Chereads / GAIRAH PANAS SUAMI KEDUA / Chapter 8 - 8. Mau cemburu tapi bukan siapa-siapa

Chapter 8 - 8. Mau cemburu tapi bukan siapa-siapa

Murti memperhatikan sekeliling kamar milik Daniel.

'Ukurannya sih kecil, cuma ada satu tempat tidur, satu lemari pakaian, satu meja, di atas meja ada laptop. Sepertinya Daniel tadi sibuk mengerjakan tugasnya.'

"Katanya kamu itu mahasiswa magang ya?" Tanya Murti ingin tahu.

"Sebenarnya aku udah lulus dan niat mau lanjutin gelar master, jadi aku ambil penelitian di sini."

Murti merasa kikuk sebetulnya, berada satu kamar dengan Daniel, tetapi mau bagaimana lagi, dia kan nggak punya tempat tinggal.

Mana Sarti nggak bisa nampung dia lagi, belum lagi Karto. Pasti karto masih terus mencari dia sampai ketemu.

Jalan satu-satunya, Murti harus terima tawaran dari Daniel menginap satu kamar.

Sambil mengelus pangkal lengan kiri, Murti merasa sangat canggung. Sesekali sudut matanya melirik ke Daniel, menghela nafas berat dia berkata,

"Sebenarnya aku nggak nyaman sih, harus menginap satu kamar sama kamu. Tetapi aku nggak punya tempat lagi!"

Daniel cuma tertawa kecil.

"Udahlah, nggak apa apa! Lagian mahasiswa itu sudah biasa lah tidur bareng-bareng, maksud aku waktu kami magang di tempat lain, terus kami berjuang sama-sama cowek cowok itu sama aja. Lagian kan ini bukan pertama kalinya."

Plakk...

Murti memukul lengan Daniel.

"Bisa nggak sih, kamu nggak usah bahas itu lagi?"

"Ya sorry, tetapi kan benar."

"Ya aku tahu benar, tetapi nggak usah dibahas lagi lah!"

"Iya maaf! Ngomong-ngomong…kamu tadi mukul tangan aku yang luka loh!"

Daniel kelihatan meringis.

"Ya ampun….maaf ya, mana obatnya sini aku obatin!"

"Obat sih ada sih di luar, tetapi kamu yakin mau di kamar sendiri?"

"Ya udah, kamu ambil dulu aja obatnya!"

Daniel baru mau keluar dari kamar, baru membuka pintu setengah terus dia tiba-tiba ingat,

'Murti udah makan apa belum ya?'

Dia berbalik badan bertanya dengan Murti sambil menggaruk pelipisnya yang nggak gatal.

"Mur…kamu udah makan belum?"

Malu-malu kucing Murti menjawab, "belum…"

"Dari pagi?"

"Udah sih, makan singkong bakar. Aku ngambil di pondok, terus nggak ada apa-apa di pondok itu. Ya udah, aku bakar aja!"

Daniel merasa kasihan melihat Murti.

"Aku ambilin makan ya?"

Murti mengangguk.

"Makasih ya!"

"Ya udah, aku tinggal dulu!"

"Iya…"

Daniel langsung menutup pintu kamarnya, dia berjalan ke arah ruang tamu. Niatnya adalah mencari obat lebih dulu, baru nanti ke dapur mencari makanan untuk Murti.

Daniel pikir, Tuti kan masih ada di sini, pasti masih bisa disuruh untuk buat makanan. Meskipun harus sedikit bersabar karena Tuti masih berurusan dengan temannya di kamar.

Murti bingung di kamar Daniel, dia bingung harus ngapain.

Dia melihat seluruh kamar daniel kelihatan rapi, terus dia nggak sadar tersenyum.

"Ternyata kamar cowok bisa rapi banget ya."

Terus dia penasaran, dia melongok ke laptopnya daniel, scroll-scrolling layar Daniel.

"Ini apa sih? Bagan penelitian….perilaku masyarakat desa…." Bergumam sendiri, Murti sambil membaca laporan di laptop Daniel.

Dia benar-benar nggak ngerti, karena dia cuma lulusan SMA. Membaca laporan Daniel bikin dia pusing, akhirnya dia tinggalkan laptopnya Daniel.

Dia melihat ke arah jendela, masih belum tertutup rapat. Akhirnya dia kunci rapat-rapat jendela kamar Daniel.

