Chereads / GAIRAH PANAS SUAMI KEDUA / Chapter 6 - 6. Kamu harus tanggung jawab

Chapter 6 - 6. Kamu harus tanggung jawab

Di malam yang sama.

Tuti mengantarkan keponakannya pulang ke rumah, dia nggak berani menoleh ke arah rumah Karto karena kejadian kemarin itu masih jadi bahan ghibah di kampungnya. Untuk sementara waktu Tuti harus menahan diri untuk tidak mendekati Karto.

Brumm…

Suara motor gede milik Karto sudah akrab di telinganya, Tuti harusnya pura-pura nggak mendengar tapi kenyataannya dia nggak bisa menahan diri apalagi dia butuh kejelasan dari Karto, pada akhirnya dia menoleh pada Karto, tepat saat dia menoleh angin bertiup sangat kencang hingga menerbangkan payungnya.

"Dek kamu masuk duluan sana, nanti bibi nyusul." Katanya menyuruh keponakannya masuk ke dalam rumah lebih dulu meninggalkan dia yang melihat karto kehujanan di atas motor.

Karto sendiri sudah bertekad untuk meninggalkan dan melupakan Tuti apalagi melihat Murti yang sekarang sudah sangat cantik dan menggoda, dengan langkah acuh tak acuk dia menuruni motor mencabut kunci motor lalu melenggang hendak masuk ke dalam rumahnya.

"Karto!" Tuti memanggil dengan suara naik. Dia menahan kesal karena Karto mengabaikannya seakan-akan pria itu tidak melihat keberadaannya padahal dia sejak kemarin mencari karto dan pria itu tidak pernah membalas pesan atau mengangkat telepon darinya, Tuti butuh kejelasan tentang status hubungan mereka apalagi sekarang semua orang sepertinya sudah tahu skandal yang mereka perbuat meskipun Suryati sudah menutupi skandal itu dengan mengatakan kalau semua itu salah Tuti.

"Karto kita harus ngomong berdua!"

"Ngapain. Bukannya emak aku udah kasih kamu duit. Cewek kayak kamu itu apalagi sih yang inginkan selain duit. Atau duit dari emakku itu kurang? Kamu mau minta berapa banyak?"

Yang Tuti sesalkan adalah tatapan Karto padanya, sorot mata Karto melihat jijik ke arah wajah dan tubuhnya padahal beberapa hari yang lalu mereka masih menikmati surga dunia bersama dan Karto sangat mengidam-idamkan dirinya.

"Tega ya kamu ngomong kayak gitu sama aku. Aku tahu kalau keluarga aku tuh miskin, aku tahu kalau keluarga kamu tuh kaya."

"Bagus dong kalau kamu tahu jadi kamu tahu bagaimana harus bersikap sama aku. Mentang-mentang aku pernah tidur sama kamu terus kamu berpikir kalau aku bakalan cinta sama kamu, Tuti, kamu tuh harus sadar diri!"

Karto membalikkan badannya malas menatap wajah Tuti yang sekarang membuat dia benar-benar merasa jijik.

"Bisa ya kamu ngomong kayak gitu sama aku. Kamu bakal ceraikan Murti, itu kata kamu, kalau kamu nggak cinta sama Murti. Kamu lupa apa yang kamu omongin ke aku, kamu bilang kalau kamu mau serius sama aku! Tapi apa karto yang kamu lakuin sekarang! Gimana Aku nggak terus-menerus mengejar-ngejar kamu kalau kamu bersikap kayak gini sama aku! Kalau kamu memang laki harusnya kamu bertanggung jawab!"

Karto kembali membalikkan badannya sehingga mereka saling berhadapan. Hujan semakin deras dan karto nggak bisa melihat air mata yang meluncur dari mata Tuti yang bercampur dengan air hujan.

"Tuti mimpi kamu itu terlalu jauh! Kamu kayak nggak tau aja sih, aku tuh udah punya istri dan istriku itu sedang di perantauan jadi wajar dong kalau aku mencari pelampiasan. Itu tuh salah kamu sendiri, kenapa kamu mau mendekati aku dan terus menggoda aku. Padahal secara logika kamu dan Murti itu nggak sebanding! Aku sendiri bingung kenapa aku bisa tidur sama kamu."

Air mata Tuti semakin deras, bercampur bersama hujan yang bisa dia rasakan di ujung lidahnya, air hujan harusnya rasanya tawar tapi yang dia rasakan malah asin bercampur getir, membuat tenggorokannya kering dan tatapan dan ucapan Karto membuat hatinya sangat sakit.

"Aku nggak ada waktu untuk meladeni kamu Tuti, dan satu lagi jangan pernah kamu bermimpi kalau aku jatuh cinta apalagi bakal menikahi kamu!"

