Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 102 - Perebutan Perak (5)

Chapter 102 - Perebutan Perak (5)

Rendra melepaskan jas.

Menggulung lengan dan bersiap menerima tantangan dua pemuda di depannya. Bagaimanapun, ia pernah berlatih bela diri hingga ban coklat. Ditambah kesukaannya menghabiskan waktu di gym, tubuhnya cukup liat menerima gempuran. Menghadapi dua pengacau seperti ini tak akan kesulitan.

Beberapa pekerja terlihat ingin bergabung melindungi bos mereka.

Najma dan Silva tiba di tempat kejadian, mulai dapat meraba keadaan.

Dua pemuda langsing dengan rambut pirang dan coklat, terlihat menguasai situasi. Mereka akan menghajar tanpa ampun otang yang mendekat. Beberapa tubuh telah tersungkur tak bergerak di sekeliling.

Heaaah.

Bukkk.

Plakkk. Plakkk.

Bukkk.

Pertarungan dua pemuda asing dengan orang yang menyerangnya, terlihat tak seimbang. Namun dua orang itu berhasil memukul setiap penyerang dengan mudah.

Rendra maju.

Si pirang melepaskan pukulan kanan, ditahan tangan kiri. Pukulan kiri, dihadang lagi. Kaki berusaha menendang. Kuda-kuda Rendra cukup kuat menahan. Beberapa kali dengan balutan jas di lengan atau menggunakan sabetan jasnya, wajah 'Wong Londho' terkena sasaran. Rendra sempat menunjukkan kemampuan dan kekuatan yang cukup membuat kerepotan lawan. Si pirang dan rambut coklat itu beberapa kali terlihat mengerutkan kening dan mengaduh pelan.

Tapi mereka memang bukan orang biasa.

Sekali dua kali Rendra mampu bertahan, selebihnya tubuhnya menjadi sasaran empuk. Si pirang memberikan tinju beruntut. Si rambut coklat memberikan pukulan pisau yang mengarah ke beberapa bagian tubuh vital.

Ia terjungkal. Bergulung, berguling, membentur permukaan tanah hingga terpaksa menelan remahan debu. Wajahnya memar, darah menetes dari ujung bibir dan hidung.

Najma memburunya.

"Pak Rendraaaa!"

Silva menatap itu semua.

Nyalinya ciut. Di Dahayu, ada Salaka dan Candina yang membantunya. Di sini?

Najma menghalangi dua pemuda itu untuk menghabisi Rendra. Hanya dengan satu tamparan dan tendangan, gadis itu ikut tersungkur kehilangan kesadaran sesaat.

Mereka, Vlad dan Cristoph, mengalihkan pandangan ke Silva.

Keduanya menelisik Silva

"Tak perlu turut campur, Nona!" Teriak Vlad. "Kami tak berniat jahat!"

"Tapi kalau kau main-main, kamipun tak akan segan melumpuhkan!" Seru Cristoph.

Tak berniat jahat? Pikir Silva.

Tapi Vlad dan Cristoph menghunuskan pedang.

Silva mundur beberapa langkah. Najma tersungkur. Rendra tampak ingin bangkit, dengan kesakitan dan perjuangan. Silva ingin menolong keduanya, tapi bagaimana bisa? Ia bahkan sekarang harus berani mempertahankan nyawa seorang diri.

Pada akhirnya, ada satu masa ketika tak ada yang sanggup membela kecuali diri sendiri.

Vlad dan Cristoph berjalan mendekati.

Rendra, dengan sisa tenaga, merangkak ke kaki Vlad dan menahan gerakannya agar tak mendekati Silva. Cukup dengan gerakan lutut, Rendra kembali terdorong telak.

Hentikan, Silva ingin berteriak. Hentikan!

Walau Rendra sering menyakiti perasaannya, Silva tak sanggup melihatnya mengalami pukulan dan tendangan seperti itu.

Vlad dan Cristoph mendekat selangkah.

Silva memejamkan mata.

"Candina, apa kau mendengarku? Salaka, apa kau bisa membantuku?"

Silva memusatkan pikiran.

Ia merasa dapat mendengar dan merasakan keberadaan Candina dan Salaka.

Seekor burung elang melayang di angkasa. Terbang tinggi, menembus udara.

"Bertahan!" Sebuah suara berbisik. "Kau harus melawan mereka!"

"Aku tak bisa!" Jerit Silva dalam hati. "Bagaimana bisa??"

"Kalau kau tak melawan, teman-temanmu akan mati! Kau pun akan mati."

Silva menggigil.

Ujung kukunya menancap ke telapak tangan. Kegugupan tingkat tinggi yang hanya bisa dilampiaskan dengan teriakan atau tangisan.

"Cari barang yang terbuat dari perak, Silva!" Teriak suara itu. "Atau lari sejauh-jauhnya!"

🔅🔆🔅

Silva terjaga.

Membalikkan badan. Melompat dan berlari sejauh-jauhnya.

"Heh! Stop! Jangan lari!" Teriak Cristoph.

Silva berlari sekuat mungkin.

