Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 81 - ●Bendungan Gangika (7)

Chapter 81 - ●Bendungan Gangika (7)

Kavra menyampaikan seluruh cerita. Tanpa menambahi. Tanpa mengurangi.

"Nistalit pintar!" Mihika memuji, setengah mencela.

Karva mengiyakan. Nistalit perempuan itu dapat menebak –walau tak seluruhnya tepat – tentang bagaimana mereka mencoba menyampaikan berita pada Nistalit di gua. Tentang bagaimana mantra di sungai membantu menyelamatkan mereka.

"Apa pendapatmu, Kavra?" tanya Nadisu.

Kavra terdiam sejenak.

"Apa yang disampaikan Nistalit perempuan itu benar," Kavra sependapat dengan Nami. "Kita butuh banyak tenaga. Dan, alat-alat, Paduka."

Nadisu menarik napas panjang.

"Harus kita akui, alat-alat Giriya lebih unggul. Gerbang Batu mereka tampak kokoh dan kuat."

Nadisu tampak berpikir keras. Mihika menatap sang raja khawatir.

"Perintahkan telik sandi*mu untuk mengirimkan pesan kepada Nistalit di gua. Ajak mereka yang mau bergabung dan bawa juga alat-alat mereka," ujar Nadisu, suaranya terdengar berat.

Kavra mengangguk.

"Kau bisa melakukannya, Kavra?" tanya Nadisu.

Kavra membungkukkan badan dalam. Segala kemungkinan harus dipertimbangkan cermat dan dilaksanakan cepat.

❄️💫❄️

Nami membuat beberapa boneka jerami. Satu demi satu anak-anak mendapatkan teman satu boneka jerami.

Suhu dingin menyusup masuk ke tenda-tenda. Walau sesekali terdengar siutan udara, dibarengi pusaran angin yang mencurigakan, baru kali ini para Nistalit Giri dapat tidur dengan tenang. Mustahil Akasha Giriya akan berlaku buruk pada mereka dan membuat marah Akasha Gangika.

Anak-anak Nistalit Giri menangis lirih di malam hari. Mereka mengingat ayah dan ibu yang tewas di sungai bawah tanah. Atau menangisi pekerjaan berat hari ini yang sama sekali tak terpikirkan sebelumnya. Ya, di Giriya mereka adalah budak. Namun, budak di negeri sendiri terasa lebih baik daripada di negeri orang. Meski, Gangika memberikan makanan dan tempat tinggal lumayan layak.

Nami mendekati seorang anak.

"Aku lupa belum berterima kasih padamu," ujar Nami lembut. "Kau yang menyelamatkan aku. Siapa namamu?"

Pemuda kecil itu meringkuk, memeluk lutut. Di sisinya, seorang gadis kecil merengek lirih, bersandar pada tubuhnya.

"Aji," jawabnya, nyaris tak terdengar.

Nami perlu mendekatkan telinga ke pemuda kecil itu dan menanyakan ulang namanya.

"Siapa?"

"Aji," sahutnya lebih keras.

Nami mengangguk, "Aji. Nama yang tangguh. Dan ini…adikmu?"

Gadis kecil di sisi Aji makin merapat.

Nami tersenyum, duduk di hadapan mereka berdua.

"Aku Nami," Nami memperkenalkan diri. "Kamu pasti punya nama, Anak Cantik."

Gadis itu menyembunyikan wajah di balik bahu Aji. Aji memeluk erat adik kecilnya yang terdengar tersedu pelan.

"Namanya Usha…," sahut Aji pelan.

Nami mengangguk dan tersenyum.

"Usha?" Nami mengulang. "Nama yang cantik."

Sembari mengelus rambut gimbal dua anak di depannya, Nami bercerita, bahkan ibu mereka menitipkan kedua kakak beradik itu padanya. Terisak Usha, tersedan Aji.

"Aku baru tahu, bahwa kalian adalah putra putri seorang ibu yang luarbiasa, setelah kubaca surat dari ibu kalian yang ia titipkan padaku," Nami menjelaskan perlahan. "Apakah kalian mau menurutiku?"

