Alsava dan Ivy saling bertatapan, hanya beberapa detik saja, sampai akhirnya mereka berdua menjawab, "Udah tau."
Dira mengatup-ngatupkan bibirnya tidak percaya, biasanya selalu ia yang paling update dengan berita daripada Alsava dan Ivy.
"Katanya dia nakal," ucap Dira lagi.
"Udah tau," jawab Alsava dan Ivy bersamaan.
"Dih apaan, sih, kenapa kalian tau lebih dulu?" protes Dira tidak terima.
Ivy merangkul Alsava. "Pertama, dia punya nama panjang sama kayak kak Galen, kedua dia emang nyebelin otomatis nakal, ketiga ...."
"Udah-udah, jangan omongin dedemit sawah itu, enek puyeng gue dengernya, mending cabut ke kelas, bentar lagi bel," sanggah Alsava.
***
Saat bel pulang berbunyi Alsava langsung melesat ke tempat Kin dan Raka. "Kin, anter gue pulang, ya, gue enggak mau gayor tiga sama kedua abang gue lagi," bisik Alsava.
"Apaan, gue mau futsal, Al, kalau lo mau bareng gue, tungguin gue futsal dulu, ya?"
"Dih, pelit banget lo!"
Kini Alsava berpindah ke Raka yang sedang sibuk mengutak-atik handphone-nya. "Apa, lo lupa motor gue patah tulang gara-gara balapan kemarin? Kalau mau pulang sama gue oke aja, naik bus sekolah."
Alsava mengangguk setuju. "Yaudah enggak apa-apa."
Dira dan Ivy rumahnya berdekatan, mereka selalu pulang dan berangkat berdua, jadi tidak mungkin Alsava meminta bantuan temannya yang dua itu. Ia tidak mau gayor tiga lagi.
Alsava mengekori Raka dari belakang. Temannya yang satu ini baru masuk saja sudah populer, sejak SMP Raka memang banyak dikagumi perempuan, tapi di mata Alsava, Dira, dan Ivy, Raka tetaplah Raka, cowok krisis akhlak yang nyebelin.
Sejak SMP Alsava memang paling dekat dengan Raka. Sebenarnya di mata orang-orang Raka ini laki-laki yang dingin, bahkan dia belum pernah yang namanya pacaran, saat SMP pernah dekat dengan adik kelas, tapi gosip langsung menyebar kalau adik kelas itu hanya memanfaatkan Raka, jadilah sampai saat ini Raka belum pernah berhubungan lebih dengan perempuan selain ketiga sahabatnya.
"Al, Abang lo," ucap Raka seraya menghentikan langkahnya.
Raka ini teman baik Darel, dia satu tongkrongan. Darel lebih percaya dengan Raka ketimbang Kin, Kin ini bisa dibilang predator darat yang hidup bertopeng riya bagaikan good boy andalan semua wanita. Dari keempat sahabatnya, Kin yang paling banyak mantannya dan paling sering menyakiti perasaan perempuan.
"Ayo pulang," ucap Dareen. Darel malah sibuk menyibak-nyibakkan rambutnya.
"Aku sama Raka aja deh, Bang, enggak mau lah gayor tiga lagi."
Dareen menatap Raka, anak itu sedang bersandar di dinding sambil memasukkan tangan ke saku celananya.
"Bawa motor?" tanya Dareen. Abangnya yang satu ini sulit percaya dengan siapa pun.
Raka menggeleng. "Motor gue lagi dipermak, Bang."
"Lo mau anter adek gue pake apa?"
"Gue sih naik bus, kalau Al mau ikut nanti gue anter sampe depan rumah, santai aja enggak bakal lecet."
Alsava mengacungkan dua jempolnya. "Raka emang paling the best," ucapnya setengah berbisik. Raka hanya tersenyum miring menanggapinya.
"Yaudah, gue titip nih," ucap Dareen kepada Raka.
Raka mengangguk. "Udah tiga tahun nih anak gue anter-jemput, tenang aja, udah terbiasa dia nempel di ketek gue, Bang."
Alsava langsung menimpuk Raka dengan tissue bekas keringatnya. "Apaan, orang kalau dianter aja gue mah selalu ngikutin lo di belakang, udah kayak jalan sendirian."
"Itu lebih baik, daripada lo kena gosip pacaran sama gue?"
Dareen mendecih. "Udah-udah sana pergi keburu busnya berangkat."
***
Saat sedang berjalan menuju parkiran, Alsava dibuat teriak oleh suara deru motor yang saling sahut-menyahut dari arah belakang. Matanya membulat, tangannya bersedekap di dada. Alsava ini mudah kaget.
Raka tertawa melihat ekspresi Alsava. "Kayak anak kecil kaget lihat balonnya meleduk lo, Kunyuk," ucap Raka.