Diperhatikan rak di bawah meja, ada buku-buku daniel tebal-tebal dan tas ransel.

Dia nggak tertarik sama sekali untuk membaca buku-buku itu, sumpah itu bukan dunia.

"Bingung nunggu Daniel, ternyata lama juga!"

Murti akhirnya duduk di samping tempat tidur punya Daniel, kakinya berayun-ayun.

Tok…tok…tok.

Suara pintu diketuk.

Murti pikir itu Daniel, dia langsung buru-buru bangkit.

Ketika tangannya mau menarik handle pintu, suara dari luar terdengar.

"Daniel aku pulang ya? Ada yang masih bisa aku bantu nggak? Eh, kamu mau dicuciin pakaiannya nggak sekalian?"

Deg…deg…

Dada Murti berdebar kencang.

Itu suara perempuan dan Murti yakin, kalau itu suara Tuti selingkuhannya Karto suaminya.

Murti langsung mendorong erat-erat pintu, padahal itu pintu belum terbuka. Dia menahan dengan punggungnya.

Rasa sakit yang menusuk-nusuk, membuat dia menangis.

Dia yakin kalau dia nggak cinta sama Karto, tetapi perselingkuhan Karto dan Tuti membuat harga dirinya terasa begitu rendah.

Murti mau mencoba untuk tidak sakit hati, tetapi tetap saja, dia nggak bisa bohong.

Bisa=bisanya kartu yang udah nikah resmi sama dia, berhubungan badan dengan wanita lain dan dia bisa melihat semua itu dengan matanya sendiri.

Dan sekarang Daniel yang menurut Murti, pria yang berbeda. Ternyata ada hubungan spesial antara Daniel dan Tuti.

Rasa percaya Murti yang tadinya muncul untuk Daniel, tiba-tiba hancur berantakan.

Tok…tok…tok.

Pintu diketok lagi.

"Daniel kamu di kamar, apa udah tidur? Kalau gitu aku pulang ya! Oh iya, ngomong-ngomong besok aku mau nonton loh sama teman kamu, ternyata dia orangnya seru!"

Murti mengerutkan dahi.

"Temannya, maksudnya? Apa Tuti ada main dengan pria lain juga?" Gumam Murti sangat pelan, jangan sampai terdengar oleh Tuti di balik pintu.

"Dasar Tuti benar-benar murahan!' Batin Murti nggak percaya.

'Setelah kemarin kepergok satu kamar lagi begitu, sama suaminya. Hari ini Tuti udah berkelana di rumah para pria lain dan tadi Tuti bilang mau nonton sama cowok lain? Harga diri Tuti benar-benar nggak ada sebagai wanita!

Murti bingung, ada wanita seperti itu.

"Daniel… kamu tidur? Kok kamu cuekin aku sih? Ya udah deh, kalau gitu! Kamu pasti masih marah kan sama aku? Karena aku, karena aku tanggapin Zaffan."

"Mau gimana lagi lah Niel, hubungan aku sama Karto itu sudah selesai. Murti udah balik ke sini, lagian Karto udah buang aku kayak sampah! Sudahlah capek ngomong sama kamu, aku mau pulang!"

Murti menarik nafas mengelus dada.

'Apa itu artinya Karto sudah memutuskan hubungannya dengan Tuti? Kenapa sih, aku masih mikirin Karto?'

'Padahal sudah jelas-jelas Karto itu selingkuh, sudah jelas-jelas orang tua Karto itu cuma manfaatin aku! Tetapi kenapa sih, aku nggak bisa ninggalin semua itu dan benci mereka?'

Sambil menyeka wajahnya Murti, kelihatan resah dan bingung di balik pintu. Hingga pada akhirnya dia terduduk di lantai.

"Loh? Aku pikir kamu udah tidur, kamu ngapain?"

Murti langsung terdiam mendengar suara Tuti di luar, sepertinya Tuti melihat Daniel.

"Loh…kamu sendiri, ngapain Tut?" Daniel balik bertanya.

"Aku pikir tadi kamu udah tidur, pintunya dikunci loh!"

Daniel terlihat gugup.

"Oh iya, ini aku kunci."

"Kamu dari luar?' Tanya Tuti sambil meneliti barang yang dibawa oleh Daniel, satu pilih makanan dan obat merah.

"Kamu mau ngobatin luka kamu? Sini aku bantuin, kan tadi aku tawarin tetapi kamu nolak! Terus itu makanan buat apa?"

