Najma tersadar dengan kepala berat.
Tanah berdebu. Tubuh bergelimpangan. Alat berat yang terbengkalai. Matanya kabur oleh rasa pusing dan sakit akibat memar. Dilihatnya tak jauh dari tempatnya, sosok yang dikenalnya.
"Pak Rendra?" Najma merangkak, mengguncang tubuhnya pelan. Sedikit keras kemudian.
Tubuh itu menggeliat, bertopang pada lutut dan siku, mencoba bangun susah payah.
"Pak Rendraโฆ?"
Rendra menggelengkan kepala dengan cepat, menampar mukanya sendiri, mencoba meraih kesadaran dengan cepat.
Mereka berdua terduduk, bersimpuh, bersisian. Mengamati sekitar yang porak poranda. Di depan mereka, Silva berdiri menghadapi Vlad dan Cristoph. Vlad menghunuskan pedang panjang, sementara Cristoph menggenggam dua pedang kembarnya.
"Silvaaa!" teriak Rendra dan Najma bersamaan.
Dalam pandangan mereka berdua, gadis itu akan tumbang segera dengan tubuh dipenuhi luka sebagaimana Ragil berakhir di ruang ICU.
๐ ๐๐
Silva menoleh ke arah Rendra dan Najma, memberi isyarat untuk tetap di tempat.
"Silva!!!" bentak Rendra. "Lari!!!"
Najma melakukan hal yang sama, meneriakkan nama Silva dengan kengerian dan kepanikan.
"Aku nggak papa!" teriak Silva lantang.
"Apa-apaan kamu, Sil?" Najma kehilangan akal sehat, mencoba berlari menghampiri.
Rendra menarik tangannya cepat, menyuruh Najma tetap di tempat. Najma memberontak hingga Rendra membentaknya keras, "jangan nambah masalah! Biar aku yang ke arah Silva!"
Rendra melangkah tegap dan pasti walau masih sedikit terhuyung.
"Jangan coba-coba menyentuhnya!!" bentak Rendra.
Cristoph menyeringai menatap Rendra.
Tanpa senjata, hanya menggunakan jasnya yang telah koyak beberapa bagian, pedang Cristoph cepat melumpuhkan serangan Rendra. Satu sobekan di lengan kiri membuat Rendra berteriak kesakitan dan kehilangan keseimbangan kembali. Tendangan Cristoph membuatnya terlontar beberapa langkah.
Najma memburu Rendra. Airmata dan keringat membasahi kelopak gadis itu ketika mencoba membalut luka Rendra.
"Ponselmu berfungsi, Naj?"
"Akuโฆ," Najma meraba saku-saku bajunya. Entah ke mana ponselnya.
"Ada gak??!"
"Gak ada! Punya Pak Rendra ke mana?"
"Punyaku juga hilang!"
Rendra mencoba bangun ketika lengannya telah terbebat.
Ia berniat menyerang lagi habis-habisan ke arah Vlad dan Cristoph.
"Buat dia jera!" perintah Vlad, yang kehabisan akal menghadapi kenekatan Rendra.
"Tinggalkan dia!" Silva membentak. "Jangan sentuh dua orang itu!"
Vlad dan Cristoph menoleh ke arah Silva.
Rendra tertegun.
Najma apalagi.
Chistoph menoleh ke arah Rendra yang bergerak maju. Ia menyarungkan pedang dan menghajar Rendra kembali hingga lelaki itu betul-betul tersungkur tak mampu bangkit tegak. Najma memburunya dan mencoba memapah Rendra.
"Pak?? Gak usah cari mati!"
Rendra menahan sakit dan amarah sekaligus, menyumpah dan berkata, "jangan biarkan mereka melukai Silva!"
Mata Najma terbelalak. Tak percaya mendengar ucapan Rendra.
"Apa yang kau pikirkan? Kamu selalu kuat kan? Cari batu, kayu, atau apa!" bentak Rendra.
Najma memandang berkeliling. Apa yang bisa digunakannya sebagai senjata?
๐ ๐๐
"Aku tak ingin melukaimu!" Vlad bernegosiasi.
"Ohya?" Silva mengejek. "Jadi kalian mau menolongku?"
"Kalau kau mau bekerja sama!" bentak Cristoph.
"Apa yang kalian inginkan?" Silva bertanya.
Vlad dan Cristoph berpandangan sejenak.
"Kau sudah mampu menguasai perak?" tanya Vlad.
Silva melengak tak mengerti. Kepala miring sedikit, mencoba memahami.
"Kau sudah bisa menggunakan perak di bawah sana?" Cristoph mengulang tak sabar.
Silva memandang senjata dalam genggamannya. Ia sendiri tak memahami bagaimana pisau berkelok itu terhunus di tangannya.
"Aku nggak tahu maksud kalian," Silva angkat bahu.
"Serahkan perak-perakmu pada kami, termasuk senjata di tanganmu," Cristoph berkata lugas.
Jangan biarkan perak lolos dari tanah ini, kata-kata Candina terngiang.
Alis Silva naik. Ia tertawa kecil.
"Menyerahkan senjata ini?!" ucapan Silva meremehkan. Jemari kurus Silva menyentuh pedang berkelok, membelainya, merasakan rasa dingin yang tajam dan bernyawa.
Rendra dan Najma memandang Silva penuh kengerian.
"Jangan biarkan kami pakai kekerasan, Nona!" Vlad mengingatkan.
