Raja Nadisu banna Gangika dan sang ratu, Mihika, memandang bendungan yang berjalan lambat. Mereka mengamati dari istana yang berada di hulu sungai Loh Dhamarga. Sungai Loh Dhamarga adalah sungai besar nan deras yang membelah daratan. Diapit oleh hutan-hutan lebat dan bebatuan kuat disepanjang tepiannya, gapura dan benteng Gangika tampak kehijauan dari kejauhan.
Tebing di hulu sungai, dibentuk ceruk-ceruk persegi dengan pahatan patung-patung leluhur Gangika, termasuk raja sebelum Nadisu. Patung-patung itu dalam kondisi berdiri tenang, bersemedi dengan mata tertutup. Mahkota bertahta, bersama jubah kerajaan yang megah. Sebuah selendang panjang tersampir di bahu kanan, ujung-ujungnya terikat di pinggang kiri. Satu tanda kebangsawanan ketika selendang berada di kanan dan bermakna sebaliknya, ketika selendang tersampir di kiri.
Dua Gerbang Lumut yang seakan menjadi pemisah hulu dan hilir, menjadi titik penanda memasuki istana Gangika di bawah perairan. Dari gerbang inilah, Nadisu dan Mihika naik ke tempat tertinggi menggunakan mantra Mihika yang dapat membangun jembatan setapak, berdiri di kelilingi pengawal, mengamati bendungan Gangika di kejauhan.
"Kita harus membantu Nistalit menyelesaikan segera pekerjaannya," gumam Nadisu.
"Bagaimana caranya? Cara bekerja kita berbeda dengan mereka. Mereka bekerja dengan tangan, kita bekerja dengan mantra," cemas suara Mihika.
"Mereka memecah dan memahat batu. Dengan mantra, kita mengangkat batu-batu kita untuk membentuk bendungan," ujar Nadisu.
"Apakah tidak lebih baik bendungan itu dibangun dengan mantra?" tanya Mihika.
"Kau tahu Mihika, mantra kita hanya berguna ketika kita terjaga. Mantra kita, melemah ketika kita tertidur. Batu-batu yang dibangun Nistali titu, bisa melindungi kerajaan lebih kuat."
"Kita butuh Nistalit lebih banyak," ujar Mihika, memandang suaminya, setengah tak yakin.
"Ya, tapi bagaimana caranya?" Nadisu ragu. "Nistalit Gangika telah dikerahkan seluruhnya."
Nadisu memandang bendungan di kejauhan; dinding-dinding yang menjadi pelindung kehidupan sepanjang sungai Loh Dhamarga. Benaknya dipenuhi pikiran, apakah yang sedang dilakukan para raja masing-masing wangsa? Gangika menjalin kerjasama dengan penguasa gunung, Akasha Giriya. Hubungan Gangika dengan wangsa Pasyu tak seluruhnya baik, setelah Gangika lebih banyak menerima serta mengirimkan utusan ke Vasuki dan Paksi. Walau tak jelas-jelas memusuhi Wanawa dan Jaladhi, ada kerenggangan dengan dua kerajaan besar wangsa Akasha tersebut. Tentu, sekutu Wanawa dan Jaladhi dari wangsa Pasyu ikut menjauhi Gangika. Siapa lagi jika bukan Aswa dan Mina.
Sesungguhnya, Gangika tak ingin menjauhi Wanawa dan Jaladhi.
Diam-diam Nadisu berpikir, mengapa ia harus terlibat dalam perseteruan raja-raja yang lain? Tidakkah ia bisa menjadi penengah, atau setidaknya, tak berpihak pada manapun.
Nadisu menghela napas. Ia menyadari, Pasyu Aswa telah menyinggung Gangika karena setiap kali melakukan kunjungan, Gangika menjadi pilihan terakhir. Ratu Mihika, jelas-jelas tersinggung dan merasa direndahkan. Namun, kesalahan Aswa tidak seharusnya dilimpahkan juga pada Wanawa dan Jaladhi, bukan?
Nadisu menoleh ke arah Mihika.
"Kau dengar banyak Nistalit Giri melarikan diri karena kekejaman Giriya?" tanya Nadisu.
"Raja Araga dan Ratu Madhavi tidaklah jahat," Mihika membela sekutunya. "Mereka hanya menjalankan apa yang seharusnya dilakukan. Nistalit selalu membuat masalah, padahal telah diberikan banyak keringanan. Banyak hadiah. Banyak perlindungan."
"Aku tak menyalahkan Raja Araga," Nadisu sepakat. Entah mengapa, ia tak bisa mengatakan Madhavi sebaik Araga. "Kita tidak sejahat Rakash. Panglima Kavra jauh lebih lunak pada Nistalit Gangika."
Mihika mengiyakan. Merasa senang dan tak senang sekaligus. Hatinya terbelah setiap kali berbicara tentang Nistalit.
