Tempat itu tak mewah.
Hanya tenda-tenda sederhana di sisi bendungan yang sedang dibangun. Rasanya, seperti surga yang dapat dibeli dengan perjuangan dan pengorbanan. Makanan tersedia,walau tak melimpah. Umbi dan jagung matang cukup bagi para pelarian.
"Ganti pakaian kalian," prajurit Gangika membawa sejumlah pakaian.
Soma dan seluruh Nistalit Giri bersuka cita. Selama ini, pakaian milik mereka hanya sisa-sisa Akasha. Kulit binatang yang disamak kasar. Seringkali, pakaian mereka berasal dari bekas alas duduk yang sudah tak terpakai.
"Bagus dan halus," perempuan Nistalit yang diselamatkan Nami mendekatkan pakaian ke pipinya. Wajahnya bersinar.
"Mereka baik sekali," gumam Soma.
"Ya," sahut Suta. "Tak sia-sia perjuangan kita melawan kematian dengan datang ke mari."
Anak-anak kecil mengganti pakaian buruk mereka dengan pakaian baru yang terlihat kebesaran. Wajah berseri-seri. Tertawa-tawa.
Nami menatap semua dengan kehampaan.
Di Gangika ini, apakah jatidiri Nistalit Giri resmi terhapus?
❄️💫❄️
Nami mengganti bajunya.
Tak ada lagi pakaian abu-abu kulit binatang. Seluruhnya telah berganti pakaian warna kecoklatan dari kulit pepohonan yang disamak. Rambut-rambut panjang diikat dengan jalinan sabut kelapa. Anyaman jerami kuat menjadi alas kaki.
"Selamat datang, Nistalit Gangika," gumam Nami pada dirinya sendiri. "Selamat tinggal Nistalit Giri."
Gadis itu memandangi pakaiannya yang lusuh, kotor dan sobek di sana sini. Ia tak akan membuangnya. Pakaian yang menghubungkannya dengan masa lalu yang meskipun amat pahit, masih pantas untuk dikenang. Dalam masa lalunya, ada sosok ayah yang rajin membuatkan boneka jerami. Ada sosok ibu yang rajin menyuapinya dengan saripati bunga. Ada sosok abang yang mencintainya, meski menjerumuskannya dalam dunia baru yang konon, lebih baik dari Giriya.
"Jalma," bisik Nami sendu.
Ia tak dapat menyandarkan tubuh abangnya dengan layak di pohon kersen. Tak dapat pula mengamati cahaya matahari membakar, mengubah tubuh Nistalit menjadi debu yang beterbangan.
"Nistalit Giriya! Berkumpul!"
Dum.
Dum.
Dum.
Tabuhan diperdengarkan.
Tubuh masih lelah usai pelarian menegangkan. Ingin rasanya merebahkan tubuh sejenak demi mendapatkan kekuatan kembali. Bagi Nami, suara tabuhan itu seperti panggilan untuk bersegera ke luar tenda dan bekerja.
"Aku Hulubalang Sin," seorang lelaki perkasa, berdiri. Selendang kuning terang tersampir di bahu kiri. Ia bukan bangsawan tinggi, namun pasti lumayan berpengaruh. Warna selendangnya menjadi pembeda.
"Yang Mulia Hulubalang Sin," Nami dan Soma, membungkuk dalam, memberi hormat. Diikuti rombongan Nistalit Giri yang telah hadir.
"Nistalit!" Sin menunjuk ke arah Soma, juga Nami, menggunakan ujung tombak. "Kumpulkan semua orang-orangmu!"
Nami berlari ke arah pemukiman, meminta seluruh kelompoknya yang masih berdiam di tenda untuk segera berbaris. Beberapa masih belum sembuh seutuhnya dari luka cambuk Kuncup Bunga.
"Sudah semua?" Sin bertanya, ketika Nami telah kembali.
Nami memberi hormat, "Sebagian masih terluka dan beristirahat, Yang Mulia."
"Kubilang : kumpulkan 'semua' orang-orangmu, Nistalit!" Sin berkata tajam, penuh penekanan.
Nami berdiri, kebingungan. Ia ingin mentaati Sin, tapi tak dapat memaksa orang-orang terluka.
"Hamba memohon…esok hari, semua akan lengkap berkumpul untuk bekerja," Nami bersimpuh. Gemetar.
"Kupegang kata-katamu!" Sin menegaskan. "Kuingatkan! Kalian ke mari bukan untuk bersenang-senang!"
Nami menelan ludah.
"Bergabunglah dengan Nistalit Gangika untuk bekerja! Lakukan apapun yang kau bisa. Kalian berada di bawah pengawasanku," seru Sin. "Kalian berkata, kalian sudah sangat berpengalaman. Bila, ada yang tak menunjukkan kemampuannya dengan baik, kami tak segan-segan akan mengembalikan kalian ke Giriya!"
Nami dan Soma berpandangan.
