Tenggerokan Ana terasa kering. Perut keroncongan. Ana bingung bagaimana cara supaya bisa mendapatkan makan dan minum.
Satu jam kemudian.
Penjaga penginapan datang dengan membawa dua buah mangkok dan sebuah botol air mineral.
Pria tersebut memasukkan mangkok berisi potongan daging ayam hampir basi ke dalam kandang.
Selanjutnya sebelum memasukkan minuman, terlebih dahulu pria itu mencuci tangan dan menuangkan air basuhan tangan ke dalam mangkuk lainnya.
Tanpa Ana duga air bekas cuci tanganlah yang di sodorkan untuk Ana minum.
"Hoekkk..."
"Dasar laki-laki jorok." Umpat Ana kesal.
Ana merasa harga dirinya seolah terinjak setelah di sodori makanan ataupun minuman tak sehat.
"Aku perempuan cantik hei laki-laki jele*k."
"Aku bukan binatang peliharaan yang sesuka hati kau berikan makanan sisa."
"Tunggu saja saat wujudku sudah kembali normal."
"Aku akan membuat perhitungan denganmu."
Sementara penjaga penginapan menjadi heran setelah menyaksikan, anjing yang di kurungnya sama sekali tidak menyentuh daging ayam pemberiannya.
Anjing itu malah terus saja melolong, buat keadaan jadi semakin berisik.
"Hei guk guk, kenapa kau tidak mau makan dan minum?"
Hening sejenak.
"Aku tahu mungkin selama ini kau makan wiskas dan minum susu formula."
"Sayang sekali di sini tidak ada makanan ataupun minuman kesukaanmu."
"Makan dan minumlah terlebih dahulu."
"Sebentar lagi aku akan membawamu ke dekat tempat sampah."
"Di sana banyak kawanan anjing."
"Lebih baik kau aku bawa ke sana.
Di tengah kepanikan luar biasa menyergap, Ama tiba-tiba saja menyadari kalau sekarang tubuhnya telah kembali ke wujud asli sebagai seorang manusia.
Ana menyimpulkan dirinya berada di antara dua dunia berbeda. Saat hendak terlelap tidur, entah bagaimana caranya ia terjebak di alam tak kasat mata.
Sedangkan Ana tersadar kembali ia kembali berubah wujud menjadi seekor anak bulu.
Ana jadi teringat dengan tingkah lakunya di masa lalu. Ana kerap menyiksa hewan.
"Apa mungkin hewan yang dulu aku siksa kini sedang membalas dendam?"
"Ayo ikuti kami." Titah dua orang lelaki dengan tubuh menjulang tinggi setinggi pohon kelapa.
Tanpa ada akhirnya Ana di seret secara paksa. Jalan mereka lalui berbatu dan dipenuhi oleh duri.
Kedua kaki Ana terasa sungguh perih dan tergores. Selanjutnya ada cairan merembes mengalir melalui telapak kaki Ana.
Setelah menempuh perjalanan jauh, tibalah mereka bertiga di sebuah ruangan besar menjulang. Kedatangan mereka di sambut dengan embusan angin bertiup kencang, membawa aroma tak sedap, sehingga perut Ana jadi terasa mual.
"Jangan sampai muntah." Titah seorang wanita mengenakan gaun merah dengan rambut panjang menjuntai hingga ke lantai.
Dengan sekuat tenaga Ana berusaha menahan rasa mual yang sedari tadi sungguh buat perempuan itu merasa tersiksa.
Tanpa Ana bisa mencegahnya terjadinya upacara pernikahan. Setelah upacara selesai, tubuh Ana di bawa ke sebuah kamar beralaskan tumpukan batang pagi yang sudah mengering.
Meskipun tidak rela Ana sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Sekujur tubuh perempuan itu sama sekali tidak dapat di gerakkan.
Keesokan hari sinar matahari membuat mata Ana menjadi silau. Baru saja ia hendak menggerakkan badan.
Ana terkejut bukan main mengetahui bahwa sekarang ia telah berbadan dua. Perutnya telah membesar bagaikan seorang wanita hamil sembilan bulan.
Entah mengapa tiba-tiba saja perut Ana terasa mulas. Ana belum pernah merasakan sesakit ini.
"Jangan katakan kalau aku akan melahirkan." Gumam Ana dengan suara lirih nyaris tidak terdengar.
