Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 82 - Waktu Sisa (1)

Chapter 82 - Waktu Sisa (1)

Mereka keluar dari celah Dahayu.

Seperti usai bermain petak umpet. Anak-anak kelas seni gambar dan seni lukis menatap tak percaya. Untung tak ada guru. Sore ini kelas tambahan yang biasa digunakan siswa untuk berlatih ketika akan menghadapi pameran atau lomba-lomba.

"Berapa lama waktu yang kita punya?" Silva bertanya cemas.

"Hanya dua hari waktu Akasha," jawab Candina.

"Artinya??" Sonna ingin tahu.

"Seharusnya masih tersisa duaratus hari," jawab Salaka. "Kurang lebih tiga bulan.Tapi bisa jadi lebih sedikit dari itu."

Ketika memasuki aula Javadiva untuk menuju asrama putri, Silva dan Sonna dikejutkan oleh suara-suara.

"Itu dia, anaknya!"

"Kamu ke mana aja, Sonnaaa?"

"Ya, ampuuun!!!"

Bhumi tampak pucat pasi. Tubuhnya terlihat kurus tak terusus. Di sisinya, Rasi terlihat kacau. Di belakang mereka, bu Candra menatap putrinya dingin. Berdiri di sisinya, abang sulung Silva yang menatap sang adik seperti ingin melumat.

🔅🔆🔅

Bu Santi dan pak Gatot menenangkan suasana yang heboh. Mereka juga meminta bu Candra untuk tak naik pitam. Di tepi kerumunan, Initta dan Zaya menatap sinis ke arah Silva.

Bhumi memeluk Sonna erat.

"Kamu gakpapa? Kamu ke mana aja? Ya ampun…badanmu bau banget. Kamu lapar gak?" Bhumi terlihat ketakutan dan panik, namun sirat kelegaan nampak di mata.

"Kamu ke mana aja sih, Son! Ngejar Cookies sampai segitunya. Sampai ngilang segala," Rasi terlihat turut lega.

Sonna menyeringai, tak mampu berkata-kata.

"Mama sampai panggil polisi, Silva!" bu Candra meraih kasar tangan anaknya. "Sampai bikin berita kehilangan di medsos!"

Silva berdiri di hadapan bu Candra. Tak tahu harus menjawab apa.

"Kalau kamu mau pindah sekolah lagi, bilang aja!" bentak bu Candra. "Jangan bikin repot semua orang! Bu Santi sampai khawatir kamu diculik dan dianiaya.""

Silva menarik napas panjang.

Benarkah? Benarkah ada yang mengkhawatirkan dirinya?

Geram melihat kebisuan Silva, bu Candra memegang dua bahunya. Menggoncang-goncangkannya.

"Kamu dengar kata Mama, hah? Sampai kapan kamu kayak gini? Bisa nggak kamu lebih dewasa???"

Silva menarik napas panjang. Mengisi udara sepenuh dada. Matanya dipenuhi embun. Di balik punggung bu Candra, ia melihat Sonna dalam pelukan Bhumi. Abang yang mengkhawatirkan adik semata wayangnya. Bhumi tak memarahi Sonna, tapi mengkhawatirkan keselamatannya. Ia bahkan tak mendengar bu Candra menanyakan kondisi dirinya!

Apakah ada yang menanyakan kesehatannya?

Apakah ada yang menanyakan ke mana perginya selama ini?

Apakah ada yang menanyakan ia lapar ataukah tidak?

Silva menepis tangan bu Candra. Berlari menjauhi kerumunan, menuju asrama putri dan kamarnya di ujung. Sempat didengarnya Rendra berteriak memanggil namanya dengan penuh amarah.

Membanting pintu.

Menangis di baliknya.

Memeluk lutut.

Harusnya ia mati saja!

Harusnya ia tak meminum racikan Salaka, yang memberinya air rendaman kuncup bunga yang menyebabkan tubuhnya dapat bertahan tanpa makanan dan minuman di ruang bawah tanah Dahayu. Bermenit-menit yang panjang hanya air mata, pikiran buruk, dan pertarungan dalam diri sendiri.

"Silva!" Sonna menggedor pintu. "Buka, Silva!"

Tak ada jawaban.

"Silva!"

