Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 77 - ●Bendungan Gangika (3)

Chapter 77 - ●Bendungan Gangika (3)

Kadang, kain diikatkan di kepala saat pusing teramat sangat.

Kadang, kain diikatkan ke perut saat lapar teramat sangat.

Kadang, kain diikatkan ke telapak bawah bila alas kaki rusak.

Peluh, ludah, airmata campurbaur menjadi satu.

Demi membangun Gerbang Batu yang kuat dan megah, semua Nistalit harus mengerahkan kekuatan. Malam digunakan bergantian untuk istirahat, sebagian bekerja hingga tumbang. Pembangunan tak berhenti hanya karena hujan dan terik. Makan sambil bekerja. Tidur pun, bila memungkinkan, sambil bekerja.

Orang-orang seperti Jalma tetap bekerja. Sembari duduk, memecah batu atau memahat batu. Perempuan-perempuan seperti Nami terpaksa mengikat perut-perut bagian bawah mereka, agar mampu mengangkut beban berat sekuat laki-laki.

❄️💫❄️

"Kau Nami?" bisik seorang perempuan.

Wajahnya tirus, dengan tulang terbalut kulit berkerut. Giginya rusak. Rambutnya setengah gundul. Cambuk Kuncup Bunga sepertinya pernah melukai separuh wajahnya.

"Ya," Nami mengangguk. Mengamati sekeliling.

Berani-beraninya perempuan itu bersuara di tengah siang terik saat sedang bekerja.

"Nistalit betina!" bentak Daga. "Jangan bicara!"

Bisikan lembut di tengah desauan angin pun dapat ditangkap telinga tajam Akasha.

Gerbang Batu semakin tampak menjulang megah. Gapura terluar telah selesai. Dibuat berlapis tiga agar semakin kuat dari hantaman. Gapura tengah dan terdalam sedang dalam proses pengerjaan. Tak ada yang berleha-leha, semuanya berupaya.

Hup.

Hup

Hup.

Satu hulubalang menabuh genderang. Memberi semangat.

Nami tengah memusatkan perhatian penuh pada pahatan batunya. Perempuan-perempuan diberikan tugas memperindah bebatuan yang akan digunakan sebagai pelapis terluar gerbang. Walau tenaga terlihat lemah, perempuan-perempuan Nistalit Giri terkenal akan keahliannya membuat ukiran.

Auuuuwwwwh.

Arrrrgggh.

Sesekali terdengar teriakan kesakitan dari mereka yang ingin lebih lama beristirahat. Cambuk biasa hanya meninggalkan jejak memar dan luka, namun tetap saja sangat menyakitkan. Demi memperingatkan dan bukannya melukai atua menghukum, cambuk-cambuk biasa digunakan oleh para hulubalang.

Aaaauuurggggh.

Teriakan minta ampun.

"Maafkan, Hulubalang! Ampuni saya!" teriak perempuan berwajah separuh.

Melihatnya terjatuh terpelanting, sontak Nami melemparkan alat-alatnya ke tanah. Serta merta menolongnya untuk bangun susah payah. Perempuan itu kesulitan berdiri. Lututnya gemetar hebat. Ia merosot duduk. Tubuhnya tampak sudah tak kuasa menahan beban hidup lebih lama. Bukan saja ia meringis kesakitan untuk berdiri dan bergerak, tangan-tangannya terlihat gemetar saat memegang alat. Gerakannya yang lemah lunglai sepertinya mengundang kemarahan.

"Bangunlah!" bisik Nami. "Kuatkan dirimu, Perempuan Nistalit!" perempuan itu menangis, memegangi tangan Nami.

Daga mendatangi keributan.

Seorang prajurit mencambuk lagi perempuan itu.

"Kenapa dia?!" bentak Daga. "Bangunkan!"

"Dia tak bisa bangun lagi, Hulubalang!"

"Bangunkan saja! Aku sering bertemu Nistalit pemalas yang enggan bekerja! Mereka memang harus dipaksa!" bengis suara Daga.

"Tuanku Hulubalang Yang Mulia," Nami memohon. "Biarkan saya yang mengerjakan pekerjaan perempuan ini."

Daga menyeringai.

"Kau lagi, Betina Nistalit? Kau yang menolong saudara cacatmu itu?" bentaknya. "Sekarang kau ingin menanggung pekerjaan perempuan ini??"

Nami mengangguk. Mengeringkan peluh di dahi dan lehernya yang membanjir. Entah apakah ia dapat menepati janji, tapi melihat perempuan itu terkapar tak tega rasanya. Dari kejauhan, Jalma menatap Nami dengan was-was.

"Biarkan dia istirahat dulu, Tuan," Nami mencoba memapah si perempuan untuk duduk bersandar pada sebongkah batu besar.

Daga bersuara lantang agar pengerjaan tiga lapis benteng Gerbang Batu terus berjalan dan dikerjakan cepat. Ia membentak Nami agar tak terlalu menumpahkan iba pada perempuan di depannya. Walau tak tega meninggalkan perempuan-wajah-separuh itu sendirian di tengah-tengah prajurit dan hulubalang bengis, perlahan Nami beringsut bangkit. Kembali pada pekerjaannya.

❄️💫❄️

Malam di gua, beberapa perempuan mengobati Nistalit-Nistalit terluka dengan dedaunan dan lendir siput. Lenguhan. Tangisan. Rintihan. Terkadang sumpah serapah.