Menghindari Vlad dan Cristoph. Meninggalkan Rendra dan Najma -sesuatu yang tak ingin dilakukannya.

Berlari.

Menginjak tubuh orang-orang.

Berlari.

Tersandung batu.

Berlari.

Itu keahliannya, bukan?

Melarikan diri!

Kakinya terperosok. Tergelincir di tepian-tepian lubang menganga yang banyak tersebar di area penggalian. Dinding miring yang sebagian tepiannya tertutupi tanah gundukan, sebagian memiliki permukaan rata hingga tak terlihat jika di dalamnya berongga lumayan lebar.

Silva merasakan kakinya menyentuh permukaan tanpa pijakan. Lalu tetiba meluncur ke bawah.

Berdebum.

Berdebu pula.

Membentur sesuatu.

Semakin panik.

Gelembung ketakutan membesar.

Tuhan, sempurna betul nasibku! Jerit Silva menangis dalam hati. Bahkan sendirian seperti ini pun, ia tak bisa bersuara. Terlalu lama selalu dibungkam oleh hardikan dan kemarahan orang, ia bahkan tak tahu bagaimana caranya berteriak.

Silva mencoba bangun.

Kakinya sakit. Badannya apalagi.

Ia mencari-cari jalan untuk naik ke atas, tapi tentu ini bukan kamar bawah tanah Dahayu yang memiliki tangga.

Telapak tangan Silva memukul pelipis.

Pikir. Pikir. Pikir!

Lihat apa di sekelilingmu.

"Alat berat kuning, seperti bumblebee*," bisik Silva pada diri sendiri.

Walau gemetar hebat, ada sebersit ketenangan mendengar suara sendiri.

"Aku ada di lubang penggalian," Silva melanjutkan perkataan. Suaranya terdengar lirih dan gentar. "Ada Vlad dan Cristoph di atas. Apa yang ada di bawah sini?"

Silva mencoba terseok, berjalan. Setapak demi setapak.

"Ini…apa?" Silva bertanya hal tak penting. Di depannya membujur sebuah alat –atau barang, atau perkakas, atau entah apa – yang tampak terjebak dalam cengkraman bumblebee.

Barang itu terlihat berdebu.

Seukuran bangku panjang yang biasa dilihatnya di taman kota. Tampak guratan atau ukiran halus yang indah di ujung permukaan. Kebas tangan Silva menyentuhnya, tremor berat, gemetar hingga terlihat jari jemarinya seperti lansia.

Permukaan dingin.

Silva menatapnya hampa.

Apa yang ada di depannya? Jelas bukan barang yang bisa diambil, atau diangkat, atau dilempar ke arah Vlad dan Cristoph. Tanpa sadar, pikiran Silva mengarahkan ujung lengannya, ujung cardigan yang digunakan untuk menggosok-gosok permukaan. Kelabu keperakan. Lebih jernih sekarang, sedikit berkilau.

"Appp…?"

Sebuah suara berbisik di telinga, "lari atau bertarung?"

Silva tersentak. Matanya berkeliling.

Di atas, di tepian lubang, wajah Vlad dan Cristoph muncul.

Silva menyentuh benda di depannya, rasa tenang dan tegar muncul bersamaan.

"Kau mau lari?" suara itu masih berbisik di telinga.

Silva menggigit bibir. Zat besi terasa di papilla lidah. Ia memainkan cincin di jari manis kanan. Memutar-mutarnya. Melonggarkannya ke ujung kuku, lalu mendorongnya menuju pangkal jemari.

Tidak, bisik Silva dalam hati. Aku tidak ingin lari sekarang.

"Kau! Keluar! Jauhi benda itu!" teriak Cristoph.

"Hati-hati Cristoph, jangan gegabah!" Vlad mengingatkan. "Gadis dan benda itu berharga!"

Silva menegadahkan wajah, menatap keduanya.

Ia menarik napas panjang.

Jemarinya tangannya membuka, seperti kipas. Meletakkan di permukaan benda panjang dingin . Mengetuk-ngetuknya. Perlahan. Lebih keras. Berirama. Cincin di jari manis Silva menambah kokoh alunan nada.

Seperti angin bersiut.

Seperti suara satu kesatuan terlatih yang merdu dan kuat.

Seperti suara engsel terbuka.

"Sepertinya ini membuat mereka kacau," pikir Silva, melihat wajah pucat Cristoph dan Vlad di atas.

Klik.

Grrrkk.

Benda di depannya bergerak pelan.

Silva meraba-raba sembari tetap menatap ke atas. Jemarinya merasakan suatu benda mencuat ke permukaan. Halus, berkelok, ramping. Ia mengambilnya pelan. Benda itu persis seperti keris yang dimiliki Salaka. Seluruhnya berwarna kelabu, berkilau.

Silva tersenyum.

"Jangan main-main dengan kami, Nona!" bentak Vlad dan Cristoph.

Sekarang, Silva mencoba naik berpijak pada benda tersebut, merangkak ke atas melewati si kuning bumblebee dan ia segera berhadapan dengan si pirang dan si rambut coklat.

🔅🔆🔅

__________________

*Bumblebee : nama mobil kuning dalam film Transformer