Sonna terdorong ke dinding.
Membentur pembatas, menyerupai celah yang ternyata sebuah pintu. Gapura menuju ruang bawah tanah penyimpan benda-benda kuno yang hanya diketahui sedikit orang. Ketika daun pintunya terbuka paksa, Sonna terdorong kekuatan tak terlihat. Ia jatuh di anak tangga atas, menggelundung ke bawah. Tubuhnya membentur lantai dengan keras.
Bummh!
Awh!
Suara kesakitan dari mulut Sonna berbarengan suara tulang-tulang di tubuhnya menghantam dasar ruang bawah tanah.
๐ ๐๐
Kepala pusing.
Lutut gemetar.
Rasa bergidik menyergap.
Di mana? Kenapa? Apa yang terjadi? Kenapa bisa? Mana yang lain? Semua pertanyaan membanjiri benak.
"Haloooo!" teriak Sonna.
Suaranya menggaung.
"Cookiiieeeesss?"
Suaranya bergema.
"Miiiiaaaaauuuwww??" Sonna menirukan suara kucing.
Menyadari tak ada siapa-siapa di lorong bawah tanah itu, Sonna mulai dihinggapi rasa takut teramat sangat. Ia meraba-raba saku roknya tapi tak mendapati ponsel. Ahya, gawainya sedang kehabisan baterai dan di-charge di kamar! Bagaimana cara menghubungi Bhumi, abangnya?
Tubuh Sonna melorot ke bawah, bersandar pada pegangan tangga. Ia mulai menangis. Sembari memeluk lutut dan membenamkan wajah, Sonna mulai membayangkan hal-hal buruk.
Teringat kedua orangtuanya yang telah tiada. Teringat kematian yang bisa datang kapan saja. Teringat berita-berita kejahatan yang sering dilihatnya di televisi. Besok atau lusa, adakah kanal yang akan memberitakan kemalangan tentang dirinya. O, bagaimana Bhumi akan menghadapi ini semua? Sonna tak dapat membayangkan kesedihan abangnya. Mereka berdua saling memiliki dan tak punya siapa-siapa yang peduli.
"Jangan takut!" sebuah suara berat dan asing mengejutkan. "Kamu jangan takut!"
Sonna tersentak.
Ia mendongakkan kepala.
Tak ada siapa-siapa di situ. Hanya ada tangga, lorong, ruang bawah tanah yang luas dan memiliki bilik-bilik seperti ruang Calya, Dahayu dan Janaloka.
Siapa yang tadi bersuara?
Sonna makin erat memeluk diri sendiri. Makin rapat menyandarkan tubuh ke tangga di belakangnya.
"Jangan takut, Manusia!" suara itu terdengar lagi.
Sebutan 'manusia' membuat Sonna berteriak lirih, menggeleng-gelengkan kepala dan menangis sembari memejamkan mata. Kedua telapak tangan menutup telinga.
"Kalau dia menyebutku 'manusia' terus dia makhluk apaaa?" Sonna merasakan ketakutan membuat benaknya tak dapat berpikir normal.
Gadis itu menarik napas panjang. Mencoba menenangkan diri.
Tenang. Tenang. Tenang.
Ia masih hidup sampai sekarang.
Tak ada hal buruk terjadi. Berarti suara yang berbicara itu sejauh ini tidak melukainya.
"Kami butuh bantuanmu, Manusia!" suara itu terdengar. Lebih dekat.
Hah?
Sonna tak mempercayai pendengarannya. Walau sudah ditutup tangan, suara masih dapat menembus masuk.
"Kamu baik dan berani," suara itu terdengar lagi. "Jangan takut. Justru kami sangat butuh pertolonganmu."
Sonna melepaskan tangan dari telinga namun belum berani membuka mata.
"Ayo, kamu harus ikut denganku, Manusia," suara itu mengajak. "Tak apa kamu menutup mata, asalkan berpegangan pada tubuhku."
Benak Sonna berpikir cepat.
Lebih baik menutup mata dan membiarkan makhluk asing itu membimbingnya, atau ia melihat jalan dengan mata kepala sendiri tanpa perlu menyentuhnya? Sonna menarik napas panjang, mengisi dadanya dengan sepenuh udara yang terasa dingin dan mampat di ruang bawah tanah ini.
Kalau ia melihat wujud mengerikan, pasti akan pingsan. Kalau ia menutup mata, akan dapat dikelabuhi. Tak ada pilihan yang benar-benar menguntungkan saat ini. Hanya keberanian dan doa pada Tuhan yang dapat menyelamatkannya.
Buka. Tutup. Buka. Tutup. Buka. Tutup.
Lebih baik membuka atau menutup mata?
๐ ๐๐