"Sialan tuh motor, belum aja gue kuliti sampe tinggal kerongkongannya doang, sial banget gue hari ini," gerutu Alsava.
"Itu orang kayaknya mau tawuran dah," ucap Raka. Kini mereka mulai berjalan kembali, tapi kali ini berbeda, Raka ada di samping Alsava bukan di depannya.
"Siapa sih emang tuh orang?"
"Teman sebangku lo sama teman-temannya."
"Gila tuh makhluk astral, kenapa gitu orang kayak dia bisa hidup di muka bumi ini."
"Jangan terlalu benci, nanti suka."
Alsava langsung memukuli lengan Raka sambil ngomel tidak jelas. Kekurangan Alsava ya ini, mudah marah dan tidak bisa mengontrol emosi. Mungkin karena dia terbiasa dimanja saat di rumah, sangat berbeda dengan Raka yang harus terlahir menjadi anak pertama dengan empat adik laki-laki kurang ajar semua.
"Al, gue di-chat sekretaris OSIS, mau ngapain, ya?" tanya Raka saat sudah duduk di dalam bus. Mereka duduk bersampingan.
Alsava menggedikkan bahu. "Mungkin kode buat PDKT."
"Gue enggak doyan sama yang lebih tua, Al."
"Dih najong."
"Bales enggak, ya?"
"Bales lah, lo mau jadi kayak Kin, menyakiti hati perempuan mulu?"
"Ini kasusnya beda, Juminten!"
"Beda apanya?"
"Dia nyakitin setelah bikin tuh cewek melayang, kalau gue, kan, nyakitinya di awal, itu lebih bagus, lha."
"Ya pada intinya sama-sama nyakitin, apa bedanya?"
Raka mendengkus. "Perempuan selalu benar, pasal satu tidak bisa diganggu gugat, oke gue diam."
Alsava cekikikan bangga bisa menaklukkan cowok incaran banyak perempuan ini.
"By the way, si Renata gue lihat kemarin pasang status udah jadian sama mantan OSIS tahun kemarin."
Wajah Raka langsung berubah datar. "Enggak peduli gue."
Alsava cengengesan. Renata itu adik kelas yang dulu sempat berhasil meluluhkan hati Raka, tapi nyatanya anak itu dekati Raka cuma mau mengandalkan motornya saja.
"Bang Darel itu pernah deket sama cewek enggak sih, Ka? Gue empet banget lihat abang gue enggak ada berubahnya. Kali gitu kalau deket sama cewek bisa berubah."
"Abang lo baik sama banyak cewek, tapi enggak pernah pacaran apalagi terlalu deket. Kalau nongkrong aja anak-anak sibuk sama doinya, dia main mobile legend sama gue."
"Ck ck ck, kasihan banget ya lo berdua, muka doang tampan tapi ...."
"Tapi apa? Gue cekek lo!"
Belum sempat Alsava membalas perkataan Raka, ucapannya dibuat berhenti dengan suara benda terhantam dari arah samping. Spontan Alsava langsung menyembulkan kepalanya di jendela yang terbuka.
Raka langsung menarik kepala Alsava lalu menutup jendela rapat-rapat. "Lo mau hidup tanpa kepala kayak hantu jeruk purut, hah?" omel Raka.
"Ya maaf khilaf."
Akhirnya mereka sekarang melihat dari balik jendela yang sudah tertutup, tidak hanya mereka, hampir seluruh penumpang melihat ke luar.
"Gue bilang apa," cicit Raka seraya duduk kembali di tempatnya.
"Dia tawuran?" tanya Alsava tidak menyangka.
Raka mengangguk.
"Kok lo bisa kenal dia?"
Raka tertawa. "Kalau gue bilang dia pernah dipukulin abang lo sampe masuk rumah sakit percaya, enggak?"
"Abang gue yang mana?"
"Darel, dia pernah bikin Darel marah, ending-nya dipukulin, dia enggak bales sama sekali pukulan Darel, lo tau sendiri abang lo jago bikin musuh enggak berkutik?"
"Mampus gue!"
"Kenapa mampus?"
"Kalau dia tau gue duduk sama tuh demit, bisa tiap hari ke kelas gue dia."
Raka tertawa. "Posesif banget abang-abang lo, ya. Gue mah bodo amat sama adek gue."
"Ya adek lo cowok semua."
"Iya juga sih, gue kalau punya adek cewek, bakal gue ajarin ilmu kanuragan biar enggak ditindas cowok macem Kin."
"Kin itu spesies nyebelin, tapi kenapa gue enggak bisa benci, ya, sama dia?" ucap Alsava seraya mengalihkan pandangannya ke depan. Sudah tidak peduli dengan pertengkaran yang baru saja dia lihat.
Raka hanya menggedikkan bahu menanggapinya.