"Penguasa Langit," sebuah suara tersedu pelan. "Mengapa Kau timpakan kepada kami beban seperti ini?"

"O, Yang Maha Perkasa. Cukup kami yang sengsara. Jangan Kau jadikan anak cucu kami sebagai budak selamanya."

"Penguasa Langit, tolonglah kami. Tolong anak-anak kami…"

Suara-suara lirih mengadukan nestapa pada siapapun, yang dapat mendengar dan dapat menolong. Terkadang, bisik-bisik lirih itu terhenti ketika mendengar angin bersiut nyaring. Khawatir, penunggang Akasha mengintip atau mencuri dengar kata-kata Nistalit.

Nami, mengobati para Nistalit hingga ia sendiri pun kelelahan. Peluh membasahi tubuh. Seharian hanya sebatang ubi bakar menjadi pengganjal perut. Ia hampir saja terjatuh karena kelelahan saat mengobati orang terakhir.

"Aku ingin menitipkan anak-anakku padamu," bisik perempuan-separuh-wajah. Suaranya lemah dan parau. Ia menyelipkan sesuatu ke saku baju Nami yang berusaha menolak, tapi tak kuasa.

"Kenapa? Memangnya, kau akan ke mana?" bisik Nami.

Perempuan itu memberikan isyarat agar Nami mendekat. Nafasnya yang berat dan bau bertiup ke arah Nami.

"Aku titip anak-anakku jika kau ke Gangika."

Nami menarik kepala. Tubuhnya pun demikian, hingga ia hampir terjengkang.

❄️💫❄️

Nami terpejam kelelahan.

Tubuhnya bagai tanpa tulang. Ia merasa melayang ringan di atas awan bergulung warna perak, dengan cahaya matahari keemasan, dikelilingi istana hijau yang dipenuhi tetumbuhan penuh bunga. Seseorang membelakanginya, menatap ke arah matahari. Berjubah warna daun, dengan sulaman indah. Rambut panjangnya tergerai lembut, dengan mahkota sederhana di kepala. Wajahnya menoleh ke arah Nami.

"Nami!" seseorang berbisik. "Nami!"

Kepala dan kaki terpancang ke bumi. Tak ingin digerakkan.

"Nami!" seseorang membentak namanya di telinga. "Sekarang!"

Mata berkunang. Kepala berat.

"Sekarang, Nami!"

Ada beberapa orang berdiri mengelilinginya. Menatapnya dengan mata tajam terbelalak. Kesadaran Nami belum sepenuhnya utuh. Jalma memasangkan alas ke kaki Nami. Memberikannya kantong kulit berisi beberapa barang.

"Dia akan membawa kalian ke sungai bawah tanah," desis Jalma. "Ikuti dia. Percayalah pada Nami."

"Jalma? Apa-appp…?" Nami kehilangan suara karena Jalma membekapnya.

Menarik paksa Nami untuk bangun, berdiri walau terhuyung.

Kesadaran Nami belum pulih. Ia mengucek mata, belum mendapatkan penglihatan penuh di keremangan malam yang hanya diterangi cahaya bulan pucat. Nami tanpa sadar menuruti Jalma yang mendorong tubuhnya terus bergerak masuk ke gua. Jalma masih setengah pincang, namun kekuatan tubuhnya sudah mulai kembali.

Beberapa orang cepat mengikuti.

Setengah sadar, walau belum mengerti tujuan perjalanan itu, Nami mengikuti kata Jalma.

Pada sebuah ceruk gua yang dipenuhi tiant-tiang kapur menonjol dari atap dan dasar gua, Jalma menghentikan langkah. Ia menarik tangan Nami untuk berhenti sejenak, lalu berkata sembari memegangi kedua pipi adiknya.

"Nami, pergilah sejauh-jauhnya. Ssst, sssh! Dengarkan aku! Jangan pernah kembali ke Giriya. Takdirmu bukan di sini. Soma, Suta, nyalakan obor begitu melewati pilar kapur ini. Berlari sejauh kalian bisa. Kalian sudah kuberi tahu arahnya. Bantulah Nami dan ia akan membantumu. Semoga beruntung."

Nami mulai sadar arah perjalanan. Ia menepis kasar tangan Jalma. Menolak.

Jalma memegang tangan adiknya, mengelus pergelangan tangan Nami yang dihiasi gelang manik jali-jali. Orangtua mereka membuatkan mereka sepasang gelang dari biji jali-jali yang mengeras. Warna putih kebiruan bagi Nami, warna hitam bagi Jalma. Cepat Jalma memindahkan gelangnya ke tangan Nami.

"Kak Jalma?!"

"Ini gelang keberuntungan dari orangtua kita. Ini akan menyelamatkanmu!"

"Bagaimana denganmu sendiri?!"

"Aku punya nyawa banyak," bisik Jalma teguh. "Kalau kau tertimpa masalah, gelang ini akan membantumu dengan segala cara."

Konyol, teriak Nami. Ia tahu Jalma berbohong, tapi mereka senantiasa hidup dalam bualan setiap hari untuk membangun harapan demi harapan.

Beberapa orang berlari ke arah mereka. Seperti mengikuti. Seperti memburu.

"Sekarang, Nami!" bentak Jalma. "Sekaraaang!"

Tak ada yang dapat dilakukan Nami kecuali bergerak lebih dalam masuk ke dalam gua.

❄️💫❄️