Mereka harus menunjukkan kesungguhan agar Hulubalang Sin dan Panglima Kavra berlunak hati, membiarkan mereka tinggal. Sesungguhnya, Nistalit Giri telah terbiasa bekerja keras. Bangunan-bangunan indah Giriya yang tak menggunakan mantra, seluruhnya mernupakan hasil karya Nistalit. Bangunan terakhir yang sedang digarap dan memakan banyak korban, adalah Gerbang Batu.
"Kau bawa alat-alatmu, Soma?" tanya Nami.
"Sebagian jatuh ketika kita diserang di sungai bawah tanah," Soma menggeram.
"Aku akan mengumpulkan alat-alat yang dibawa semua teman-teman kita. Aku tidak tahu, alat apa yang dipakai Gangika," Nami berkata jujur.
Kapak batu.
Pisau tulang.
Pisau tanduk.
Kapak bergerigi.
Sebagian alat yang dapat diselamatkan digunakan Nistalit Giri untuk mulai mengerjakan Bendungan Gangika. Bangunan bendungan menyerupai Gerbang Batu, dengan pintu-pintu air yang dapat dibuka. Pintu-pintu terbuat dari kayu-kayu ulin tahan air yang kokoh dan tak mudah ditembus.
Awal bekerja, Nistalit Giri tak dapat mengerjakan dengan lincah untuk memenuhi harapan hulubalang Sin. Tak banyak yang bisa dilakukan. Hanya beberapa batu dapat dipecahkan. Hanya beberapa lapis bendungan dapat dikerjakan. Sin terlihat sangat kecewa dan melaporkannya pada Kavra.
❄️💫❄️
"Kalian mengecewakan!" Kavra membentak keras. "Beginikah cara kalian membangun Gerbang Batu? Atau kalian ingin bermain-main dengan kami??"
Nami dan Soma bersimpuh ketakutan.
Ya, mereka masih sangat kelelahan. Ya, mereka masih butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Sebagian bahkan masih sakit dan butuh perawatan.
"Kuberi waktu tiga hari untuk memperlihatkan kemampuan kalian!" Kavra memberikan penawaran. Tak dapat dibayangkan bagaimana Ratu Mihika dan Raja Nadisu melihat ini semua.
"Tuanku!" Nami membungkuk, melipat tubuh hingga hampir menjadi dua. "Apakah kami diizinkan untuk menjelaskan?"
Kavra mendengus. Kekesalan dan kemarahannya naik ke ubun-ubun. Bagaimanapun, Gangika membutuhkan banyak tenaga.
"Katakan, Nistalit Perempuan!" bentak Sin.
Nami memberikan isyarat pada Soma untuk membeberkan dan menjajarkan alat-alat mereka. Mereka mungkin akan disebut kurang ajar sebab terlalu banyak berbicara. Tapi, sudah semakin jauh berjalan. Segalanya harus diperjuangkan.
"Inilah alat-alat kami," Nami menjelaskan dengan nada lirih dipenuhi rasa takut dan keraguan. "Dengan alat ini, kami membangun Gerbang Batu."
Karva dan Sin melangkah mendekati dua Nistalit yang bersimpuh. Meneliti barang yang mereka peragakan.
"Bila…bila…kami mendapatkan alat-alat seperti ini lagi," Soma menambahkan perkataan Nami, "Kami…kami akan dapat membangun bendungan lebih cepat."
Kavra dan Sin berpandangan.
"Baik!" Kavra menandaskan. "Kalian bisa membuat alat-alat itu di sini!"
Nami dan Soma mengatupkan dua telapak tangan di depan dada.
"Kami dapat membuatnya menggunakan batu-batu, tulang dan tanduk di Gangika," Nami menjelaskan. "Tapi akan memakan waktu lebih lama, dan belum tentu alat-alatnya sebaik yang Gangika butuhkan."
Kavra memandang Sin. Saling bertukar pikiran lewat bahasa Akasha tersembunyi.
"Apa yang sesungguhnya kau minta, Nistalit?" tanya Sin.
"Jika…jika…kita bisa mengambil alat-alat di Giriya," Nami dilanda kebingungan. "Apakah…memungkinkan menambah Nistalit Giri untuk datang, dan meminta mereka…meminta mereka membawa alat-alat seperti ini?"
Sin membelalakkan mata.
"Kau gila!" desisnya.
Kavra mengangkat tangannya, meminta Sin diam.
"Dan…bagaimana kami melakukannya, Nistalit?" tanya Kavra, memicingkan mata. "Bagaimana cara memanggil, atau mengangkut, Nistalit Giriya sembari mereka membawa alat-alat yang kau sebutkan?"
Nami menarik napas panjang. Benaknya berpikir keras. Berusaha menyusun berbagai potongan kejadian.
"Yang Mulia Panglima Kavra," pelan Nami berkata. "Bagaimana…bagaimanakah cara Tuan menyampaikan pesan kepada Nistalit di gua hingga mereka berkenan datang ke mari lewat sungai bawah tanah?"
Kavra menaikkan alis sedikit.
Menatap Nami tajam.
Sedetik kemudian, Kavra menancapkan tombaknya dengan marah ke tanah.
❄️💫❄️