Daniel kelabakan bingung, harus menjawab apa, masalahnya dia kan baru saja selesai makan.

"Aku lapar, ini…soalnya mungkin luka aku lagi butuh perbaikan gizi."

"Perbaikan gizi gimana? Itu kamu makan cuma pakai mie doang, aku masakin ya? Mau makan apa? Masih ada telur sama ikan di kulkas, aku masakin ya?"

"Nggak-nggak, nggak usah deh! Ini cukup kok! Aku mau begadang malam ini, mengerjakan laporan, jadi enak kan kalau sambil makan."

"Ya udah, aku tambahin menunya. Masa sih makan nasi sama mie doang."

"Nggak usah Tut, lagian sudah malam. Kamu pulang, nanti kalau ada apa-apa di jalan gimana?"

"Nggak apa-apa kok, nanti ada yang jemput tukang ojek langganan."

"Udah nggak usah Tut, udah ini aja, cukup kok!" Daniel memaksa Tuti supaya pulang.

Masalahnya, ini makanan bukan buat Daniel tetapi buat Murti. Semakin lama Tuti di sini, maka semakin bingung Daniel mengusir Tuti.

Bagaimana dengan Murti dalam sana yang sudah kelaparan?

"Ya udah kalo gitu, aku obatin dulu deh luka kamu!"

Daniel langsung menyembunyikan lengan yang terluka.

"Gak usah Tut, kamu gak usah repot-repot! Kerjaan kamu tuh banyak, kamu udah kerja seharian di sini. Kan kamu capek, kamu harus istirahat dong!"

Sambil mengawasi rambut yang jatuh di dahi, Tuti mesem-mesem.

"Aku nggak capek kok, lagian tadi aku udah healing."

"Healing? Tanya Daniel.

"Memangnya kamu nggak tahu? Tadi kan aku di kamar Zaffan."

"Hemm…." Daniel berdeham sambil memalingkan wajah.

"Gimana dia nggak tahu, orang suaranya kedengeran banget.'

"Tuti, bisa nggak sih? Kamu sama zaffan jangan ngelakuin itu di sini? Nanti kalau teman-teman yang lain tahu gimana? Memangnya nggak bisa gitu Zaffan cari tempat lain gitu, bayar hotel kek, apa kek gitu, bawa ke kota kek atau kayak gimana gitu!

Tuti malah makin mesem-mesem malu.

Memangnya kenapa? Kan kalau mas Daniel dengar, mas Daniel jadi pengen."

"Tuti…kalaupun aku pengen, nggak bakalan aku mau sama kamu! Kamu udah bekasnya Karto, sekarang bekasnya Zuffan, nggak tahu kan bekasnya siapa lagi!"

"Ih…mas Daniel gitu amat sih!' Sambil memukul lengan Daniel, Tuti cemberut manja.

"Ya udah deh, sini Tuti bantuin mengobati lukanya!"

Dengan suara manja, Tuti memaksa mengobati luka Daniel. Sementara di dalam kamar, Murti merasa mendidih, ingin murka dan mencakar-cakar wajahnya Tuti.

'Ternyata begitu cara Tuti merayu pria, sangat luar biasa ya!' Batin Murti kesal bukan kepalang.

"Udah Tuti, nggak usah! Lagian ini juga lukanya sudah mau sembuh. Makasih yah, kebaikan kamu, kamu istirahat ya!"

"Oh iya, besok weekend tuh kamu mau keluar sama Zaffan. Nah…kamu gak usah kerja di sini ya, soalnya mmm…aku juga mau keluar!"

Daniel berbohong, padahal dia sengaja membuat Tuti nggak masuk. Karena akan sangat repot mengurus Tuti, sementara ada Murti. Dia nggak mau hal itu sampai bentrok, apalagi dia tahu permasalahan antara Tuti dan Murti.

"Ih….kok gitu mas? Aku masih ada waktu kok, paling nonton berapa jam sih?"

Dengan tatapan menggoda, Daniel mendekati wajah Tuti.

"Kamu yakin cuma nonton doang, sama Zaffan?"

"Hehehe…" Tuti tertawa geli.

"Ya, nggak mungkin lah mas. Soalnya nanti habis menonton, kita mau berenang."

"Tuh kan! Tebakan aku benar. Jawab Daniel.

"Mas Daniel mau ikut? Tetapi mas Daniel lebih baik bawa cewek deh, soalnya kasihan kalau mas Daniel jadi nyamuk."

