"Kamu siapa? Kalian kenapa enggak masuk ke dalam? Kalian murid baru, kan? Apa yang kalian lakukan, jujur?!" tanya seorang perempuan beralmamater hitam—ciri khas anggota OSIS di SMA tempat Alsava sekolah.
Alsava mengatup-ngatupkan bibirnya bingung. Sementara laki-laki bernama Faren itu malah dengan santainya menghampiri Alsava sambil menampakkan wajah sengal. Alsava sampai menautkan alis tidak percaya.
"Kenapa? Emang di dunia ini ada larangan pacaran sebelum masuk kelas?"
Mata Alsava membulat kembali.
"Faren!" gentak laki-laki yang ternyata seorang Ketua OSIS di SMA Bimasakti, pantas saja Alsava merasa tidak asing.
"Apaan, sih? Kalau mau hukum, ya, hukum aja, enggak usah gentak-gentak, lo siapa?"
"Udah, Len, jangan emosi dulu," ucap perempuan di samping Ketua OSIS.
Dia Galen yang tak lain kakak Faren dan perempuan yang berada di sisinya adalah sekretaris OSIS, namanya Miya.
Galen maju ke depan, ia mencengkram kerah baju Faren. "Jangan aneh-aneh, lo harus lebih baik lagi atau gue bakal bilang ke ayah kalau lo buat ulah lagi, dan apa ini? Lo pacaran, lo doktrin orang lain, hah?"
"Ak-aku bukan pacar dia," ucap Alsava. Ia mengumpat dalam hati, ke mana abangnya saat ini, untuk menitipkan motor saja lamanya minta ampun. Ucapan Alsava seolah tak diindahkan, ia semakin kesal, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Faren tersenyum miring. Ia lepas paksa cengkraman Galen dari kerah bajunya. "Lo emang anak emas di mana pun, ya?" ucapnya seraya merapikan dasinya yang berantakan.
"Kalian berdua kena hukuman, pertama karena telat masuk, kedua karena pacaran di lingkungan sekolah, ketiga karena ...."
"Tunggu-tunggu, ini namanya fitnah, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan, Kak," celetuk Alsava, memotong ucapan Miya.
"Biar dia aja yang dijemur, kamu masuk aja ke dalam," sambar Galen.
"Tapi, Len?" sanggah Miya.
"Dia masih anak baru, kasihan kalau harus dihukum, apalagi perempuan, lo juga ngalamin jadi anak baru, kan? Nah kalau si Kunyuk ini, dia kalau bisa dihukum aja setiap hari!"
"Mana ada, gue mau dihukum sama pacar gue, apa jangan-jangan lo suka, ya, sama pacar gue? Haish ... lo itu emang selalu jadi perebut dalam hidup gue."
Mata Galen membulat. "Sampah akan tetap menjadi sampah! Udah hukum aja nih anak berdua!" Setelah mengatakan itu Galen langsung membalikkan badan.
Tepat saat ia membalikkan badan, bahunya terbentur pada bahu seseorang. Ia mendongak karena orang itu lebih tinggi darinya.
"Dia adik saya dan dia belum punya pacar," ucap Dareen dalam sekali tarikan napas, "kali ini saya akan temani dia dihukum. Saya enggak akan izinin adik saya berdiri di samping berandal macam dia!"
Miya meneguk ludah susah payah. Siapa yang tidak kenal dengan siswa kebanggaan sekolah ini. Bahkan baru kali ini ia melihat Dareen datang ke sekolah terlambat.
"Baik, Kak," ucap Miya.
Galen memejamkan mata lalu mengusap wajahnya kasar. "Maaf," ucapnya sebagai bentuk hormat karena telah membentur bahu kakak senior, setelah mengatakan maaf dia langsung pergi begitu saja.
Dareen mendekat ke arah Faren. Ia tatap Faren dari atas sampai bawah. "Jangan harap bisa jadi pacar adik saya!" hardiknya, setelah itu ia tarik tangan Alsava untuk menjauh darinya. Nama mereka boleh saja hampir mirip, tapi untuk sikap sangat jungkir balik.
Dalam hati Alsava bersorak senang, abangnya ini memang memiliki aura berbeda. Banyak yang tunduk kalau sudah ada dia. Berbanding terbalik dengan Darel, abangnya yang satu itu sangat nakal, sering keluar-masuk ruang BK karena kasus berkelahi. Dia ditakuti karena jago pukul, pokoknya berbeda dengan Dareen.
Faren memandang punggung Alsava dan Dareen dari belakang sambil tersenyum miring. Ia bahkan tidak kenal siapa perempuan dan laki-laki itu.
"Menarik juga," desisnya seraya menaiki motor kembali. Ia akan memasukkan motor kesayangannya ke dalam parkiran.
