Lari. Lari. Lari!
Terseok.
Tersandung.
Jatuh.
Pergi sejauh mungkin.
Tinggalkan kehidupan lampau.
Sambut kehidupan baru. Walau penderitaan yang sama menantimu.
Setidaknya, kamu sudah mencoba untuk berjuang!
❄️💫❄️
Nami berlari di kegelapan malam. Membentur-bentur dinding gua. Kadang menumbuk sosok di depannya, kadang ia ditubruk dari belakang. Bergerak. Terus bergerak. Meninggalkan bibir gua Giriya yang telah menjadi tempat tinggalnya selama bertahun-tahun. Meninggalkan Jalma.
Air mata Nami membanjir.
Ingatan akan saudara satu-satunya menghancurkan hatinya. Satu-satunya orang yang mencintainya, yang peduli padanya, yang selalu menyelamatkannya telah ia tinggalkan begitu saja.
"Harusnya aku tak melarikan diri seperti ini!" teriak benak Nami. Ia benci dirinya sendiri. "Jalma! Bagaimana aku memaafkan diriku sendiri?"
Tapi kepalang tanggung. Mereka terus bergerak masuk ke dalam gua.
Hingga tiba di ceruk yang dipenuhi pilar-pilar kapur di atap dan dasar gua. Orang yang disebut sebagai Soma dan Suta menyalakan obor. Kedua lelaki itu menggerak-gerakkan tangan, menyuruh rombongan untuk bergerak cepat. Sembari tetap mengunci mulut rapat!
Tiba di sebuah celah sempit, semua bergerak maju sembari berjongkok. Sebagian merangkak.
"Cepat! Cepat!" desis Soma.
Rombongan bergerak maju. Di ujung, ketika keluar dari celah sempit, orang-orang terduduk merapat kelelahan.
"Nami!" Suta berseru. "Mana sungainya?"
Nami kehilangan perhatian. Ia terengah-engah. Kehabisan napas karena berlari, merangkak, berjalan jongkok. Kesedihan dan ketidaksiapan membuat batinnya dipenuhi keraguan.
"Nami!" bentak Soma dan Suta bersamaan. Napas mereka pun terengah. "Kami sudah sejauh ini berlari dari gua! Kau harus tunjukkan tempatnya!!"
Nami terisak. Tersedu pelan. Baru sekarang ia dapat rasakan beban batinnya demikian berat. Ia meninggalkan Jalma untuk mati sendirian. Apa yang akan terjadi bila esok, para hulubalang termasuk Daga, tak menemukan sebagian Nistalit bekerja, termasuk dirinya? Apa yang akan panglima Rakash lakukan pada Jalma, pada perempuan-separuh-wajah? Daga sangat mengenali Nami! Pasti, ia akan mencari Nami terlebih dahulu.
Nami mencoba menenangkan diri. Menarik napas panjang.
Tetiba, Nami berdiri tegak. Melihat berkeliling. Meneliti orang-orang yang berkumpul di mulut celah gua kecil sesudah melewati pilar-pilar kapur.
"Nami!" Suta menyebut namanya untuk kesekian kali. "Kita tak bisa berhenti di sini. Tapi kita harus ke mana?"
"Adakah anak kecil bersama kalian?" tanya Nami, menghapus air mata. Ia berusaha untuk segera akrab dengan kenyataan.
"Anak kecil yang mana?" Soma belum berani menaikkan suara.
"Ada seorang ibu yang menitipkan anak-anaknya padaku," ujar Nami.
"Demi Penguasa Langit!" bentak Suta. "Pikirkanlah kami, Nami!"
Nami membalikkan badan, ingin pergi kembali memasuki celah cempit menuju pilar kapur.
Soma dan Suta menahan dirinya agar tak kembali.
"Nami! Kami tak tahu siapa saja yang ikut! Coba, teliti dulu satu-satu rombongan kita."
Obor menerangi wajah satu demi satu.
Sejumlah laki-laki. Sejumlah perempuan. Sejumlah pemuda. Sejumlah anak-anak. Mereka saling berpegangan tangan dalam ketakutan.
"Apakah mereka anak-anak yang kau maksud?" Soma menunjuk pada beberapa anak.
Nami menggeleng-gelengkan kepala. Ia bahkan tak tahu, mana anak perempuan separuh-wajah. Soma memegang bahu Nami, mengguncang-guncangkannya.
"Bawa kami ke sungai yang menuju Gangika! Jalma berkata, kau tahu tempatnya!"
Nami menatap Soma nanar. Apalagi beban yang harus ditanggungnya sekarang? Ia bahkan belum pernah ke sungai yang disebutkan Jalma.
"Kau tahu tempatnya, bukan?" Suta menatapnya, memohon.
Dalam cahaya obor, Nami melihat puluhan pasang mata menatapnya penuh pengharapan. Seolah-olah ia memiliki mantra panjang-usia. Wajah Jalma muncul, bergantian dengan wajah orang-orang yang akan diselamatkannya.
