Sonna memutuskan membuka mata.
Begitu keras ketakutan mencengkram batinnya, hingga ia menggigit bibir kuat-kuat. Aroma besi memenuhi mulut. Rasa berkunang dan selaput kabut membayangi matanya yang baru saja membuka kelopak. Tak ada bayang mengerikan menyergap.
Namun jantungnya seperti masuk lemari es dengan derajat minus.
Beku mendadak.
Hanya Cookies yang berdiri tak jauh darinya. Menatapnya bersungguh-sungguh, seolah sedang berkomunikasi. Yang membuat jantung Sonna menciut sebesar kacang hijau adalah, ukuran Cookies tak seperti kucing biasa yang berada dalam pelukannya beberapa waktu lalu.
Cookies yang sekarang, membesar lebih dari sepuluh kali lipat.
🔅🔆🔅
Dalam satu bilik cukup lapang di ruang bawah tanah Dahayu, tiga sosok saling berdekatan.
"Kita harus bawa dia ke rumah sakit, Candina," Silva terlihat panik.
Candina menggeleng.
"Kamu juga luka begitu," Silva cemas melihat tubuh Candina.
Sekali lagi, Candina menggeleng.
"Kami tidak bisa disembuhkan dengan obat biasa, Silva," bisik Candina lemah.
"Orang-orang tadi…mereka siapa?" tanya Silva.
"Aku juga tidak tahu."
"Kurang ajar. Jahat banget mereka!"
Candina menggeleng, memegangi lukanya.
"Aku tidak berani berkata mereka jahat," Candina berkata lirih. "Dunia sedang memperebutkan perak. Setiap dinasti butuh unsur itu sekarang. Mereka juga melindungi rakyat mereka sendiri."
"Kamu terlalu baik," sungut Silva. Ia kebingungan menatap kedua temannya yang teronggok lemah.
Salaka, terlihat duduk, melipat kaki bersila. Bersemedi. Napasnya tenang, turun dan naik teratur. Terlihat tak ada gurat kesakitan di wajahnya, walau beberapa luka di tubuhnya belum sembuh benar.
Silva mulai berpikir : teman-temannya terbuat dari apa?
Pintu bilik terbuka.
Dua sosok melangkah masuk. Silva terkejut melihat Sonna di sana.
"Sil..Silva?"
"Sonna!"
Mereka berlari mendekat, berpelukan sesaat. Walau rasa ngeri dan takut membayang jelas di wajah Sonna, terlihat selapis kelegaan melihat teman sekamarnya berada di tempat aneh yang sama.
"Kamu ngapain di sini, Sil?" tanya Sonna.
"Panjang ceritanya," Silva menyahut. "Nanti aja, ya. Kalau kita udah balik ke atas. Orang-orang itu masih ada? Heh…ngomong-ngomong, gimana kamu bisa ke sini?"
Sonna menatap Silva tak mengerti.
Balik ke atas? Orang-orang siapa? Cara masuk ke sini?
Sonna pun ingin menanyakan hal yang sama kepada Silva.
"Orang-orang siapa, Sil?" Sonna bertanya.
"Orang-orang Eropa. Yang sedang meninjau Javadiva," bisik Silva marah. "Yang dari Austria dan Rumania itu!"
Sonna memandangnya bingung.
"Yang mana, ya? Banyak tamu datang ke Javadiva. Barusan beberapa hari lalu datang juga kunjungan dari Amerika. Aku nggak tau...apa yang kamu bilang," terang Sonna.
Silva membelalakkan mata.
"Yang Eropa, Son? Yang itu! Yang kakakmu, Bhumi, dan Candina jadi penyambut tamu!"
Sonna mencoba mengingat-ingat. Sepercik kejadian saat Javadiva berguncang, membantunya memikirkan peristiwa secara lebih spesifik.
"Ohya…aku ingat," Sonna mengangguk. "Beberapa minggu lalu, waktu Salaka sama Initta, ya? Trus Candina sama Bhumi jadi pasangan?"
Silva menatap Sonna tak mengerti.
"Beb..beberapa minggu…beberapa minggu lalu?" terbata Silva mengulang.
"Iya. Beberapa minggu lalu. Eh, apa sudah sebulan, ya?" Sonna mencoba mengingat.