Daniel menggeleng cepat.

"Nggak Tut, aku ada kerjaan. Aku harus beresin tugas, lagian sebulan lagi kita harus cabut dari kampung ini!"

"Ah…nggak seru!" Jawab Tuti bete.

"Kamu senang-senang deh sama Zaffan! Ngomong-ngomong, katanya begitu-begitu di dalam air enak loh!"

"Mas Daniel udah pernah coba ya?" Kata Tuti sambil menunjuk wajah Daniel.

"Aku sih coba langsung belum, tetapi aku sering melihat di video."

"Ih…mas Daniel nakal juga ya!" Goda Tuti sambil mencubit perut Daniel.

"Semua laki-laki itu nakal Tuti, apalagi kalau ceweknya meladeni. Tuh contohnya Zaffan."

"Aku sih suka cowok yang nakal!"

"Ya udah sana, pulang gih! Aku ada urusan nih, nanti makin kesini makin ngaco omongan kita. Kerjaan aku nggak kelar-kelar!"

"Mas Daniel mengusir ya?"

"Bukan mengusir, tetapi ini sudah malam. Nanti kalau kenapa-kenapa kamu di jalan, gimana tanggung jawab kami?"

"Ya udah deh!

"Oh ya, sono pamitan sama Zaffan!"

"Mas Zaffan nya lagi mandi."

"Ya udah tunggu aja!" Kata si Daniel.

"Kalau aku tungguin di habis mandi, terus nanti dia keluar dari kamar mandi, yang ada aku nginep disini. Melihat badannya yang uhui, aku nggak tahan."

Daniel menggelengkan kepala.

"Terserah kamu deh Tuti! Udah yah, aku masuk kamar."

"Eh…mas Daniel nggak seru!" Teriak Tuti.

Daniel meninggalkan Tuti menuju kamarnya, dia menoleh dulu melihat Tuti sudah keluar dari rumah apa belum.

Ternyata Tuti sudah berjalan ke arah teras, Daniel bernafas lega.

"Huh…akhirnya Tuti pulang juga. Kalau nggak meladeni omongan Tuti, pasti makin ngelantur lagi deh dia."

Mendekatkan wajahnya ke daun pintu, Daniel berbisik.

"Mur…Murti? Ini Daniel!"

Selang beberapa detik pintu terbuka.

Cklekk…

Daniel bisa melihat muka Murti yang muram, Daniel yakin Murti mendengar percakapan dia dengan Tuti yang sangat akrab tadi.

Dia nggak bisa menghindari hal itu dan dia nggak bisa menebak kalau Murti pasti marah.

Daniel masuk ke kamarnya menaruh makanan di meja dekat laptop, lalu obat-obatan di kasur. Sementara Murti berdiri dengan wajah tertunduk.

"Kamu lapar kan Mur? Itu aku udah bawain makanan."

Murti diam saja, perasaan Daniel udah nggak enak.

"Mur kamu makan dulu aja ya, aku tinggalin ya? Aku takut kamu nggak nyaman."

Baru saja Daniel mau meninggalkan kamarnya, tiba-tiba Murti ngomong.

"Ngapain kamu harus keluar? Ini kan kamar kamu!" Suara Murti ketus banget di telinga Daniel. dan dia langsung berbalik badan sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Habisnya, aku, aku tahu kamu pasti marah sama aku."

"Tuh, kamu tahu aku marah sama kamu!"

"Ya makanya dari itu, aku lebih baik keluar saja dari kamar. Kamu bisa makan!"

"Ya kalau kamu tahu kamu salah, harusnya kamu ngomong dong! Minta maaf kek, apa kek, bukannya malah kabur kayak gitu!"

Daniel tambah bingung, tetapi mukanya tampak kayak orang bodoh.

"Ya terus gimana, maksud aku tuh, aku mau menghindari kamu dulu. Biar kamunya redaan."

Murti langsung mengangkat kedua tangannya, dilipat di dada. Matanya menatap ke arah Daniel sinis.

"Oh jadi menurut kamu, kalau kamu tinggalin aku aku bakalan tenang gitu? Mendengar percakapan kamu sama Tuti yang sangat akrab itu! Bahkan kalian membahas hal-hal yang sensitif dan menggelikan, sumpah aku jijik."

"Jadi kamu memang punya hubungan khusus kan sama Tuti?"