Tuti menelan air hujan bersamaan air mata, rasa pahit di tenggorokannya semakin menjadi hingga ke dalam hati. Tega sekali karto melakukan ini kepadanya.

"Kamu pikir kamu bisa berlaku seenaknya sama aku. Yang harus kamu ingat itu adalah, Aku ini bukan Murti yang bodoh dan mau-maunya dimanfaatkan oleh kamu. Kalau aku nggak bahagia maka kamu juga nggak bakalan bisa bahagia!"

Mendengar ucapan Tuti barusan membuat karto emosi. Dia melangkahkan kaki cepat dan mendorong bahu Tuti hingga gadis itu terduduk di tanah yang basah.

Tuti meringis kesakitan karena telapak tangannya terbentur batu kerikil tajam tapi Karto nggak peduli sama sekali.

"Memangnya apa yang bisa kamu lakukan! Jangan sok-sokan mau ngelawan aku, kayaknya kamu benar-benar enggak tahu posisi kamu deh! Aku bakalan rujuk dengan Murti dan kamu bakalan lihat betapa bahagianya rumah tangga aku!"

Cuih!

Karto meludahi Tuti lalu meninggalkan Tuti dalam derasnya air hujan, dia masuk ke dalam rumah mewah yang dibangun dengan hasil jerih payah Murti bekerja di luar negeri.

Kedua tangan Tuti mengepal, kepalanya menengadah ke langit, merasakan tusukan sakit di wajahnya dari air hujan yang deras. "Aku janji kalau karto nggak akan pernah bisa dapetin Murti, suatu saat nanti karto bahkan mengemis di ujung kakiku!" Katanya bersumpah dalam derasnya hujan.

"Murti bakalan bahagia dengan orang yang dia cintai dan rumah tangganya bakalan indah tapi itu bukan dengan karto!"

****

"Hoaaamm…."

Murti merasa sangat lelah dan lemas. Tapi ini jauh lebih baik karena dia bisa tidur nyenyak dan merasa hangat. Menyambut suara kicauan burung di pagi hari bibirnya tersenyum lebar, tapi senyuman itu segera mengkerut ketika wajahnya menoleh dan mendapati wajah seorang pria yang tertidur pulas di sampingnya.

Jarak wajah mereka itu sangat dekat nggak sampai 5 cm. Reflek Murti menarik kepalanya menjauh.

Buk!

"Ah, au!" Reflek dan spontan pergerakannya itu terlalu cepat hingga dia jatuh dari balai dan terduduk di lantai tanah pondok.

"Duh sakit!" Murti mengelus bagian bok0ngnya yang terasa nyeri sambil meringis menahan sakit.

Suara buk yang kencang membuat Daniel yang tertidur pulas langsung terbangun, dia kaget karena tiba-tiba ada yang menarik selimut ditambah suara kencang seperti ada yang terjatuh dari balai.

Ketika pria tampan itu menoleh dan mendapat Murti terduduk di lantai tanah dia malah tertawa.

"Hahaha kamu ngapain di bawah situ?" Tanya Daniel mengejek dengan senyumannya yang indah di pagi hari.

Murti cemberut sambil berdiri dan menepuk-nepuk bagian bok0ngnya yang kotor.

"Nggak usah ketawa deh nggak ada yang lucu!" Kata Murti sinis, dia membalikkan badan menyembunyikan wajahnya yang merah seperti udang rebus karena malu.

Bisa-bisanya dia terjatuh di depan Daniel dan apa yang terjadi malam tadi antara mereka sehingga terbangun di pagi hari dalam posisi pelukan erat, membayangkan semua itu membuat Murti menepuk dahinya berulang kali, berharap nggak ada adegan lain yang lebih berbahaya dari sekedar berpelukan itu.

"Mm… Murti aku mau bilang terima kasih tentang apa yang udah kamu lakuin malam tadi."

"Hah!" Murti kaget mendengar kata malam tadi, spontan dia langsung membalikkan badan dan menatap wajah Daniel dengan mata membulat. "Memangnya apa yang udah aku lakuin malam tadi?" Tanya Murti harap-harap cemas.

Daniel belum sempat menjawab pertanyaan Murti dan wanita itu sudah terlihat panik sambil memperhatikan pakaiannya. "Ini baju yang aku pakai kemarin kan. Aku yakin nggak ada yang terjadi di antara kita malam tadi kan?"

