Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 73 - Berita Buruk di Javadiva (5)

Chapter 73 - Berita Buruk di Javadiva (5)

Silva cepat menarik kesadaran dalam diri.

Kehidupannya demikian kacau. Anak haram yang tak diinginkan. Secara halus dibuang oleh ibunya sendiri, tak diakui sebagai bagian dari keluarga Cahyadiningrat. Selalu punya masalah di manapun berada. Hidupnya tak pernah baik. Javadiva pun bukan surga baginya.

Hancur.

Mati.

Itukah yang diinginkan?

Silva menggigil. Bahkan bagi orang paling putus asa sekalipun, kematian tidak dapat diimpikan dengan indah!

🔅🔆🔅

"Tuan Nimar," Candina berkata sembari menggeleng-gelengkan kepala. "Kita masih punya harapan!"

Nimar tertawa pelan. Seperti auman dan lenguhan berkolaborasi.

"Harapan apa, Candina?"

Nimar menatap Salaka dan Candina bergantian.

"Apa kau tak melihat dunia di sekitarmu, Candina?" jelas Nimar. "Kejahatan. Kebusukan. Pembunuhan. Penipuan. Kebohongan-kebohongan. Dari tingkat paling kecil hingga tingkat paling besar. Serbuk perak sudah menipis, apalagi unsur perak dan bongkahan perak. Hilangnya perak membuat kerusakan semakin parah bagi fisik dan jiwa semua penghuni dunia. "

"Kita masih punya banyak bongkahan perak di bawah sini," Salaka berkata.

"Banyak??" Nimar menyangsikan. "Bongkahan perak di bawah sini tak cukup untuk semua perkakas dan peralatan di atas muka bumi ini! Tak cukup untuk menolong semua penghuni dunia!"

Nimar menarik napas panjang.

Napas seperti dentuman magma.

"Lagipula…kalaupun kalian punya bongkahan perak, itu tak bisa digunakan. Semua bongkahan tersegel mantra," Nimar melanjutkan. "Hal yang benar-benar aku sesalkan dari keputusan para leluhurku dulu."

"Kami menemukan orang yang bisa menolong kita semua," Candina bersikeras.

"Ohya?" suara Nimar mengejek. "Siapa?"

Candina menatap Silva.

"Tuan Nimar, gadis itu yang bisa menolong kita semua," bisik Candina mantap.

Silva menatap Candina tak percaya. Telunjuk Silva menuding dirinya sendiri.

Aku? Bisa menolong apa? Pikir Silva, ingin tertawa sekaligus menangis menyaksikan drama yang lebih tragis dari drama Korea kesukaannya.

Nimar membalikkan badan. Membelakangi Candina dan Salaka. Ia berjalan mendekati SilVa dan Sonna yang mengkerut ketakutan.

Jangan jilat aku! Jerit benak Silva.

"Gadis kurus ini bisa menolong kita?" Nimar meragukan sembari memicingkan mata. "Apa ia punya kesaktian Akasha dan kekuatan Pasyu?"

Candina menggeleng, walau Nimar tak melihatnya.

"Tidak, Tuan," Candina menggeleng. "Silva sama sekali tak punya kekuatan itu."

"Kalau begitu, dia sama sekali tak berguna!" gelegar Nimar.

Seolah ingin menerkam dan mengunyah kedua gadis di depannya. Candina segera bangkit, menghadang Nimar sembari berusaha melindungi Silva dan Sonna.

"Tuan! Tuan Nimar!" Candina berkata.

"Candina!" Salaka menghentikan Candina. "Kurasa kita harus mendengarkan tuan Nimar sekarang!"

Candina tak menggubris Salaka.

"Tuan, beri saya kesempatan menjelaskan. Sesudah itu, Tuan Nimar dapat memutuskan," Candina berkata sembari berlutut di depan Nimar.

Nimar melihat kesungguhan Candina. Ia mengalihkan pandangan pada Salaka, bergantian ke sosok Silva dan Sonna.

"Baik, Candina. Tapi aku sudah punya keputusan sendiri," tegas Nimar.

Candina memberikan hormat yang dalam, mengatupkan kedua tangan di depan dada.

"Saya melihat sendiri Silva memiliki kepekaan terhadap perak. Ia…ia…entah bagaimana cara menjelaskannya…apakah ia punya hubungan dengan dinasti perak? Apakah ia…punya garis keturunan Akasha atau mungkin…Pasyu?" Candina sendiri kebingungan menjelaskan.

Penjelasannya bukan meneguhkan, malah melempar tanya!

"Banyak yang peka terhadap perak tapi tak mampu menggunakan perak sebagai senjata. Justru, mereka rapuh dan mudah terluka terhadap perak. Benar begitu…Silva?" Nimar bertanya, menatap lurus pada gadis di depannya.

Silva mengangguk, ketakutan. Walau ia sendiri tak paham apa makna anggukannya.

"Saya…saya punya firasat," Candina bersikeras. "Silva…Silva punya kekuatan yang kita butuhkan."

"Satu-satunya yang kita perlukan saat ini adalah kemampuan membaca teka teki mantra untuk mengubah bongkahan perak menjadi senjata, Candina!!" aum Nimar.

