertenaga; usai ia banyak meminum air embun Wanawa. Satu putaran pertarungan berlalu sebagai pemanasan .
Wujud Pasyu menyeruak, tubuh bersisik melata dengan taring-taring siap mencabik. Nami menatap awas ke arah makhluk melata yang serentak menyerangnya.
Clap. Tarik.
Clap. Tarik.
Clap. Tarik.
Kapak di tangan Nami bagai bernyawa, menebas Vasuki yang bertaring dan bercakar. Putaran kedua, bagaimanapun, Nami mulai kelelahan.
Napas memburu.
Keringat mengucur deras.
Luka-luka menggores.
Taring dan cakar membuat jejak bersilangan di sekujur tubuh Nami.
Sesekali langkah terhuyung, pijakan meleset.
"Jangan bunuh dia!" sentak pangeran kesatu. "Buat dia kepayahan dan berikutnya, urusanku!"
"Kau ingin bernasib sama seperti adik-adikmu?" Nami mengejek, memancing kelemahan lawan.
"Keparat! Kau memang harus mati di tanganku, Nistalit!"
Begitu pangeran kesatu maju, seluruh prajurit membelah, memberikan jalan. Pertarungan satu lawan satu yang sangat tak imbang, berlangsung. Nami kepayahan, walau tetap mencoba bertahan sebaik-baiknya.
Pertarungan ini sama beratnya dengan pertarungan bertama mereka, ketika Suta dan Dupa masih bersamanya. Bedanya, dulu banyak Nistalit ikut baku hantam walau banyak pula yang tumbang.
Demi mengulur waktu, Nami melompat pada pijakan bebatuan di dinding-dinding gua.
"Mau ke mana, heh?? Melarikan diri? Berpikir menyelinap lewat celah gua?" pangeran kesatu terbahak. "Atau kau akan menceburkan diri ke pusaran bawah sana? Bagaimanapun, pilihan hanya dua : mati cepat atau mati lambat!"
Nami tak mau diam. Walau terengah, tak ada salahnya membual.
"Di alam ini," Nami berkata keras, "semakin lantang suara guntur, semakin lama hujan datang. Semakin pongah berbicara, semakin cepat ia binasa!"
Mata pangeran kesatu menghitam. Beringas. Buas. Dengan teriakan keras, diayunkannya lengan bercakar kuat-kuat ke arah Nami. Pertahanan kapak dan pisau, tak cukup mampu menahan amukan kekuatan. Serangan lawan meluncur deras meleburkan pertahanan Nami yang semakin hilang keseimbangan.
Punggung dan kaki gadis itu, terkena sasaran. Satu tendangan, menghantam tubuhnya ke dinding.
Berkunang-kunang.
Gelap pekat.
Samar tawa dan sumpah berhamburan.
Prajurit Vasuki menghujani Nami dengan pukulan. Tamparan. Tendangan. Cemoohan. Kapak dan pisau di tangan Nami terpental, entah ke mana.
Seluruh tubuh Nami mati rasa. Sakit dan nyeri menjajah setiap pori-pori. Begitu menyiksa, hingga ketika pukulan baru hadir, seperti menggenapkan luka sebelumnya.
Heaaaaaaaghhh.
"Tahan, Pangeran! Ingat pesan Ratu Gayi!"
"Apa??"
"Jangan bunuh sekarang! Bawa ia ke istana ratu!"
Pangeran kesatu melepas sumpah serapah. Memberikan pukulan telak ke arah Nami hingga gadis itu tak sanggup bangkit, walau merangkak.
Terdengar langkah kaki pergi yang berat. Tersisa para prajurit Vasuki yang mendapat tugas lanjutan, memanggul tubuh penuh luka Nami menuju istana ratu.
O, kematian, cepatlah datang, bisik Nami. Dapat dirasakan dan diciumnya aroma darah di tubuhnya.
Samar angin berdesir.
Memusar.
Dedaunan terselip bersamanya. Daun-daun hijau yang tampak seperti helai terserak tertiup angin, melaju kencang bagai anak panah merajam prajurit Vasuki.
Tubuh Nami melengkung aneh.
Seluruh prajurit Vasuki berteriak, menimbulkan gema, sebelum bertumbangan mati.
❄💫❄
"Buat mantra dinding pelindung!"
Hulubalang Janur, mengerahkan kemampuannya membangun dinding yang tersusun dari akar-akar, ranting, dahan-dahan dan sulur-sulur tanaman. Bagai tanaman raksasa menjalar di tepi Girimba yang berbatasan dengan gua tirai air terjun. Tak mudah menembus dinding itu, apalagi mantra Janur melapisinya.
Di seberang prajurit Vasuki dan pangeran kesatu mengejar. Mustahil mereka menembus dinding mantra Wanawa. Sumpah serapah dan teriakan Vasuki penuh kemarahan membahana, memenuhi udara Girimba.
Aaaarrrgh.
"Panglima!"
Milind bertopang pada pedangnya.
"Lakukan tugasmu, Janur. Aku tak mengapa!"
Janur mengernyitkan dahi, tak mengerti saat melihat Milind tampak kesakitan. Sang hulubalang pun harus membagi perhatiannya dengan Nami.
Tubuh Nami, yang dipenuhi luka, dipanggul pusaran angin. Cepat tabib dan Hulubalang Janur memberikan tetes embun Wanawa yang dioleskan di bibir dan sekujur tubuh penuh luka Nami.
Gadis itu mengerang sejenak.
Meronta.
Memukul tabib dan prajurit Wanawa di sekelilingnya. Merampas pedang seorang prajurit dan mengancam.
"Hei!" Janur menggugahnya. "Kami yang menyelamatkanmu!"
Nami terengah.
Obat dan mantra Wanawa sedang bekerja menyembuhkan dirinya. Kepalanya kehilangan ingatan. Matanya kehilangan kemampuan. Keringat bercucuran, napas turun naik.
"Kami bukan Vasuki, Nistalit!" bentak Janur.
Nami menarik napas panjang.
Mencoba menenangkan diri. Samar dilihatnya sosok-sosok melingkar di sekelilingnya bukan ancaman.
Tarik napas.
Tenangkan diri.
Pusatkan perhatian.
Nami melepaskan pedang rampasannya.
Gadis itu berdiri terhuyung, kakinya gemetar. Ia melorot jatuh, duduk bersimpuh. Kepalanya dipenuhi tanda tanya, atas kematian yang masih lolos dari helaan napasnya.
Ugh!
Janur mengalihkan perhatian dari Nami.
"Panglima Milind?!"
❄💫❄