Silva menangis dalam diam. Ia bahkan terbiasa menelan airmata, menahan sedu sedannya sendiri. Tak ada orang di rumah yang senang mendengar keluhannya. Kuku-kuku menancap di jemari, berpindah ke telapak tangan. Menggores lengan sendiri agar kepedihan hati berpindah ke tempat lain. Keringat dingin mengucur.

Gadis itu memainkan cincin di jari manis kanan, memindahkan ke jari manis kiri. Ibu jari, telunjuk, jari tengah, kelingking; semua mencoba lingkaran cincinnya. Napas panjang penuh degup menghentikan gerakannya.

Kuat, Silva! Batinnya pada diri sendiri. Kuatlah! Bertahanlah. Yang kamu butuhkan hanya terus bertahan dari waktu ke waktu, termasuk hari ini. Saat ini.

"Silva," Sonna berkata lembut. "Abangku beli onigiri buat kita. Yuk, kita makan bareng."

Silva mengusap mata.

Didengarnya suara ribut dari lambungnya.

Ya, rasanya lapar juga. Walau air kuncup bunga membuat tubuhnya mampu bertahan, ia manusia biasa yang butuh asupan. Gontai Silva membuka kunci pintu, melihat Sonna di depan, menenteng satu tas plastik penuh makanan dan minuman. Tangannya juga memegang minuman.

"Kata masku, kita harus minum teh hangat dulu, biar perutnya gak kaget," Sonna mengulurkan minuman hangat. "Nih, kita juga dibelikan dia sekeranjang makanan. Hahaha, dipikir jatah makan kita sehari dikalikan jumlah hari kita menghilang, ya."

Silva menarik bibir ke atas sedikit.

Sonna menghempaskan tubuhnya ke lantai. Membongkar makanan. Memberikan onigiri kepada Silva.

"Kayaknya semua makanan di kantin diborong mas Bhumi," seru Sonna. "Brownies, hotdog, onigiri, lumpia, risoles. Belum lagi keripik singkong sama keripik bawang. Kita makan bareng, yuk!"

Silva membuka bungkus onigiri.

"Haha..padahal biasanya, masku tuh ngomel kalau aku boros beli jajan. Dia irit banget orangnya. Udah gitu katanya, nanti aku gembul," celetuk Sonna, berusaha membuat situasi ceria.

Silva menggigit onigiri.

Sebutir air menetes dari ujung mata. Diikuti tetesan-tetesan yang lain.

Sonna serba salah melihatnya. Ia mengulurkan tissue yang sekejap menjadi basah oleh tumpahan air mata.

"Son…kamu…kamu untung banget," sedu Silva. "Untung banget…punya abang…punya abang kayak Bhumi."

Sonna terdiam. Tersenyum kemudian.

"Ya, yaaaa, aku memang beruntung," Sonna mengiyakan. Berusaha menanggapi dengan positif kata-kata Silva.

Tak ada yang tahu bagaimana sepi dan beratnya menjadi anak yatim piatu. Setiap hari dihantui ketakutan : apakah Bhumi atau Sonna yang akan pergi lebih dulu? Apakah mereka akan terus bersama-sama, atau ada yang harus menjadi sebatangkara? Bila jadwal pengambilan raport, semua anak bergembira. Kecuali anak-anak tanpa orangtua seperti Bhumi dan Sonna. Bila, mereka masih dapat bersekolah di tempat bergengsi seperti ini; semua karena kebaikan beberapa pihak. Kerjasama lembaga zakat, CSR perusahaan dan Javadiva untuk menerima siswa berbakat setiap angkatan. Itupun tak banyak, sebab ada kuota tertentu.

Sonna memikirkan dirinya sendiri.

Juga Bhumi yang berada di kelas atas.

Semua bantuan hanya sampai tingkat SMA. Mereka harus kembali berburu beasiswa jika ingin lanjut kuliah atau bila tak memungkinkan, harus bekerja.

Seharusnya, anak seperti Silva dengan limpahan kekayaan jauh lebih berbahagia. Benar begitu, bukan?

🔅🔆🔅

Tak banyak waktu untuk merasa penuh derita dalam kubangan sindiran, omelan dan kemarahan orang-orang. Mereka punya target besar untuk dilakukan. Salaka mengatur pertemuan bahwa mereka akan bertemu setiap malam di ruang Dahayu. Atau di manapun yang dapat dijadikan tempat merencanakan sesuatu.

Ada pekerjaan besar yang merupakan langkah pertama untuk dilakukan.