Candina menatap Nimar penuh harap.

"Berikan Silva kesempatan, Tuan Nimar," pinta Candina.

Salaka hanya berdiam diri, tampak kebingungan apakah harus membenarkan Nimar atau berdiri si sisi Candina.

"Salaka!" bentak Candina. "Bicaralah!"

Salaka terlihat gugup sesaat.

"Kita sudah sejauh ini dalam menjaga bongkahan dan mengumpulkan perak," ujar Candina. "Tinggal selangkah lagi membuka mantra!"

Salaka menarik napas panjang.

"Tuan Nimar," Salaka mencoba tenang dan jelas. "Awalnya…saya pun meragukan Candina. Setelah ratusan tahun menunggu, apakah sosok seperti Silva yang kita butuhkan? Dia bukan siapa-siapa. Dia lemah tak berdaya."

Silva mengatupkan rahang erat.

Ya, ia memang pecundang. Selalu buat masalah dan bukan orang berguna. Tapi, dilabeli seperti itu tepat di depan mata, sungguh tak terima! Siapa orang yang suka dihina? Walau orang paling tak berbakat sekalipun, menolak untuk dianggap sampah!

Sonna menggenggam tangan Silva, mencoba memberikan kehangatan dan hiburan. Seolah Sonna berkata, "Itu nggak benar, Silva. Kamu bukan lemah tak berdaya. Kamu cuma kurang motivasi aja."

Salaka menatap Silva, menenangkan.

Bukan ia bermaksud merendahkan.

"Saya melihat sendiri, Tuan," Salaka berujar sembari menatap Candina, berusaha memberikan dukungan. "Silva sangat sensitif terhadap perak. Tapi dia bisa menggunakan jam bandul Candina dengan baik untuk melawan Vlad dan Cristoph."

Vlad? Cristoph? Benak Silva dan Sonna merasa dungu.

Nimar menatap Silva dalam-dalam.

"Baiklah," Nimar melunak. "Katakan, Silva, gadis kalian ini adalah harapan bagi kita semua. Apa yang bisa dilakukannya untuk menyelesaikan permasalahan rumit tiga wangsa selama ribuan tahun?"

Silva menelan ludah.

Ia tak sudi dianggap sampah. Tapi percakapan di depannya seolah menunjuknya sebagai dewi dengan seratus tangan yang dapat menyelesaikan masalah-masalah paling mustahil.

"Kami…kami…belum tahu, Tuan Nimar," Candina mengaku. Menarik napas panjang.

Nimar memandang Candina tajam, berbalik memandang Salaka dengan bengis.

"Belum tahu??? Kalian tahu betapa gawatnya situasi sekarang??" gelegar Nimar.

Bilik bawah tanah berguncang pelan.

"Candina, Salaka! Dan kau, Silva! Berapa lama kalian berada di bawah sini?" tanya Nimar.

Silva menelan ludah.

"Jawab, Silva!" bentak Nimar. "Jangan takut padaku, kalau kau seperti yang dikatakan Candina dan Salaka!"

Silva gemetar dibuatnya.

"Se…hari? Eh…setengah hari? Se..seminggu?" Silva terbata. Teringat perkataan Sonna bahwa dunia atas telah berpekan-pekan menjalani hari. Ia tak mau salah berkata di depan si kucing besar.

"Jawab yang pasti!"

Silva meringis, tak yakin.

"Sehari, Nimar. Sehari," ujar Silva, mencoba yakin dan sok akrab.

Salaka menatap Silva tajam, yang segera meralat ucapannya.

"Sehari, Tuan Nimar," Silva berkata pelan, mencoba lebih sopan. "Saya rasa…kami sehari di bawah sini."

Nimar berbalik menatap Sonna yang segera bermandikan keringat dingin.

"Dan kau, Manusia Berkerudung? Berapa lama di atas sana?"

Sonna menarik napas. Merapal doa dalam hati.

"Semenjak Silva menghilang, sudah berpekan-pekan, Tuan Nimar," jawab Sonna. Mencoba lebih sopan dari Silva, belajar dari pengalaman.

Salaka, merapat ke arah tiga gadis. Nimar menghadap keempat orang didepannya, mencoba memberi pengertian yang jelas dan ringkas.

"Kalian semua, dengarkan," Nimar berkata keras dan jernih. "Terutama kau, Salaka. Dan kau juga, Candina! Kalian pasti sudah tahu maksud pertanyaanku pada Silva dan temannya."

Salaka dan Candina menarik napas.

"Ru-Amandip, menunggangi Mandhakarma telah memasuki dunia baru Nistalit," ujar Nimar, prihatin. "Dia, mampu melipat waktu. Dia, mahir mengelabuhi mata. Dia, sangat pandai menodai hati. Tidakkah kalian melihat, perbedaan dunia bawah dan atas? Sehari di bawah sini, sama dengan berpekan atau berbulan di atas."

Candina memainkan jemari. Mencoba berhitung.

"Seharusnya, Candina, berapa waktu tersisa?"

🔅🔆🔅