Faren hendak turun dari motor saat jalannya dihentikan, tapi temannya melarang, mereka tahu persis bagaimana Faren, anak itu sering kalap kalau sudah kesal dengan orang lain. Membiarkan Faren turun sama saja membiarkan perang dunia ke sekian terjadi tanpa sebab jelas.
Kenzo alias Kinyong yang sedang nangkring di jok bagian belakangnya sudah rewel sejak tadi. Namun Faren sama sekali tidak memberikan respon positif dari kerewelannya itu.
"Puter balik aja, Re, firasat gue enggak enak."
"Udah kayak Ki Prana lo, sok tau banget," celetuk Faren.
"Re, dengerin gue, dia ada banyak, kita cuma berempat, lo mau mati muda?"
Faren mendengkus, akhirnya ia memutuskan untuk putar arah. Namun cukup disayangkan, tepat saat ia hendak melakukan itu, ada bus sekolah sedang melintas, alhasil motor bagian belakangnya harus terbentur motor milik anak SMP Candana yang merupakan musuh bebuyutan mereka. Kenzo hanya bisa mengembuskan napas pasrah, kali ini ia relakan jiwa dan raga untuk membantu teman-temannya dari bocah ingusan itu.
"Haish, apa-apaan," gentak Faren, ia tidak terima motornya harus menjadi sasaran.
Kini ia sudah tidak mendengarkan ucapan teman-temannya lagi. Dengan mental setebal baja dia maju ke tengah-tengah anak-anak SMA Candana yang sudah terlihat seolah hendak melahapnya hidup-hidup.
"Mau lo apa?" tanya Faren, kali ini ia masih santai.
"Minggu kemarin lo berempat keroyok teman-teman gue, sekarang kita mau balas dendam!" jawab Gavin—ketua dari kelompok brandal itu.
Faren tertawa. "Keroyok? Dia berenam kita berempat dan sekarang kita berempat lo semua berapa orang ini? Lo semua laki? Oh, banci?"
Tepat di saat itu satu pukulan melayang ke wajah Faren. Darah segar keluar dari ujung bibirnya. Kali ini Faren sudah tidak menampakkan wajah bersahabat. Saat ada yang hendak memukulnya dari belakang, Kenzo menepisnya, saat ada yang mau memukulnya dari samping Ardian dan Alvaro ikut turun tangan.
Faren tersenyum kecil sambil mengusap darah di ujung bibirnya. Ia maju beberapa langkah ke hadapan Gavin. Tanpa aba-aba Faren memukul wajah Gavin sampai laki-laki itu tersungkur ke tanah, dari situlah mulai peperangan sengit antara empat orang lawan delapan belas orang.
Secara logika mungkin mereka berempat akan kalah, tapi kenyataannya, mereka berempat malah menang. Empat serangkai ini sangat pandai pukul-memukul, tapi sangat lemah di bagian pelajaran sekolah. Setidaknya mereka masih punya kelebihan.
Yang paling babak belur adalah Alvaro, dia ini memang lebih kecil dari keempat temannya, tapi dia bukan tipe laki-laki pengecut, walaupun tubuhnya tidak tinggi besar, perutnya itu ada roti sobeknya, dia rajin olahraga dan aktif les bela diri.
"Lo enggak apa-apa?" tanya Kenzo pada Ardian seraya mengulurkan tangannya. Ardian menerima uluran tangan Kenzo lalu bangun dari ketersungkurannya.
"Enggak apa-apa, cuma kebas aja pipi gue kena tampar," ucap Ardian seraya memegangi pipinya yang memerah.
"Cabut," ucap Faren, dia sudah naik ke atas motor, siap untuk pergi.
Kepergian mereka diiringi tepukan tangan para perempuan yang tidak sengaja melihat di sisi jalan. Karena ini kawasan SMA Candana, sudah pasti para perempuan itu anak-anak dari SMA Candana.
***
Raka mengantar Alsava tepat di gerbang rumahnya. Ternyata kedatangan mereka ditunggu-tunggu Dareen dan Darel.
"Thanks, Ka," ucap Alsava.
Raka mengangguk. "Yaudah, gue langsung pulang, ya."
"Buru-buru amat." Itu suara Darel.
Raka tersenyum miring. "Gue harus anter nyokap ke tempat arisan, telat dikit uang jajan gue dikurangin."