Tiba-tiba emosi Murti meluap, entah mungkin dia cemburu karena Tuti bisa dapetin Karto dan sekarang Tuti juga bisa akrab dengan Daniel. Sumpah itu membuat darahnya benar-benar mendidih.

"Tuti itu udah lama kerja di sini, dia bantu-bantu di rumah ini, masak dan urus semua keperluan kita dan kita udah tiga bulan di sini. Jadi menurut aku ya, ya kita wajar aja dong kalau akrab."

"Oh menurut kamu itu wajar ya? Menurut kamu wajar antara cewek sama cowok itu akrab, bahkan bahas-bahas hal-hal yang nggak penting kayak gitu?"

"Benar-benar ya nggak punya etika, nggak punya adab! Aku tuh bingung ini tuh di kampung, tetapi kelakuan kalian tuh lebih liar dari luar negeri."

"Ya aku, gimana ya?" Daniel jadi tambah bingung.

"Kok kamu malah bilang gimana ya? Memang benar kamu ada hubungan khusus sama Tuti? Pantesan dari hari pertama ketemu, kamu selalu belain Tuti. Padahal tuti itu jelas salah!"

"Bukannya gitu Mur, aku nggak pernah belain siapa-siapa dan aku tahu kalau itu salah! Dan suami kamu apalagi, dia lebih salah."

"Aku tahu kalau kamu itu korban, cuma masalahnya adalah aku nggak bisa memihak siapa-siapa? Karena aku enggak ada urusan!

"Jelas-jelas kamu memihak nya Tuti!"

"Nggak Mur, aku nggak memihak Tuti!"

"Bohong!"

"Beneran!"

"Karena kamu ngerasa udah deket sama Tuti, terus kamu belain kan Tuti? Meskipun dia salah!"

"Nggak, aku nggak belain siapa-siapa!"

"Ya sudahlah kamu daripada emosi tambah lapar, lebih baik makan dulu ya?"

Daniel akhirnya mengalah, dia mencoba membujuk Murti dengan lembut. Tetapi ternyata Murti itu memang keras kepala dan susah banget dibujuk.

"Aku nggak mau makan, aku mau keluar aja dari sini!"

"Mur, aku kan udah bawain makanan buat kamu! Di makan dulu deh, meskipun sedikit."

"Nggak makasih, aku pergi dari sini!"

Murti benar-benar mau keluar dari kamar Daniel, dia keluar lewat pintu kamar sedangkan dia masuk lewat jendela.

Baru beberapa langkah dia keluar dari kamar Daniel, dia mendengar suara Zaffan.

"Niel! Loe lihat Tuti nggak?

Beringsut Murti langsung kembali masuk ke dalam kamar Daniel.

Ceklek…

Murti langsung mengunci pintu kamar Daniel, dadanya berdebar kencang. Daniel yang mengambil makanan yang ditolak murti bingung.

"Loh…Mur, kamu balik lagi!"

"Sstt…." Murti menempelkan jari telunjuk ke bibir.

"Jangan berisik, itu teman kamu!"

"Zaffan?" Tanya Daniel.

"Niel, loe ngomong sama siapa sih di kamar?" Tanya Zaffan berteriak dari luar kamar.

Murti mengangguk memberi bahasa verbal, Daniel mengerti dan tersenyum. Dia menarik tangan Murti lembut, menyuruh Murti duduk di tepi ranjang. Lalu dia menaruh piring berisi makanan di pangkuan Murti.

Daniel memberi aba-aba untuk makan dengan tangannya dan Murti menurut. Lalu Daniel menurunkan kepalanya di samping telinga Murti, sambil berbisik dengan suara yang berat.

"Makanya kamu jangan berani kabur dari aku, sekarang yang bisa melindungi kamu cuma aku."

Setelah mengatakan itu, Daniel tersenyum di hadapan wajah Murti, lalu dia keluar dari kamarnya.

"Zaf, gue mau ngomong sama loe?" Kata Daniel kepada temannya dengan suara kencang.

Dia sengaja, supaya Murti mendengar kalau di luar itu ada orang dan murti gak bisa bergerak dan berkutik tetap berada di kamar Daniel.

Mau nggak mau Murti diam di kamar Daniel, lalu dia makan makanan yang diberikan Daniel tadi.

Dalam hati Murti berdebar-debar sangat kencang.

"Kenapa sih? Padahal dia cuma berbisik, tetapi kok membuat wajahku panas?