Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 83 - Waktu Sisa (2)

Chapter 83 - Waktu Sisa (2)

Apakah kalian tahu, sebetulnya logam perak digunakan untuk apa saja?

Kalau kalian tidak tahu, berarti kalian sama polosnya seperti Sonna. Atau mungkin, kalian kurang memelajarinya. Sekarang, bukalah gawai dan telusuri!

🔅🔆🔅

"Sebenernya, perak itu buat apaan sih?" tanya Sonna malu-malu. Ingin bertanya banyak tapi takut dianggap bodoh.

Pertanyaan sederhana yang membuat orang disekitarnya jengkel. Memangnya selama ini, tak pernah melihat perak? Mereka berempat berkumpul di bawah pohon kapuk randu, tempat Silva bertemu Cookies pertama kali. Kucing itu tak ada kini. Diam-diam, kehadiran kucing kembang telon dengan sepasang mata berbeda warna itu sangat dinantikan.

"Setauku buat perhiasan," sahut Silva. "Bener kan, Candina?"

"Betul. Perak digunakan sebagai perhiasan selain emas," jawab Candina.

"Banyak kegunaan perak selain sebagai perhiasan," Salaka menambahkan. "Perak digunakan sebagai senjata, juga alat tukar seperti uang."

"Ohya," Sonna mengangguk. "Aku masih nyimpen koin perak punya nenekku almarhum."

"Perak sangat penting bagi semua kehidupan," Candina menambahkan. "Perak digunakan untuk alat-alat rumah tangga. Dulu, peralatan makan para bangsawan menggunakan perak."

"Bukan emas?" Silva bertanya.

"Emas juga bisa. Tapi perak bisa melawan bakteri," sahut Salaka. "Perak juga menjernihkan air dan menjadi obat. Bahkan dalam beberapa sejarah, perak melawan wabah mematikan."

Wow!

Silva dan Sonna berteriak bersamaan. Pantas pangeran-pangeran Eropa itu jauh-jauh datang ke Javadiva untuk merebut persediaan perak di tanah Jawa.

"Ingat waktu kita ke apartemen Casablanca, Silva?" tanya Candina.

Silva enggan mengingatnya, tapi ia mengangguk.

"Ingat waktu kita di rumah mbak Najma?" Candina bertanya lagi.

Silva mengangguk, lebih bersemangat.

"Kamu memiliki bayangan di cermin mbak Najma. Tapi kamu –juga mama kamu –tak punya bayangan itu di cermin apartemen mamamu."

Silva melongo. Sonna membuka mulut.

Jadi…Silva dan mamanya adalah…hantu? Makhluk halus? Sebangsa peri? Atau jin?

Salaka dan Candina tertawa melihat wajah dua gadis di hadapan mereka yang pucat pasi.

"Jangan salah sangka, Silva," Candina berusaha menjelaskan. "Kalau kamu hantu, pantulan dirimu tak akan terlihat di cermin mbak Najma."

"Salah satu fungsi perak yang sangat penting adalah : cermin. Cermin ini bukan saja untuk memantulkan bayangan. Cermin jernih juga penangkal nasib buruk. Itulah sebabnya, ceruk Mandhakarma dan Ru-Amandip merampas perak-perak dari negeri Akasha dan Pasyu," Salaka menambahkan, suaranya mengandung kegelisahan. "Cermin yang memiliki serbuk perak akan memantulkan diri seseorang begitu sempurna. Siapapun, mendapatkan kekuatan lewat cermin perak tersebut."

Silva menatap Salaka, penuh rasa ingin tahu.

"Berarti…kisah-kisah mitos dan legenda yang sering kutonton di film-film itu ada benarnya?" tanya Silva.

"Kisah yang mana, Sil?" tanya Sonna.

"Macam-macam, sih. Kisah Snow White dan si penyihir yang liat ke dalam cermin dan nanya : siapakah perempuan yang paling cantik? Atau kisah Galadriel yang melihat ramalan dalam cermin air di film Lord of the Ring. Intinya, cermin dipakai buat ngeliat bayangan diri. Sekaligus buat ramalan."

"Oh…yang itu," Sonna mengiyakan.

Salaka berkisah singkat.

Dalam masa purba, dunia dalam ancaman dahsyat ketika logam-logam mulia termasuk perak dirampas dari berbagai sudut bumi. Para wangsa berperang untuk memperebutkannya. Kematian dan peperangan kelam menjadi bagian tak terelakkan dari sejarah. Satu titik terang terjadi ketika Bongkahan Berlian Surga terlempar dari langit, masuk ke bumi. Harapan para wangsa menyala kembali. Harapan yang juga menyulut perselisihan dan permusuhan tak berkesudahan.

