"Gimana keadaan kamu Tut? Sudah membaik?"
Tuti merapikan meja makan yang sudah dipakai anak anak mahasiswa magang, semua mahasiswa sudah masuk kamar dan sibuk urusan masing masing di malam hari, mereka berjumlah lima orang. Dua orang di kamar bawah, tiga orang di kamar atas kecuali Daniel yang masih sibuk dengan ponsel di meja makan, ketika Tuti membereskan meja makan, Daniel tampak peduli dengan nasib Tuti setelah kejadian memalukan itu.
"Aku sih baik baik aja, nggak ada luka yang perlu dicemaskan, cuma luka dalam hatiku saja yang menganga, sudah luka disiram cuka. Kemarin aku menemui Karto dan dia dengan angkuh mencampakkan aku seperti bongkahan kotoran, aku bakalan bales dia dan dapetin pria lebih hebat dari dia!" Tuti tersenyum kecut, tapi wajah sedih itu berubah begitu dia melihat tangan Daniel yang diperban dengan kain motif bunga.
"Loh, tangan kamu kenapa?"
"Ah ini. Nggak apa apa, udah sembuh kok, udah ada yang obati soalnya." Daniel buru-buru menyembunyikan tangan ke bawah meja pas Tuti mau menyentuh tangannya.
"Oh, kamu udah ke dokter?" Tanya Tuti
"Dokter mana Niel, kemaren gue sakit gigi, ke puskesmas di kampung seberang, udah jalan jauh 10 kilo eh puskesnya tutup. Sialan banget deh!" Teman Daniel bernama Zafan keluar dari kamarnya lalu duduk di kursi sebelah Daniel.
"Coba gue liat tangan lu." Katanya memaksa Daniel memperlihatkan tangan yang luka.
"Nggak. Udah nggak papa, udah sehat!" Jawab Daniel sungkan.
"Sini gue liat dulu. Kemaren gue sakit gigi terus sama Mbah depan Sono disuruh taruh cengkeh di gigi gue, eh beneran sembuh loh. Mau gue tanyain obat buat luka lu?" Zafan terlihat perhatian.
"Nggak usah. Udah nggak apa apa ko. Lagian sudah diobati."
"Diobati sama siapa?" Tanya zafan pengen tahu.
Daniel nggak menjawab melainkan senyum tipis, lalu dia beranjak dari kursinya. "Ada deh!"
"Asek! Niel, gue ga pernah liat lu secerah hari ini. Omong omong malam tadi lu tidur dimana, apa tidur di rumah Tuti?" Zafan bercanda.
"Hush, sembarangan aja mas Zafan, nanti jadi gosip, emangnya mas Zafan nggak tahu apa, skandal aku aja belum reda, jangan ditambah tambahi."
Zafan terkekeh. "Yaelah Tut, heboh banget. Gue udah biasa liat cewek sama cewek berantem bahkan di tengah jalan, selingkuh itu biasa, lagian itu cowok kan bininya jauh, merantau ke luar negeri, lah wajar saja kalau lakinya lapar mata, apalagi liat yang bening bening kayak kamu Tut!"
"Hush, mas Zafan, nanti dikira orang lain omongan mas Zafan serius." Tuti menghindari tatapan Zafan.
Daniel yang hampir masuk ke kamar langsung membalikan badan mendengar ucapan Zafan tadi. "Kalau menurutku sih tetap aja suaminya salah. Tuti juga salah, yang bener cuma perasaan cintanya aja tapi tempatnya nggak bener."
Zafan melirik Daniel sinis. "Lu ngomong apaan deh. Maksudnya gimana, nggak paham gue. Lu paham nggak Tut omongan si Daniel?"
Tuti menggeleng, dia juga nggak ngerti sama ucapan Daniel barusan.
"Maksudnya, Tuti nggak salah cinta sama tuh cowok tapi masalahnya, cowok itu udah menikah, coba kalau sama kamu, Tuti dan Zafan, pas!" Goda Daniel lalu masuk ke kamar.
"Tuh Tut, dengarkan apa kata Daniel, daripada suami orang mending sama aku. Aku mah jago goyangnya Tut, mau gaya apa juga aku bisa."
"Ah, mas Zafan jangan buat aku malu. Malu kalau teman teman mas Zafan denger."