"Bukan aku yang lari dari ruang bawah tanah Dahayu," bisik Silva. Matanya berkilat.
Cristoph menggertakkan geraham.
"Sialan! Kau betul-betul memancing kemarahan!" teriaknya.
"Kalau kau berani, ayo kita bertarung sekali lagi!" Silva berteriak.
"Silva!!" Rendra dan Najma berseru terkejut.
Apa-apaan ini???
Silva melompat ke area yang lebih lapang, menjauhi lubang.
Jarinya meraba lembut senjata berkelok , denting pelan muncul saat cincinnya beradu permukaan.
Vlad menatap tajam. Cristoph kembali mengeluarkan pedang kembar. Gadis di depannya sama sekali tak punya keahlian bertarung. Tubuhnya kurus dengan kulit kuning pucat yang menunjukkan kelemahannya. Tapi senjata di tangannya, entah mengapa seolah berjodoh sekali dengannya.
Silva menatap kedua lawannya dengan teguh.
Bersikap berani ternyata lebih menantang daripada melarikan diri. Mengapa baru sekarang disadarinya? Mengapa selama ini ia selalu menghindar, membalikkan badan dan menyembunyikan muka; lalu menyakiti diri sendiri?
"Kau akan mati di tanganku!" Cristoph mengancam.
"Aku akan menguburmu di sini, Tuan," Silva balik mengancam, "jauh dari negerimu!"
"Hati-hati, Cristoph!" Vlad memperingatkan.
Penuh kemarahan dan ketergesaan, Cristoph menyerang Silva langsung dengan kedua senjata di lengannya. Sungguh aneh, Silva sangat lentur menghindar, berkelit, melompat. Walau masih mengenakan rok dan seragam sekolah berbalut cardigan, hal itu tak mengurangi kegesitan Silva.
Senjata di Silva seolah bermata.
Ia mengetahui betul arah serangan pedang Cristoph.
Rendra menatap pemandangan di depannya dengan perasaan berdebar yang aneh, bercampur takut dan keheranan. Najma pun tanpa sadar mencengkram kuat lengan lelaki di sampingnya.
Tanpa mereka ketahui, Silva pernah mendapatkan sedikit arahan Salaka
"Mengapa pedangmu aneh, Salaka?" Silva bertanya di ruang bawah tanah Dahayu, saat mereka terjebak di sana.
"Ini sebilah keris, Silva, mereka memiliki beragam kelok. Dari kelok tiga hingga belasan," jelas Salaka.
"Ohya?" Silva tak percaya. "Apa hebatnya keris?"
"Hanya Nusantara yang memiliki senjata seperti ini," Salaka berkata. "Pedang berkelok yang mampu menahan serangan lawan dengan sangat baik! Kau akan tahu kehebatan keris ketika ia sudah membelah udara dan bersinggungan dengan angin!"
Silva mengaguminya.
"Apakah bisa digunakan perempuan?"
"Sangat bisa! Aku akan mengajarimu cara menggunakannya. Bersikaplah hormat pada senjata leluhurmu, Silva!"
Walau saat itu Salaka tengah terluka, ia dapat memberikan sedikit arahan dan wejangan berharga bagi Silva yang di kemudian hari bermanfaat bagi dirinya.
"Jangan takut menggunakannya," Salaka berpesan. "Kau adalah tuan bagi senjatamu! Ia akan menuruti kata hatimu, jika batinmu dipenuhi kesungguhan."
Di sinilah Silva sekarang.
Melayani Cristoph yang kesetanan dengan sikap anggun dan tenang.
Trang.
Trang.
Trrrrriiiinggg.
Percikan kilat cahaya saat logam beradu.
"Jangan terlalu berambisi, Silva," sebuah suara berbisik di telinga. "Jangan terlalu sombong memperlihatkan kemampuan. Kemarahan dan kesombongan adalah sebab utama kekalahan telak!"
Silva mengangguk, menarik napas.
Ia sendiri tak tahu dari mana keahlian bela diri untuk melawan Vlad dan Cristoph. Tahu-tahu tubuhnya terasa liat, lentur dan mahir menggunakan senjata.
Cristoph mulai kehilangan kesabaran dan perhatian.
Ia membabi buta menyerang gadis di depannya dengan kedua belah pedang kembarnya. Melihat musuhnya semakin menggila, Silva mencoba mundur beberapa langkah.
"Jangan lari, heh??? Kali ini aku akan menghabisimu!!!"
Cristoph mengayunkan pedang tanpa arah, bagai mencincang, menuju Silva.
Gadis itu menatap tajam. Kedua jemarinya menggenggam keris kuat-kuat, berkelit menghindar, menangkis serangan dengan kekuatan penuh hingga Cristoph merasakan tubuhnya terpilin hebat dan terbanting. Kedua pedangnya terlepas, terpelanting jauh.
Silva mengangkat kerisnya tinggi. Cincin di jari manisnya berkilat.
Seekor elang melayang di angkasa, tanpa suara.
Vlad terpana menatap gadis di depannya. Apa yang barusan dilihatnya? Sebilah pedang berkelok dan sebuah cincin? Benak Vlad dipenuhi ribuan tanda tanya. Sekali lagi ia menatap Silva dengan hati bertanya yang makin lama makin menguatkan jawaban. Seketika ia menyarungkan pedang, berlutut di hadapan Silva.