Aji menatap Nami dalam-dalam. Ia mengangguk kemudian.

"Kalian harus giat bekerja," ujar Nami, pelan dan tegas. "Kalian harus berjuang. Jangan biarkan Akasha Gangika punya kesempatan memarahi kalian. Mengerti?"

Aji mengangguk lagi.

"Usha," Nami memanggil lembut, "Kau boleh tidur bersamaku kalau mau. Besok, kita bekerja bersama-sama ya, Anak Cantik?"

Usha terdiam. Menggelengkan kepala ketika Nami menggamit lengannya, mengajak tidur bersama. Nami menarik napas lembut, tanda memahami keinginan gadis kecil di depannya.

❄️💫❄️

Nami menuju tendanya sendiri dan membaringkan tubuh. Berjajar di sebelahnya, para Nistalit perempuan yang telah terkapar kelelahan. Satu boneka jerami masih ada di tangan Nami, ia memandangnya dalam-dalam.

Senja tadi, sekelompok Nistalit Gangika selesai bekerja.

Seorang anak menangis di sana, mencari sang ibu. Nami mencoba mendekat, berjongkok di depannya. Anak itu terdiam sebentar, memainkan boneka jerami dengan senang. Sang ibu langsung menggendongnya, menatap marah ke arah Nami dan membanting boneka jerami. Jeritan si anak justru mendapat balasan kemarahan dan cubitan. Sumpah serapah terdengar. Berpuluh pasang mata Nistalit Gangika menatapnya tak senang.

Nami tak melupakan tatapan mata para Nistalit Gangika ke arahnya.

Tatapan merendahkan.

Pandangan penghinaan.

Mata memicing penuh kecurigaan.

Apakah ia dianggap telah merampas hak-hak Nistalit Gangika? Harus diakui, hulubalang Sin dan panglima Kavra sempat terlihat kagum menyaksikan pekerjaan mereka. Hanya saja, karena pekerjaan dilakukan lambat, kedua pembesar Gangika belum puas sepenuhnya.

"Jerami," bisik Nami. "Apakah menurutmu kita salah datang ke mari?"

Beberapa orang berkata 'hhhhssssh'.

"Besok kita harus bekerja lagi, Nami!"

"Tidurlah!"

"Aku lelah sekali…"

Suara-suara Nistalit Giri lambat laun memudar, berganti dengkuran.

Nami mengingat tatapan kebencian dari Nistalit Gangika.

Oh, betapa menyedihkan!

Ternyata, lebih menyedihkan dimusuhi wangsa sendiri!

Ia dapat menerima bila Akasha dan Pasyu tak menyukai Nistalit, sebab wujud dan kemampuan yang berbeda. Tapi Nistalit Gangika? Bukankah mereka sama-sama wangsa ketiga? Sama-sama budak? Mengapa harus bermusuhan dengan kalangan sendiri?

Nami berusaha memejamkan mata. Mengelus dua buah gelang manik di pergelangan tangannya. Merasakan kerinduan yang dalam pada Jalma, abang yang kini tak diketahui di mana keberadaannya. Ia menarik napas panjang; mencoba menghilangkan kepenatan berpikir dan hati yang pepat oleh bertumpuk rasa marah, sedih, tak berdaya, sedikit rasa kecewa dan terkadang titik gelap putus asa.

Kesadaran mulai menguap.

Ia tenggelam hingga ke dasar sungai. Paru-paru dipenuhi air hingga matanya terbelalak oleh cekikan tangan kematian. Sepasang tangan kekar menariknya ke permukaan air. Terlempar ke tengah kegelapan gua dan dedaunan. Berlari menjauhi mulut-mulut berbisa bertaring yang hanya sejengkal berada di belakang punggung. Lalu ia melayang jatuh, tersungkur di rerumputan hijau yang dipenuhi dedaunan basah.

Nami terbangun. Terengah. Dahinya berkeringat.

Dilihatnya Nistalit teronggok bagai tak bernyata, mendengkur halus dalam tidur mereka.

❄️💫❄️

____________________

*telik sandi : mata-mata