"Dih ngapain malu Tut, disini semuanya laki-laki Tut, kamu tinggal pilih, kesempatan masih ada satu bulan lagi Tut, tenang aja, nanti uang katering kita lebihkan!"
Tangan Zafan udah mulai bergerilya, bertengger di pinggang Tuti.
Mas Zafan sih masih muda, ganteng, bujang kota, paling juga cuma butuh Tuti untuk bersenang senang dan Tuti paham itu, tapi Tuti berpikir, daripada dia terus terusan diinjak injak Karto, nggak ada salahnya kalau dia main main sama pria lain juga.
"Mas Zafan ih tangannya. Nakal." Kata Tuti mencoba menghindari pelukan Zafan.
"Kamu kan sukanya yang nakal nakal Tut." Goda Zafan, wajah malu malu Tuti membuat Zafan jadi tegang.
"Katanya bininya cowok itu mempermalukan kamu ya Tut, duh berani banget, kalau aku ada disitu pasti aku tolongin kamu Tut."
"Ah masa. Kan aku salah mas."
"Salah juga aku bela Tut asalkan kamu mau, ehem!" Zafan menunduk, memberi kode sambil melirik isi celananya yang berdiri.
"Mau apa mas?" Tanya Tuti malu-malu.
"Tut, dua jam lagi ke kamarku ya. Ntar aku kasih kamu jajan yang banyak."
Tuti menggeleng lemah sambil mengawasi rambut ke telinganya. "Nggak ah mas, takut. Lagian memangnya mas Zafan mau bekas pria lain."
"Ah, Tut, mikirin amat, yang penting nikmat, ya… aku tunggu dua jam lagi. Kamu beresin dulu kerjaan kamu, aku juga mau mandi biar wangi."
Tuti akhirnya mengangguk lemah. Zafan tersenyum senang.
Yey! Selama ini Tuti sulit diajak ngamar karena ada Karto tapi sekarang Tuti sudah lepas dari Karto dan kesempatan bagi Zafan, si mahasiswa playboy cap kuda liar itu.
"Hey!"
Suara Daniel mengejutkan Tuti.
"Eh kamu. Kenapa?" Tanya Tuti kikuk.
"Kamu manggil Zafan mas kalau ke aku aja biasa."
"Kamu mau dipanggil mas juga?"
Daniel menggeleng cepat. "Nggak. Tapi kamu jangan main main sama Zafan Tut, nanti nyesel kamu. Dia itu cuma mau main doang!"
Tuti menaruh piring ke meja. "Lah aku juga sama. Gara-gara Karto aku ngerasa kalau aku ini murahan. Semua orang sudah tahu, yaudah sekalian aja. Lagian mas Zafan mau kasih aku uang. Jadi timbal balik, daripada Karto cuma kasih jajan bedak Ama baju kaki lima doang. Mending aku jual diri sekalian."
Daniel menggeleng. "Tut jangan keterlaluan, malu sama keluargamu."
"Alah, udah terlanjur basah, kamu juga kalau mau tidur sama aku tinggal bilang aja, sebelum aku pasang tarif."
Daniel menggeleng. "Bingung aku sama kamu Tut, awalnya kan kamu dekati Karto karena aku minta, tapi aku nggak suruh kamu bablas sampai hubungan badan gitu. Nah sekarang Karto mencampakkan kamu bukannya dijadikan pelajaran malah kamu jadikan alasan supaya kamu makin terjerumus."
"Biarlah. Lagian keluargaku itu memang miskin. Kali aja aku bisa buat mereka naik kalau aku jual diri."
"Tut, kamu harusnya sadar, mumpung belum terlanjur. Nanti aku yang ngomong sama Zafan. Kamu jangan mau terjerat sama dia."
"Ngapain sih kamu peduli sama aku. Aku sudah ikuti apa permintaan kamu, dan sekarang mereka bakalan cerai, jadi pekerjaanku selesai, kamu juga Uda bayar aku."
"Nah, uang dari aku kan nggak sedikit, memangnya nggak cukup."
Tuti menatap Daniel dalam. "Mana cukup sih, uangnya aku pakai renovasi rumah emakku. Sekarang udah punya WC layak di rumah kami. Udahlah nggak usah dibahas, anggap aja kamu nggak tahu apa apa."
"Terserah kamu Tut, tapi aku udah nasehatin kamu loh ya."