Daniel bingung melihat reaksi Murti, dia cuma mau berterima kasih karena Murti merawat lukanya dengan baik sehingga pagi ini dia merasa luka di tangannya sudah tidak mengeluarkan darah dan tangannya yang terluka itu sudah bisa digerakkan perlahan-lahan, tapi melihat pakaian Murti yang robek membuat Daniel kaget, sepertinya motif pakaian yang robek itu sama dengan perban yang membalut tangannya.

"Murti, baju kamu sampai robek karena aku, sepertinya aku harus ganti baju kamu."

"Hah!" Murti tercengang melihat bagian ujung bajunya yang robek, sebetulnya dia yang merobek itu tapi dia lupa karena kepalanya sudah diisi dengan pikiran kotor tentang apa yang sudah mereka lakukan malam tadi, Murti nggak bisa mengingat jelas kejadian apa malam tadi itu. "Kenapa bajuku sampai robek?"

"Darahnya banyak sekali malam tadi dan sekarang udah kering, aku bener-bener nggak bisa bilang apa-apa sama kamu Murti, selain kata terima kasih, bahkan gara-gara aku kamu merobek baju kamu kayak gitu dan aku harus bertanggung jawab sama kamu…."

Kalimat yang meluncur dari bibir Daniel terdengar ambigu. Daniel menjelaskan tentang luka, darah dan kebaikan Murti tapi di dalam kepala Murti yang dia pikirkan adalah kejadian 21+ antara mereka berdua tadi malam, tapi apa ya?

"Bagaimana cara kamu bertanggung jawab? Terus…" wajah Murti semakin merah padam, adegan yang tidak tidak sudah masuk ke otaknya, dia jadi ingat dulu sewaktu kerja di luar negeri, dia pernah mabuk, dan kata temannya kalau mabuk Murti bakalan berubah jadi nakal, untunglah majikannya di Arab dulu sangat pengertian dan menjaganya dengan baik hingga dia selalu berhasil lolos dari jerat pria nakal yang berusaha menjebaknya.

"Apa aku terlalu dominan malam tadi? Padahal aku nggak minum alkohol loh. Aku pernah mabuk sekali di luar negeri tapi aku pikir aku nggak bakalan mengalami hal itu lagi apalagi sampai, Ya ampun aku benar-benar bingung kenapa bisa terjadi. Apa itu artinya aku udah nggak perawan lagi?"

Ucapan Murti membuat suasana terasa aneh.

Hening…..

Murti dan Daniel saling menatap dalam diam beberapa menit. Wajah keduanya berubah kaku.

"Kenapa tiba-tiba kamu ngomong tentang perawan?" Tanya Daniel salah tingkah.

"Ya, karena aku selama ini belum pernah tidur dengan laki-laki." Jawaban Murti terdengar begitu tenang dan polos sangat berbeda dengan wajahnya yang tegang.

"Tapi kamu kan sudah menikah."

"Emak mengirim aku setelah kami selesai mengucapkan ijab kabul jadi aku dan Karto– tapi memangnya aku harus cerita hal itu sama kamu!" Kesal Murti.

Daniel menggeleng kaku. "Sebenarnya aku nggak pengen tahu tapi kamu yang buka omongan ke situ jadi sekarang aku pengen tahu."

Murti mengusap wajahnya kasar, bisa-bisanya dia ngobrol sama Daniel tentang hal ini, dan bisa-bisanya dia tidur dengan Daniel malam tadi, membayangkan kalau dia begitu dominan dan berani malam tadi sampai merobek pakaiannya supaya Daniel mau tidur dengannya membuat wajah Murti semakin merah padam.

"Ah sayang, kamu itu tampan, gagah dan panas, maukah kamu menikmati aku malam ini?"

"Nggak, aku mohon hentikan Murti, kamu itu sudah punya suami, aku nggak bisa tidur sama kamu." Daniel menolak Murti yang menggodanya.

"Kenapa sih kalau aku punya suami, lagian aku juga bentar lagi cerai, ayo sini sayang!" Murti membuka pakaiannya tapi Danielle mencoba menghentikan Murti yang mau buka baju. "Ih kenapa kamu tahan, biarkan aku buka bajuku."

"Jangan mur, jangan!"

"Ahhh kenapa jangan!" Murti bersikeras membuka bajunya sementara Daniel menahan bajunya, mereka saling berebutan hingga ujung baju yang Murti tarik paksa menjadi robek.

Brrrtt…

Murti sudah bug1l, dan Daniel ketakutan.

"Sini ganteng, ayo nikmati aku sayang!"

"Nggak mau, aku mohon, aku nggak mau!" Teriak Daniel hendak kabur tapi Murti malah melompat dan menerkam Daniel, hingga terpaksa Daniel memenuhi hasrat Murti malam itu.