"Gak mungkin!" Silva berseru. "Aku jatuh ke bawah, nolongin Candina baru aja!"
Sonna menatap Silva tak mengerti, begitupun Silva diliputi kebingungan.
Dalam keadaan tanpa kejelasan, kucing besar mendekat ke arah Salaka dan Candina. Menjilat luka-luka mereka. Membantu luka itu cepat mengering dan sembuh dengan cepat.
Silva dan Sonna saling memeluk, menatap kejadian di depan mereka tak percaya. Kedua gadis itu mundur beberapa langkah, merapat ke dinding bilik. Semoga kucing besar itu tak balik menjilati mereka!
Salaka dan Candina membaik dengan cepat. Walau belum sepenuhnya mendapatkan kekuatan, keduanya terlihat segar seperti usai siuman dari tidur panjang.
Salaka memandang kucing besar di depannya, takjub dan hormat.
"Tuan…?"
"Aku Nimar, Salaka," kucing besar itu menyahut. "Nimar, putra Galba."
Galba. Galba! Ya, Galba yang perkasa!
Salaka mengenal nama itu! Nama sosok yang dianggap pengkhianat tapi juga pahlawan yang sangat terkenal. Ia membungkuk memberi hormat yang panjang. Kedua tangannya mengatup di depan dada.
"Hamba tahu siapa raja Galba hal Vasuki," Salaka berkata, terlihat girang bercampur lega. "Galba, raja pemberani yang terkenal."
"Terima kasih," Nimar berkata. "Kuharap aku memiliki keberanian ayahku."
Salaka menoleh ke arah Candina.
"Candina, apakah pernah kuceritakan kepadamu, dinasti Vasuki?" tanya Salaka.
Candina mengangguk, "Ya. Dinasti keparat yang membuat dunia seburuk sekarang."
"Jaga mulutmu, Candina!" bentak Salaka. "Dari sekelompok orang-orang jahat, pasti terselip satu pihak yang baik dan ingin memperbaiki keadaan. Raja Galba, walau merupakan salah satu klan Vasuki, tidak sama dengan yang lain."
Candina mengatur napas. Menatap ke arah Nimar yang berwujud kucing besar, harimau dengan cakar-cakar tajam.
"Kurasa, kita mulai kehabisan waktu, Salaka," bisik Nimar.
"Maksud Tuan?"
Nimar menundukkan kepala.
"Mandhakarma dan penunggangnya, Ru-Amandip mulai bergerak menguasai bagian terakhir dari Dunia Tiga Wangsa," suara Nimar pelan dan berat. Nada kesedihan terselip di sana.
"Maksud…maksud Tuan?" Salaka mengulangi pertanyaan.
"Aku tidak yakin, Nistalit di dunia baru bertahan lebih lama. Akasha dan Pasyu telah runtuh. Berikutnya, dunia terakhir dari Tiga Wangsa akan menyusul hancur."
Candina menatap Nimar tak percaya.
Salaka membelalakkan mata.
Silva dan Sonna berpelukan makin erat.
Apa yang sedang dibicarakan sosok-sosok di depan mereka?
Siapa Mandhakarma? Apa Ru-Amandip? Atau, siapakah dan apakah yang disebut-sebut 'bergerak menguasai' ? Siapa dan apa tak jelas di sini! Utamanya tak jelas bagi otak Silva dan Sonna yang buntu. Lalu Tiga Wangsa, apalagi itu? Kemusnahan yang dimaksud si kucing Nimar, ditujukan pada siapa?
"Salaka, Candina," bisik Nimar bergetar, "sangat sedih kunyatakan, tugas kalian sebagai ksatria perak berakhir di sini. Mari, kita kembali ke pertahanan Akasha dan Pasyu yang terakhir. Mati di sana. Lebih baik, kita berada di tempat kita sendiri."
Mata Salaka terbelalak.
Candina pasi.
Silva dan Sonna tak mengerti.
Percakapan tiga sosok di depan kedua gadis itu sama sekali tak dipahami. Roaming tingkat dewa. Namun, kata-kata Nimar seolah sebuah genderang perang dibunyikan. Atau awal sirene yang menyatakan masa kiamat sedang berhitung mundur. Countdown to doomsday!
🔅🔆🔅