Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 76 - ●Bendungan Gangika (2)

Chapter 76 - ●Bendungan Gangika (2)

Jalma dan beberapa orang, masuk ke dalam gua lebih dalam.

Mengendap-endap, berjalan berjingkat, bersembunyi di balik pilar-pilar kapur tua yang menjulur dari atap-atap gua atau tumbuh dari dasar gua. Walau Jalma kesulitan bergerak dan harus merangkak sesekali lalu mengengsot, ia terlihat gigih. Nami mengikutinya dengan cemas.

"Di sini, kita bisa bicara bebas," kata Jalma.

"Tak ada tempat bebas," Nami sangat ketakutan.

"Kita tak akan lama!" Jalma menatap beberapa orang. "Kalian sudah dengar kabar desas desus dari Gangika?"

❄️💫❄️

Nami beranjak pergi, enggan mendengar cerita Jalma. Namun Jalma menarik baju adiknya hingga ia jatuh terduduk.

"Gangika mencari banyak Nistalit untuk membangun bendungan. Mereka jauh lebih baik daripada Akasha di sini," bisik Jalma, membeberkan.

"Bagaimana cara kita ke sana, Jalma?" tanya seorang Nistalit, tak percaya, dengan nada putus asa.

"Kalian terus masuk ke dalam," Jalma berbisik pelan, sangat yakin. "Gelap memang, tapi terus saja berjalan. Nanti, kalian akan melewati celah sempit yang hanya bisa dilalui sambil berjongkok atau jalan menunduk. Dari situ kalian akan dengar suara air."

"Air?" potong yang lain.

"Diamlah, dengarkan dulu!" Jalma membentak lirih.

"Aku tak mau mendengarkan ini!" Nami berbisik marah. "Kau bisa celaka. Kita semua bisa celaka!"

Jalma mencengkram kuat lengan Nami agar tak ke mana-mana. Nami pun tak mungkin membuat keributan yang akan memancing para Akasha Giriya ke mari.

"Teruslah bergerak ke arah air. Itu sungai bawah tanah dalam gua ini yang akan mengarah ke Gangika," Jalma meneruskan penjelasan.

Dalam keremangan, orang-orang saling menatap satu sama lain. Mencemaskan pendapat Jalma. Mengkhawatirkan rencana. Ragu-ragu akan harapan di ujung sana.

"Kami tak tahu, apakah benar-benar bisa ke Gangika."

"Benar, Jalma. Setelah dipikir-pikir…"

"Aku terlalu takut untuk mengambil keputusan."

"Aku tak mau ikut!"

"Kau tentu tak ikut, bukan? Kau terluka seperti itu!"

"Apa kau mau mengumpankan kami?"

"Ini hanya omong kosong."

"Jalma! Berhentilah membual! Kau penyebab Ki Dam mati!"

"Kau dapat berita ini dari mana?" tanya seorang Nistalit curiga. "Jangan-jangan hanya bualanmu saja!"

Jalma menggerak-gerakkan tangan, meminta kerumunan itu menurunkan suara dan tak menuduhnya macam-macam.

"Aku ingin kebaikan bagi kalian!" ujar Jalma. "Aku tak mampu melakukannya sendiri! Aku tahu dari sumber yang aku tak bisa katakan."

"Oho, kalau kamu tak ikut, kami pun tak mau!"

"Siapa sumbermu itu? Bisakah dia dipercaya?"

"Aku tak bisa katakan! Andai aku bisa ke luar dari tempat jahannam ini!" desis Jalma.

Nami menutup mulut abangnya, memberikan isyarat kepada orang-orang untuk beranjak pergi.

"Sudah, jangan dengarkan abangku! Segera kembali ke bibir gua dan tidur!" Nami menyuruh orang-orang bubar.

Satu demi satu meninggalkan Jalma yang memohon-mohon agar mereka mempercayainya dan mencoba melakukan arahannya. Nami menatap abangnya sedih dan kecewa.

"Kau ini kenapa, Jalma? Tidak cukupkah keburukan yang menimpamu memberi pelajaran?"

Jalma menarik napas panjang. Merasa apa yang dilakukannya sia-sia belaka. Percuma saja selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia mencoba menyusuri gua. Terkadang tersesat, namun dapat lagi kembali dengan menelusuri jejak yang ditinggalkan. Mencoba mencari jalan ke luar yang memungkinkan dari segala kekejaman dan pemaksaan Akasha Giriya.

Ia ingin melarikan diri dari kehidupan gua. Ingin mengakhiri penindasan Rakash dan semua hulubalangnya. Tapi cambuk Kuncup Bunga keparat telah membuatnya terluka dan nyaris cacat.

"Ayo, aku papah kau untuk kembali beristirahat," Nami berkata lembut.

"Kau pun menginginkannya, bukan?" Jalma berbisik di telinga adiknya.

"Hmh?" Nami mengerutkan kening tak mengerti.

"Kau menginginkannya, Nami," bisik Jalma.

"Apa maksudmu?"

"Aku melihatmu memegang dan menciumi sehelai kain hijau."

Nami merasa pipinya panas dan merah, walau Jalma pasti tak akan dapat melihatnya.

"Aku tahu, kau memimpikan kehidupan yang lebih baik dari kehidupan yang kita miliki sekarang," desah Jalma. "Kehidupan yang tidak dimiliki orang-orang sebelum kita. Kehidupan yang mematikan kedua orang tua kita."

Nami memejamkan mata. Keperihan yang menyiksa selalu datang. Sejak kecil, sejak ia mampu mengingat, ayah dan ibu adalah bagian terbaik dari hidup ini. Ayah sering membuatkan boneka jerami. Ibu diam-diam memetik bunga-bunga yang memiliki ujung mahkota manis untuk dapat disesap sebagai makanan tambahan. Kedua orangtuanya mengumpulkan batu-batuan cantik yang didapat di manapun mereka berjalan. Disimpan bagi Jalma dan Nami sebagai perhiasan. Walau batu itu tak dapat digunakan sebagai permata yang bertahta di atas sebuah cincin atau mahkota, Nami senang memandang warna warni batu tersebut.

Ayah, mendapatkan hukuman cambuk Kuncup Bunga ketika berusaha menghalangi Jalma untuk dipekerjakan secara paksa. Nasib ibu tak jauh berbeda.

"Kau ingat ayah ibu kita?" parau suara Jalma.

Nami mengangguk tanpa suara.

Dalam keremangan, Jalma meremas lembut tangan Nami. Saling berbagi kehangatan.

"Ibu pernah berpesan padaku, Nami, agar menjaga dirimu sebaik-baiknya. Ayah, memberikan pesan terakhir yang akan kuingat selalu."

Nami memejamkan mata. Air mata panas mengaliri pipinya dengan deras. Ia memeluk Jalma kuat-kuat.

"Ayah berkata : jadilah laki-laki, Jalma. Jadilah kuat dan berani," Jalma menggumam. "Itu akan membedakan nasibmu dengan nasib ayah."

Nami terisak.

"Satu-satunya keinginanku adalah," Nami tersedu, "Aku ingin selalu berada di sampingmu. Kita akan saling melindungi satu sama lain. Kita akan saling merawat satu sama lain."

Jalma menepuk-nepuk lengan adiknya sepenuh sayang.

Pikiran Jalma tak pernah berhenti hanya di atap gua. Terkunci cukup di bibir gua. Pasrah semata di ujung nasib cambuk Kuncup Bunga. Pikiran dan semangatnya mengembara melampaui itu semua.

❄️💫❄️