"Nami!" Soma dan Suta berkata pelan, penuh rasa putus asa. "Kami tak mungkin kembali ke gua. Pasukan Daga pasti sudah tahu…"
"Sssstt!" Nami meletakkan telunjuk di bibir.
Semua terdiam. Waspada. Tak ada suara apapun selain gemerisik api di ujung obor. Desah napas. Detak jantung. Samar, suara gemericik air mengalun lembut.
"Kita ke sana!" Nami memerintahkan.
Segala kepedihan hatinya harus terbayar. Ia harus dapat meluluskan permintaan Jalma, walau terdengar mustahil sekalipun. Siapa tahu, ia dapat bertemu lagi dengan saudaranya.
Semuanya kembali berjalan. Merayap pelan-pelan. Berjingkat.
"Saling berpegangan tangan!" perintah Nami.
Semuanya menurut.
Gemericik dan arus air makin terdengar keras. Rombongan semakin bersemangat menuju sumber suara.
Tetiba Nami berhenti. Ia mengangkat tangan, memerintahkan siapapun untuk tak membuat suara sekecil apapun. Gadis itu menolehkan kepala, menatap Soma. Memerintahkan agar lelaki itu mematikan obor. Mereka berjalan mengendap-endap lagi, menyusuri jalanan gua yang mengarah ke sungai bawah tanah.
Sesuatu berjalan aneh.
Semakin mendekat ke arah suara, semakin yakin bahwa itu adalah sungai yang diceritakan Jalma. Sungai itu tampaknya mengarah menjauhi Giriya, memasuki wilayah Gangika. Jika mereka mencapai sungai itu dan berenang, Akasha Gangika bisa saja menyelamatkan mereka.
Namun, semakin mendekat ke arah sungai, Nami dapat melihat bayangan rombongan lebih jelas. Tetap samar-samar, hanya saja bentuk tubuh keseluruhan semakin tampak di mata. Tak ada cahaya obor menyala. Dari mana asalnya?
"Mereka di bawah sini!" sebuah suara berteriak.
Bukan suara Akasha.
Seperti suara Nistalit teman-teman mereka sendiri.
"Prajurit! Mereka di bawah sini!"
Jauh di atas, samar cahaya bulan menerobos masuk. Sebuah lubang kecil di atas gua menjadi jalan masuk air sekaligus menghubungkan dengan dunia luar. Atap gua ini memiliki lubang!
❄️💫❄️
Cambuk Kuncup Bunga menjulur masuk.
Baru kali ini mereka melihat, cambuk itu dapat bertambah panjang sesuai keinginan. Beberapa berteriak kesakitan.
"Lari, Nistalit!" Nami mendesis, berteriak. "Kuatkan diri kalian! Ceburkan segera ke sungai!"
Satu tumbang. Dua tumbang. Tiga tumbang.
Tubuh seketika mengkerut, daging seolah meleleh, meninggalkan jejak tulang berbalut kulit. Cambuk itu berakibat fatal ketika menyentuh kepala atau punggung. Bila tangan atau kaki, masih memungkinkan bergerak dengan tubuh separuh.
Benak Nami berpikir cepat.
Mereka tak dapat menunggang angin untuk masuk ke dalam gua. Walau dapat menembus jarak dan waktu, prajurit Akasha biasa butuh mantra sakti untuk bisa melakukannya. Rakash dan Daga mungkin mengucapkannya, tapi mustahil para petinggi kerajaan lalu lalang di malam buta. Prajurit-prajurit itu hanya dapat memainkan cambuk Kuncup Bunga tapi tak dapat mengendalikannya.
Nami sekilas melihat cambuk Kuncup Bunga yang seolah memiliki mata.
Gadis itu berlari, menjatuhkan diri. Bangun lagi. Ke kanan. Ke kiri. Cambuk itu mengikuti arahan prajurit di lubang atas gua. Tapi ia tak dapat bergerak sendiri, ketika mangsanya lari dengan pola tak menentu.
Ia mulai melihat tepian sungai. Dari atas, prajurit-prajurit Giriya memainkan cambuk dengan beringas. Nami berdoa dalam hati, ia harus dapat menyelamatkan sebanyak mungkin orang-orang. Didorongnya tubuh-tubuh untuk segera tercelup ke dalam sungai. Orang-orang mulai mengeluarkan teriakan. Saling mendorong.
Air sungai sepertinya menjadi perisai dan penolong para pelarian.
Hampir saja sampai. Nami tersandung kaki Nistalit yang panik.
Ia jatuh, berguling.
Cambuk Kuncup Bunga yang telah menumbangkan banyak orang, mengarah ke dirinya. Cambuk itu menekuk, mengangkat ujungnya, bersiap menyengat kepala Nami!
❄️💫❄️