"Ru-Amandip itu…seperti apa wujudnya?" Silva ingin tahu.

Salaka dan Candina berpandangan. Mereka menggeleng-gelengkan kepala.

"Kami juga belum pernah melihatnya," ujar Candina pelan.

Silva membelalakkan mata. Lalu tertawa pelan. Untuk pertama kalinya Sonna mendengar suara lepas Silva.

"Candina," Silva berujar tak percaya. "Hidupku kacau. Aku punya kecemasan yang parah. Tapi aku gak punya ketakutan…ya, yang agak-agak gak masuk akal kayak gitu. Belum pernah ketemu, tapi udah takut setengah mati? Itu agak kelewatan sih, menurutku."

Candina dan Sonna berpandangan, saling melempar senyum. Senang mendengar Silva berbicara dengan kalimat panjang.

"Kalian apaan, sih," Silva menggerutu.

"Kami percaya, leluhur kami bukan pembohong," Salaka menjelaskan. "Aku belum pernah bertemu Ru-Amandip. Dan kuharap, juga tak akan pernah bertemu dengannya. Tapi aku pernah melihat ceruk Mandhakarma."

"Ohya?" Sonna dan Silva tertarik. "Seperti apa bentuknya?"

Salaka menolak berbicara lebih lanjut. Wajahnya terlihat dipenuhi rahasia dan kesedihan sekaligus.

"Ada hal penting yang harus kita lakukan segera. Ingat! Kita Cuma punya waktu dua hari Akasha," Salaka mengingatkan. "Candina? Kamu sudah siapkan rencana?"

Candina mengangguk.

"Silva, aku akan ajari kamu beberapa bahasa kuno. Apa kamu bisa belajar dengan cepat?" tanya Candina.

Bahasa kuno.

Bahasa tua.

Bahasa punah.

Sebuah lampu berpijar di kepala.

"Candina," Silva menyela, "tetiba aku ingat sesuatu."

"Apaan, Sil?" tanya Sonna ingin tahu.

"Apa, Silva?" Candina juga ingin tahu.

" Apa kita minta tolong mbak Najma?" tanya Silva, mengajukan usul.

Alis Candina naik.

"Kita harus ke sana! Ke rumahnya!" Silva mendesak. "Ayolah! Katamu, rumah mbak Najma banyak serbuk perak yang berarti bagus bagi kita."

Candina menatap Salaka.

"Salaka tak bisa keluar lebih jauh dari Javadiva lebih dari jarak sekitar tiga kilometer, Silva," jelas Candina.

Silva dan Sonna terbengong mendengar fakta. Tiga kilo?

Salaka tak akan bisa main ke mall atau jalan-jalan ke tempat instragrammable!

"Hanya aku yang bisa mengantarkanmu," Candina menambahkan.

"Aku bisa sendiri," sahut Silva mantap.

"Tidak! Ini harus kita kerjakan bersama-sama. Silva, aku bisa mengajarimu!" Candina bersikukuh.

"Aku tau! Aku tau!" Silva mengiyakan. "Hanya saja, aku yakin kita butuh orang yang sangat ahli. Kupikir, mbak Najma jauh lebih tepat. Entah kenapa aku punya firasat, ia akan terlibat dalam perkara ini. Soon or later."

Salaka menatap tajam ke arah Silva.

Candina diliputi keraguan.

Sonna sebaliknya, berdiri yakin di sisi Silva.

"Aku sepakat dengan Silva," kata Sonna. "Walau temanku ini agak-agak payah, di satu sisi aku ngerasa dia cewek yang hebat. Otaknya pintar, sayang dia jarang ngomong."

Silva menatap Sonna sebal.

"Ohya," Sonna melemparkan usulan. "Kalian gak mau nambah pasukan? Misalnya…tambah Rasi sama Bhumi?"

Candina menaikkan alis. Memangnya, ini tim Lima Sekawan? Atau Sapta Siaga? Atau Suicide Squad?

"Eheeek, aku cuma usul, Say," Sonna mengangkat telunjuk dan jari tengah, membentuk huruf V.

Kesepakatan segera dibuat.

Seekor elang melintas tinggi, tebang berputar, lalu hingga di atas dahan tertinggi kapuk randu.

🔅🔆🔅