"Banyak Nistalit Giri yang ingin kemari," Mihika mengakui. "Di satu sisi, kita mendapatkan tenaga baru. Di sisi lain, kita harus memberik makan mereka."
Nadisu tampak berpikir.
"Aku akan minta Kavra untuk memerintahkan hulubalang-hulubalangnya menjemput pelarian Nistalit Giri," tegasnya.
"Apa?" Mihika membelalakkan mata. "Paduka ingin berseteru dengan Giriya?"
"Tidak juga, Mihika. Kita tidak menculik Nistalit. Mereka sendiri yang ingin datang ke mari."
"Bagaimana jika panglima Rakash marah? Bagaimana jika raja Araga murka?" tegur Mihika.
Nadisu tampak muram. Dalam benaknya, bayangan Araga yang tak terlalu peduli dengan urusan pemerintahan Akasha menganggu benaknya. Kegemaran Araga hanyalah berburu dan berburu, mencari permata-permata, berkelana sesuka hati. Seringkali utusan Gangika lebih banyak bertemu Ratu Madhavi dibanding sang raja. Padahal, Madhavi bukan orang yang cakap mengelola urusan-urusan kerajaan.
"Kita lihat saja nanti, bagaimana perkembangannya," Nadisu memutuskan.
❄️💫❄️
Pertemuan dengan panglima Kavra berlangsung singkat.
Tugas dari raja harus dilaksanakan cepat. Pendapat Kavra, sedikit mengganggu Nadisu.
"Paduka Yang Mulia Nadisu," Kavra ragu menyampaikan pendapat pada awalnya.
"Katakan! Barangkali ada yang luput dari perhatianku, Kavra."
"Antara kerajaan Gangika dan kerajaan Giriya, terbentang hutan Girimba," Kavra menyuarakan kecemasannya. "Giriwana adalah tempat para sang raja dan keluarganya berada. Girimba, tempat pelatihan dan tempat tinggal para prajurit serta hulubalang Wanawa."
"Apa yang kau cemaskan?" Nadisu mengerutkan kening. "Raja Wanawa dan kerajaannya berada di hutan Giriwana."
"Hamba mencemaskan Raja Wanawa memboyong keluarganya dan orang-orang terpentingnya ke Girimba," cetus Kavra.
Nadisu tertawa.
"Berarti, Raja Wanawa diapit Gangika dan Giriya yang menjadi seterunya?" tebak Nadisu.
Kavra mengangguk.
"Kau takut pada seorang Raja, yang dihimpit oleh dua kerajaan yang memusuhinya?" lanjut Nadisu.
"Jika Raja Wanawa sekarang bertahta di Girimba, keuntungan besar bagi beliau, Paduka. Bukan kerugian."
"Keuntungan?" Nadisu terlihat tak setuju.
"Betul, Paduka."
"Keuntungan macam apa?" Nadisu tampak gusar sekaligus penasaran. Panglimanya dapat melihat lebih jauh ke depan!
"Girimba diapit oleh Gangika dan Giriya, betul, Paduka," Kavra menyetujuinya. "Itu berarti, Wanawa dilindungi oleh Gerbang Batu dan Bendungan Gangika sekaligus."
Nadisu berdiri dari singgasananya.
Berjalan mondar mandir. Hanya sedikit pejabat kerajaan yang mendengar rencana penjemputan orang-orang Nistalit Giri. Rencana yang sedikit licik dan menguntungkan salah satu pihak. Beberapa saat lamanya, Nadisu mengusap wajah dengan tangan, tanda menemui kebuntuan berpikir.
"Kavra!" perintahnya.
"Ya, Paduka."
"Aku tak melihat ancaman pada rencanaku. Betul, Wanawa akan mengambil keuntungan. Untuk sementara waktu, camkan itu," tegas Nadisu. "Kalau Wanawa punya kepentingan untuk mendapat perlindungan dari arah Gangika, mereka pasti menyetujui pembangungan Bendungan Gangika dipercepat."
Kavra menatap raja Gangika.
"Nistalit Giri, mereka lebih banyak lewat sungai atau hutan ketika menuju Gangika?" tanya Nadisu.
"Saya rasa, mereka melalui jalan darat, Paduka."
"Perintahkan hulubalang-hulubalangmu untuk melindungi dan menjemput mereka. Jika diperlukan tunggangan angin, lakukan. Kita harus memikirkan rakyat Gangika lebih dulu."
Kavra menarik napas panjang, sebelum mengiyakan. Sang panglima juga menyampaikan pada sang raja, bahwa ia memiliki beberapa rencana terkait pembangunan bendungan dan penjemputan Nistalit.
Waktu yang tersedia semakin menipis.
Mereka harus bersegera.
❄️💫❄️