"Iya. Makasih nasehatnya tapi maaf, aku udah terlanjur sakit hati sama Karto!" Tuti mendengus menahan kesal, lalu mengambil tumpukan piring dan meninggalkan Daniel yang menatap Tuti dengan wajah kasihan.
Dua jam kemudian.
Daniel lagi sibuk depan laptop mengerjakan laporan ketika suara ranjang disebelah berderit dan menimbulkan goyangan di mejanya sampai laptop Daniel bergoyang.
"Loh, loh…." Daniel menepuk dahinya.
"Serius Zafan dan Tuti?" Dia masih nggak percaya dan mematikan musik di layar laptop nya.
"Ah… Tuti, goyangan kamu enak banget sayang…"
Plak!
"Enak mas… enak ya… ah… aku juga enak banget mas… ahh mas Zafan lebih enak daripada si sialan itu!"
"Kamu juga Tut, legit banget Tut! Ah, enak banget, ya ampun Tut, aku nggak mau keluarin ah… aku mau yang lamaaa…"
Daniel menepuk dahinya, kayaknya Zafan dan Tuti sengaja biar Daniel dengar semuanya.
Daniel mencoba menahan diri dan mengelus dada tapi juniornya terus berontak dan terangsang. "Ah kampret!"
Daniel membuka jendela kamarnya, mencoba mencari udara segar. Dia pikir menjauhi meja nggak akan bisa dengar desahan Zafan dan Tuti.
"Ouh, ah… ya ampun… ugh… kuat banget kamu mas."
"Ah… iya dong… aku cepetin ya.. ah.. ah… enak banget punya kamu Tut, tiap hari aku mau Tut, nanti aku bilang nyokap kalau aku butuh pakai mobil, biar uangnya buat kamu tapi kamu harus begini terus ya sama aku sampai aku selesai magang disini…"
"Ah… yang bener mas.. ah… uh… ya.. ya mau…"
Daniel menggelengkan kepala, bukan cuma juniornya yang bengkak, sekarang bibirnya jadi kering membayangkan suara-suara aneh di kamar sebelah yang mempengaruhi hormon jantannya. Daniel mengambil segelas air tapi ternyata kurang, dia mengambil segelas lagi, meneguk cepat dan masih membuat tenggorokannya kering.
"Ah, ZAFAN!!"
Daniel berteriak sambil melemparkan cangkir ke luar jendela saking kesalnya sama tingkah Zafan dan Tuti.
Tuk!
"Aw!" Suara cewek terdengar di luar sana.
"Loh ada orang?" Tanya Daniel mengedarkan pandangan, mendekat ke pintu.
"Aw! Siapa sih yang lempar ini!" Murti mengelus kepalanya yang kena lemparan cangkir.
"Murti?" Daniel kaget melihat Murti mengendap-endap di balik pohon pisang. Murti juga kaget melihat Daniel di jendela rumah mertuanya.
Rumah mertuanya yang selama ini kosong Ternyata dijadikan asrama mahasiswa magang untuk sementara, Murti pikir bisa menginap di rumah kosong ini tapi harapannya sia sia.
"Ah, ketemu dia lagi deh!" Murti langsung membalikkan badan hendak kabur.
"Mur, tunggu!" Daniel melompat keluar jendela dan menangkap tangan Murti.
"Apaan sih. Lepasin!" Murti menghentakkan tangannya dan terlepas dari cengkraman Daniel.
"Uuuhhhh… ahh… aku udah sampai mas…"
"Aku juga sayang… ahh… nikmat banget."
Murti dan Daniel bengong mendengar percakapan sayup tapi jelas barusan.
"Apaan itu tadi?" Tanya Murti.
Daniel menempelkannya jari ke bibir, "sst nggak usah dengerin orang mesum."
Mendengar kata mesum, Murti nggak sadar menyoroti bagian bawah milik Daniel yang posisinya memang lagi bangun dan tegak gagah berani.
"Aaakkhh!!!" Murti berteriak histeris, untunglah Daniel langsung membekap mulut Murti meski Murti berontak keras.
"Sssttt…." Jangan berisik, nanti yang lain pada bangun.
"Ugh… mmmph… aug…" Murti terus berontak tapi Daniel masih terus membekap mulut Murti.
Hap!
"Aw!"