Detik demi detik Ana lalui penuh dengan rasa sakit. Ana hanya dapat melampiaskan nyeri mendera sekujur tubuh dengan cara meremas kuat tumpukan jerami di sekitarnya.
"Sakit, huhu..."
"Aku tidak kuat lagi..."
"Tolong aku..."
Tubuh Ana sementara melemah, rasa nyeri berpadu dengan perihnya perut karena lapar.
"Minumlah ini..." suara tak kasat mata seorang wanita buat Ana tersentak dari lamunan.
Secara misterius gelas terbuat dari tempurung terangkat melayang mendekati tubuh Ana.
Seolah ada kekuatan gaib memaksa Ana supaya mimun air beraroma menyengat mirip dengan buangan air got.
Meski sekuat tenaga Ana mencoba menghindari, tetap saja tenaganya kalah. Dengat menahan rasa jijik teramat sangat, Ana menelan cairan tersebut seteguk demi seteguk
Tanpa aku sangka Dayang memintaku mengantarkan ia pulang menuju tempat tinggalnya.
Tepat dugaanku Dayang tinggal di sebuah mansion mewah. Kedatangan kami berdua di sambut oleh beberapa orang lelaki bertubuh tinggi, tegap, dengan raut wajah terlihat sedingin salju.
Dayang kemudian mempersilahkan aku masuk.
Dayang juga menawari aku untuk memegang sebuah perusahaan raksasa miliknya.
"Apa tidak terlalu cepat, Dayang?" Aku berpura-pura menolak permintaan gadis manisku.
"Tidak Kak Edward. Aku yakin kamu merupakan pria baik." Jawan Dayang sembari mengulas senyum manis.
"Aku akan marah kalau Kak Edward menolak."
"Yes, usahaku berhasil." Aku bersorak dalam hati.
"Kamu telah masuk ke dalam perangkapku Dayang sayang."
Setelah bertemu Dayang secara perlahan bayang Serenity memudar dengan sendirinya.
Aku tidak perlu menangisi kematian istriku. Biarlah Serenety tenang di alam sana.
Mengenai Eliz aku putuskan tidak akan ambil pusing. Toh sekarang aku sudah dapatkan belahan jiwa. Aku telah berjanji dalam hati. Bersama Dayang akan aku habiskan sisa hidupku.
Saat berdua bersama Dayang aku tidak punya keberanian melakukan sesuatu melampaui batas.
Aku tidak ingin Datang memandangku sebagai pria murahan. Aku harus menampakkan citra sebagai seorang pacar baik dan sopan.
Jelang satu Minggu perkenalan kami, tanpa aku duga Dayang memintaku menjadi suaminya.
Tanpa berpikir lebih lama aku segera mengiyakan permintaan kekasihku.
Hanya saja saat prosesi pernikahan, Dayang ingin dilakukan secara tertutup.
"Aku ingin kita menikah di pinggir laut."
"Tempat terakhir kali aku menghabiskan waktu bersama ayah dan ibu."
"Sebelum kecelakaan maut datang merenggut kebahagiaanku tanpa sisa."
Aku lantas mengiyakan permintaan Dayang. Apa saja akan aku lakukan asalkan dia bahagia.
Saat bersama Datang, aku tidak pernah terpikirkan bermain hati dengan perempuan lain.
Bagiku Dayang merupakan wanita sempurna.
Dayang sungguh berbeda dengan wanita yang sebelumnya pernah mengisi hatiku.
Aku dan Dayang telah sepakat bahwa pesta pernikahan di lakukan pada sebuah pulau pribadi milik Dayang.
Sesaat sebelum prosesi pernikahan terjadi, entah mengapa aku merasa ada sesuatu berbeda, berkenaan dengan nama belakang calon istriku.
Pada detik prosesi pernikahan, barulah aku mengetahui nama asli Dayang.
Dayang Serenty. Nama belakang sungguh mirip dengan mendiang istri pertamaku.
Saat pertama kali memasuki pulau tempat di mana kami berdua akan melangsungkan upacara pernikahan, sekujur bulu kudukku merinding.
Apalagi dekorasi pernikahan terbilang tidak biasa. Sekeliling panggung tempat pelaksanaan pernikahan, telah berjejer rapi makam berukuran dua kali lebih besar dari pada pemakaman pada umumnya.
Namun ada sesuatu terbilang aneh. Lapisan atas jejeran makam tersebut, di lapisan oleh sebuah kaca transparan.