Darel terbahak, mereka memiliki kesamaan perihal ini, terlihat garang di luar, tapi tetap akan kalah jika sudah berhadapan dengan ibunya.
Dareen memilih masuk lebih dulu, setelah itu disusul Darel, dan Alsava memilih menunggu Raka sampai hilang dari pandangan, tidak sopan rasanya kalau habis diantar langsung masuk begitu saja.
Setelah Raka hilang dari pandangan, Alsava mulai masuk ke dalam rumah. Bu Gwen sudah menunggunya di meja makan. Dua abangnya sudah melesat ke kamar lebih dulu.
"Cepat ganti baju, cucian, terus turun!" titah Bu Gwen.
Alsava mengacungkan jempolnya. "Siap!" Setelah mengatakan itu dia langsung berjalan cepat ke kamarnya yang berada di lantai dua, tepat di tengah-tengah kamar abangnya.
Kebiasaan Alsava sebelum masuk ke dalam kamarnya. Ia akan mengetuk pintu kamar kedua abangnya. Ketika Dareen dan Darel menyahut di saat itu juga dia langsung masuk ke dalam kamar.
***
Alsava turun paling terakhir, kadatangannya diiringi tatapan tidak suka kedua abangnya. Mereka harus menahan lapar karena Alsava.
"Mau makan aja dandan dulu, heran gue," ucap Darel seraya menyendok nasi dari piringnya.
"Jadi perempuan itu harus telaten tau, kalau buluk nanti enggak laku," ucap Alsava.
"Lo aja enggak laku-laku," celetuk Darel.
"Gimana mau laku kalau kanan-kiri ada macan hutan, orang-orang juga takut kali deketin gue."
Dareen tertawa kecil. "Bersyukur punya Abang kayak kita. Di luar sana banyak orang punya Abang tapi enggak dapet perlindungan penuh, yang ada dijadiin bansur."
"Iya-iya, dua abang Al emang paling the best."
Bu Gwen tersenyum mendengar penuturan anak-anaknya. Ia bersyukur tiga anaknya bisa akur seperti ini. Ya walaupun mereka sering ribut sampai membuat kerugian besar—seperti panci penyok, sapu patah, gagang pengki hilang, dan lain sebagainya—setidaknya mereka masih memiliki sisi waras.
"Ma, nanti Al mau ke cafe, ya?"
"Abang temenin?" sambar Dareen.
Alsava menggeleng. "Al mau pergi bareng Ivy sama Dira. Abang belajar aja yang bener, sebentar lagi, kan, Abang harus menghadapi ujian nasional."
"Nanti mereka jemput?" tanya Darel.
"Iya, nanti ada Raka sama Kin juga, tapi mereka nyusul, Kin futsal dulu terus Raka anter tante Tiara dulu."
"Kalian masih akur sampai sekarang?"
Alsava mengangguk bangga. "Iya dong, Ma."
"Yang jemput kamu siapa?" tanya Dareen.
"Dira sama Ivy lah."
"Gayor tiga?" tanya Dareen lagi.
Alsava menggeleng. "Ivy bawa motor, Dira bawa motor, jadi nanti Al tinggal pilih aja mau dibonceng sama siapa."
Dareen menganggukkan kepalanya paham. "Hati-hati, sekarang lagi zamannya ribut di jalanan, kalau ada yang kayak gitu, ngehindar aja, jangan deket-deket. Terus jangan suka keluar pakai baju sekolah. Sekolah kita lagi musuhan sama anak SMA Candana, jangan sampai jadi sandra."
"Dih serem banget, jadi sandra."
"Lo juga jangan coba-coba ikutan tawuran lagi, Rel, kalau gue sampai denger, gue aduin ke ayah, biar waktu beli motor lo diundur lagi."
Bu Gwen tertawa melihat wajah serius Dareen. Ia tidak perlu banyak bicara, Dareen sudah mewakili ia dan suaminya untuk merawat Alsava dan Darel.
Darel hanya menggerutu, walaupun usianya hanya berbeda satu tahun, dia tetap segan dengan Dareen, sejak kecil keluarga mereka memang membiasakan bersikap hormat kepada yang lebih tua walaupun bahasa mereka sulit dikontrol saat berkomunikasi.
"Jadi boleh, kan, Ma?"
"Ya ... ya ... ya, ayo nikmati makanannya."