Daniel melepaskan mulut Murti dan meringis kesakitan ketika K
Kaki Murti menginjak kakinya yang nggak pakai sandal.
Ketika Daniel menunduk dia baru sadar kalau Murti pakai sandal yang dari dia tadi pagi.
"Mur, kamu nggak pulang. Kamu masih pakai baju yang robek dan sandal aku." Tanya Daniel ketika dia sadar.
Murti memasang wajah angkuh, nggak mau dikasihani. "Memangnya apa urusannya sama kamu."
"Ya, tapi kamu, apa kamu sudah mandi? Makan?"
"Nggak ada urusannya sama kamu!" Jawaban Murti sama.
Daniel menghela nafas berat. "Kamu nggak tinggal di pondok itu kan?"
"Nggak Lah."
"Terus, kamu tinggal dimana?"
Murti mengelus lengannya. "Bukan urusanmu!"
Daniel tambah penasaran. "Jangan bilang kamu nggak tau mau pulang kemana."
Sekarang Murti harus menyerah dan jujur deh kayaknya, apalagi perutnya perih karena makan singkong bakar doang nggak cukup mengganjal lambungnya.
"Ini rumah mertuaku dijadikan gudang, aku pikir bisa tinggal disini, tapi kayaknya aku salah." Tuti menunjuk jendela kamar Daniel.
"Oh, ini rumah milik mertua kamu?" Tanya Daniel.
Murti mengangguk. "Kalau aku masuk diam-diam kan nggak bakalan ada yang tahu. Aku bisa tinggal sementara disini sambil nunggu panggilan kerja dan uang saku untuk berangkat lagi ke laut negeri." Kata Murti lagi tapi harapannya sia-sia karena rumah ini sudah ada penghuni.
"Gimana ya." Daniel menggaruk kepala bingung, dia nggak mungkin membiarkan Murti menggembel tapi, gimana, dia mencoba mencari solusi.
"Ah, gini aja Mur. Kamu sementara tinggal di rumah ini bareng kami tapi jangan sampai ketahuan."
"Hah? Maksudnya gimana?" Tanya Murti bingung.
"Aku bakal sembunyikan kamu di kamarku, itu kalau kamu setuju, sampai kamu dapat pekerjaan itu."
Murti menggeleng nggak setuju.
"Nggak deh…"
Tapi penolakan Murti dia sia karena lima menit kemudian ada orang yang menyenteri mereka hingga mereka panik dan melompat masuk ke jendela kamar Daniel.
Ternyata yang menyenteri adalah pak hansip.
"Oh, Daniel, kenapa jendela dibuka malam malam, nanti ada binatang masuk." Kata pak hansip ketika melihat Daniel melambaikan tangan dari dalam kamar.
"Gerah pak!" Jawab Daniel asal.
"Okelah, jangan lupa dikunci jendelanya."
"Iya pak hansip, selamat jaga malam pak hansip."
"Sip!"
Daniel mengelus dada lega ketika pak hansip pergi.
Murti yang berjongkok di bawah jendela menarik celana Daniel pelan.
"Sudah pergi belum? Aku harus pergi nih."
"Sudah malam Mur, kamu nginep aja disini."
"Jangan harap ya. Aku bukan cewek gampangan."
"Aku nggak bilang kamu gampangan. Aku cuma cemas kalau kamu keluyuran malam malam, apalagi kamu nggak tahu harus kemana. Udah, kamu Disini aja dulu, aku nggak akan aneh aneh."
"Nggak mau. Aku nggak pernah ya tidur sekamar sama laki-laki."
Daniel tertawa kecil. "Ya tapi kan kamu pernah tidur sebagai dengan laki-laki, sambil pelukan lagi."
"Tuhkan, belum apa apa udah aneh!" Desis Murti merinding.
"Eh, aku bercanda mur, aku nggak ngapa ngapain kamu kok, lagian tangan aku masih terluka."
Murti baru ingat luka di tangan Daniel. "Oh iya. Bagaimana luka kamu? Udah ganti perban belum?"
"Belum. Nggak ada yang bisa bantuin aku ganti perban soalnya."
Murti jadi kasihan. " Biar aku yang ganti perbannya, sekalian bersihkan lukanya. Kamu duduk deh biar aku enak bersihinnya."
Daniel tersenyum senang, dia bersyukur terluka, dengan begitu, Murti bisa menginap di kamarnya, hehee….