"Ugh, Daniel punya kamu gede banget, membuat aku nggak sabaran ingin merasakan milik kamu." Murti menahan tubuh Daniel di bawah tubuhnya yang sudah polos.

"Murti sadarlah, jangan begini ah!! Jangan… uh…" meski Daniel memberontak pada akhirnya dia pasrah ketika Murti menindihnya dan memasukkan pistolnya ke dalam hutan Murti yang basah.

Blessh!

"Ughh… ahhh… eeeugg…" lenguhan panjang dari bibir bergetar Murti terdengar jelas, ketika Murti menunduk dan melihat sumur miliknya yang sempit itu, sumur itu sudah menumpahkan darah segar, itu adalah darah keper4wanan Murti.

"Ah gila! Gila!" Murti memukul-mukul kepalanya cukup kencang, hingga bayangan kotor itu hilang dari kepalanya.

"Mur kamu kenapa?"

Mendengar suara Daniel, Murti makin salah tingkah, membayangkan Daniel tidak pakai baju dengan badan yang berotot dan gagah ditambah pistol berbahaya milik Daniel yang terlihat besar dan kokoh, tak sengaja pandangan Murti tertuju pada itunya Daniel.

'memang kelihatan besar banget sih!'

"Mur, kamu kenapa?" Panggil Daniel sekali lagi.

"Eh, ah!" Murti harus memalingkan pandangannya yang terus fokus pada itu Daniel. Kenapa dia jadi mesum sih!

"Kamu kenapa mur?" Tanya Daniel cemas.

"Aku nggak apa apa. Tapi kayaknya kamu nggak usah bertanggung jawab deh. Gimana kalau kita lupain aja dan anggap kalau malam tadi itu hanyalah sebuah kecelakaan."

Daniel menggeleng nggak setuju dong. "Aku nggak bisa ngelupain hal itu begitu aja apalagi itu kamu, Murti. Aku merasa harus bertanggung jawab dan berhutang Budi sama kamu karena kamu udah membuat aku merasa begitu sehat."

Pikiran mesum di kepala Murti semakin menjadi-menjadi. "Padahal aku udah jaga diri dengan baik loh. Tapi kenapa aku harus menyerahkan diri aku sama kamu." Desis murti putus asa menyesali apa yang telah mereka lakukan malam tadi.

"Menyerahkan diri gimana?"

"Ya kenapa aku harus tidur sama kamu dan memberikan keperawanan aku sama kamu. Padahal aku nggak kenal sama kamu!" Murti memasang wajah sedih sementara Daniel terlihat bingung.

"Wait? Keperawanan gimana? Apa hubungannya sama lukaku?"

"Luka gimana, tadi kamu bilang tentang darah dan bertanggung jawab, yang luka harusnya aku, aku ini cewek loh. Meski aku yang minta seharusnya kamu berusaha membuat aku sadar dan berpendirian teguh untuk terus menolak aku!" Ujar Murti dengan wajah memelas.

"Tunggu, aku nggak paham deh sama ucapan kamu. Tapi aku lagi ngomongin tentang tangan aku," Daniel mengeluarkan lengannya yang dibalut perban dari balik selimut. Dia memamerkan lengannya pada Murti.

Krikk… kriik… jangkrik mau lewat….

"Kenapa tangan kamu?" Tanya Murti.

"Aku luka kemarin karena menolong kamu tapi ternyata kamu sudah balas Budi dengan mengobati tangan aku bahkan kamu merobek pakaian kamu untuk membungkus lukaku. Bukankah aku harus tanggung jawab, minimal aku harus belikan kamu baju baru."

Murti menatap luka di tangan Daniel lalu wajah Daniel, luka- wajah, luka lagi- wajah lagi, sampai akhirnya dia tertawa.

"Hahahaaaaa… ya ampun, aku rasa otakku konslet karena terlalu banyak beban hidup. Ya ampun apa yang tadi aku pikirin, aku benar-benar udah gila ngebayangin kalau aku sama kamu melakukan itu, ya ampun Murti! Sadarlah, ternyata ini tentang luka bukan tentang itu, hahahaaa…."

Sekarang giliran Daniel yang salah tingkah dengan wajah terbakar, berwarna merah seperti tomat.

'apa yang Murti bayangkan? Dan kata 'itu', apakah Murti membayangkan mereka melakukan itu?'

Daniel menatap wajah Murti yang masih tertawa, bangun tidur, tanpa makeup tetap cantik bersinar, lalu bodynya yang indah ramping dengan bagian dada bulat dengan ukuran pas di genggaman, kaki jenjang, kulit putih mulus.

Murti sangat cantik dan seksi.

Daniel buru-buru menjepit pahanya, ah, sial! Murti membuat juniornya bangun.