Sebenarnya dia tidak telat, dia memang sengaja ingin membuat Galen marah.
***
Di mana anak baru sedang saling kenal satu sama lain di kelas, Alsava malah harus menerima kenyataan dihukum bersama dua laki-laki beda kepribadian ini. Ia berdiri tepat di samping kanan abangnya dan Faren di samping kiri abannya itu, Dareen sengaja memilih tempat di tengah.
"Bang, aku capek," rengek Alsava.
"Abang juga."
Alsava mendengkus. "Abang, kan, disayang guru, bilang kek mohon maafin kita gitu?"
Dareen menggeleng. "Nikmatin aja."
Lagi-lagi Alsava mendengkus.
Faren menatap sepasang kakak beradik di sampingnya dengan pandangan datar. Keningnya sudah dipenuhi keringat.
Mereka boleh ke kelas setelah berjemur selama tiga puluh menit, sadis memang. Untungnya masih pagi, kalau sudah siang bisa matang.
"Bang, anterin ke kelas, ya?" ucap Alsava seraya menggoyahkan tangan Dareen.
Dareen menatap Alsava sambil tersenyum kecil. "Udah besar, belajar mandiri, Abang harus ke ruang praktek, bye." Tanpa mau mendengarkan ucapan Alsava lagi, dia langsung pergi begitu saja.
Alsava menghentakkan kakinya di lantai. Ia merasa malu harus datang ke kelas telat, pasti saat ia menyembul di pintu seluruh penghuni kelas menoleh ke arahnya. Membayangkannya saja ia sudah merinding, apalagi harus menghadapi kenyatannya.
Alsava menatap lurus ke depan, laki-laki bernama Faren yang tadi dihukum bersamanya berjalan menuju arah yang sama dengan ruangan kelasnya. Ia langsung berlari, setidaknya ia tidak terlalu malu kalau misalkan satu kelas dengan Faren dan datang telat berdua. Pasti yang lebih menjadi tatapan publik Faren, dia jauh lebih menonjol jadi tatapan publik ketimbang ia.
Benar, antara sial dan keberuntungan, sial karena harus satu kelas dengan berandal dan beruntung karena ia tidak terlalu malu harus masuk ke kelas yang sedang ramai-ramainya.
"Woi, Re, bisa-bisanya lo kena hukuman di hari pertama masuk sekolah!" teriak seorang laki-laki dari arah berlawanan, ia langsung merangkul Faren.
Saat melihat Alsava menyembul di belakang Faren, laki-laki itu bersiul. "Siapa?" bisiknya pada Faren. Faren hanya menggedikkan bahu.
Alsava melirik ke bagian perempuan, sudah sepasang semua. Ia mencari di mana teman-temannya berada, tapi mereka pun sudah duduk sepasang. Tinggal dua bangku di belakang, Alsava menoleh ke arah Faren. Sebelum laki-laki itu menempati, ia harus lebih dulu.
"Al, kenapa bisa telat?" tanya Kin, sahabat dekatnya sejak SMP. Nama panjangnya Kin Sanjaya.
Alsava memasang muka melas. "Ya, gitu dah. Raka mana?"
"Dia lagi disuruh sama wali kelas, dia kepilih jadi ketua kelas lagi."
Raka juga sahabatnya sejak SMP. Alsava memiliki empat sahabat dekat, dua laki-laki dan dua perempuan, namanya Kin, Raka, Ivy dan Dira. Kini mereka masuk satu kelas yang sama, sebuah keberuntungan yang jarang didapatkan.
Ivy dan Dira langsung datang. "Al, kenapa?" tanya Ivy.
"Kesiangan sekeluarga."
Dira menepuk keningnya. "Tante Gwen emang sebelas dua belas sama lo, Al."
Alsava menimpuk Dira dengan tissue bekas keringatnya. "Enak aja."
"Btw, lo dihukum sama tuh cowok kali?" tanya Ivy.
Alsava menganggukkan kepalanya sambil menampakkan wajah malas. "Apes banget gue hari ini."
"Apes apaan, dihukum sama cogan gitu, kok, apes?" celetuk Dira.
"Co-cogan?" ulang Alsava seraya menelan ludah susah payah. "Dia lebih kelihatan kayak berandal jalanan tau, enggak?"
Ivy terbahak. Bahakan tawanya terhenti saat salah satu orang yang ia tertawakan ada di sampingnya. "Bisa minggir?"
"Mau ngapain?" sambar Alsava seraya bangun dari duduknya.
"Cuma bangku ini yang kosong, jadi enggak ada tujuan lain selain duduk, kan?" jawab Faren, dia langsung menaikkan sebelah alisnya sebagai bentuk ketidaksukaan ia akan gaya bicara Alsava yang terkesan otoriter.