Chapter 4 - Panik

Belum tunangan aja kamu udah berani peluk cewek lain, bagaimana kalau nanti kita jadi nikah."

"Rencana pertunangan kita batalkan aja."

Edward menjadi panik mendengar ancaman Eliz. Pria itu takut kehilangan tambang emas. Dengan menikahi sepupunya, Edward berpikir ia akan dapat hidup senang tanpa harus bersusah payah mencari nafkah.

Edward mengejar Eliz yang telah masuk ke dalam mobil. Mengetuk kaca roda empat berulang kali.

"Eliz sayang jangan ngambek donk. Aku bisa jelasin semuanya."

Ana menatap sayu ke arah Edward yang tengah berusaha keras membujuk Eliz.

Sayang Eliz sedang tidak ingin di ganggu oleh Edward. Setelah satpam membuka pintu gerbang, Mobil yang dikendarai gadis itu segera melesat laju membelah jalanan.

Eliz terus mengemudi tapi pikiran menerawang entah ke mana. Tanpa dia sadari telah melewati portal dunia lain.

Brakkk.

Eliz tersentak setelah mobil yang dikendarainya menabrak pohon tinggi besar menjulang.

Kepala Eliz palsu terantuk membentuk dasboard.

Dengan berjalan terhuyung Eliz palsu keluar. Tak di sangka ia dipertemuan seorang wanita yang menampakkan wajah tak bersahabat.

"Aku peringatkan kamu supaya menjauhi sang pangeran!"

"Seandainya anda tidak hadir di tengah kami, Mungkin sekarang aku dan pangeran sudah menikah!"

"Ini peringatan terakhir dariku."

Wussshhh.

Belum sempat menjawab, Gadis yang mengaku sebagai putri kuntilanak menghilang begitu saja.

Perempuan berhidung mancung itu lantas merogoh kantung celana. Mengambil handphone. Bermaksud hendak mencari bantuan.

Sayangnya sama sekali tidak ada signal di tempat ini. Serenity kemudian putuskan berjalan mencari bantuan.

Tenggerokan Serenity terasa kering, Ia merasa telah berjalan Berjam lamanya, Namun tak jua menemukan pemukiman penduduk.

Peluh membasahi sekujur tubuh, akhirnya putuskan beristirahat sejenak.

Entah dari mana asalnya tiba-tiba saja nampaklah pemandangan sebuah desa era jaman 90-an.

Anak-anak bermain riang gembira. Tapi ada yang terlihat aneh. Tubuh mereka semua tidak memiliki hidung.

Sebuah kursi ajaib berjalan layaknya manusia normal. Menggunakan ke empat kakinya. Kursi tersebut juga memiliki mata, mulut, tangan dan hidung berbentuk bola.

"Hai Serenity , Kenapa kamu bisa sampai

Hai Serenity , Kenapa kamu bisa sampai tersesat di sini?"

"Kenalkan aku Icco."

Serenity masih memandang takjub, kepada sosok kursi ajaib yang nampak ramah serta bersahabat.

Serenity tidak dapat menahan diri bertanya.

"Kamu kenal aku dari mana, Icco?"

"Siapa sich yang gak kenal sama calon istri pangeran kegelapan."

"Lihat di sana," Seru Icco sembari menunjuk sebuah brosur kertas berukuran raksasa.

Terpampang foto Serenity dan tertulis keterangan, barang siapa yang bisa membantu menemukan calon ratu Mars, akan diberi imbalan sepuluh ribu keping uang emas.

"Kamu sedang di cari sang pangeran. Eh, Malah main ke sini?"

"Aku tersesat, Icco."

"Boleh antarkan aku pulang?"

"Nanti aku pikirkan. Sebaiknya sekarang kamu ikut aku!"

Icco menarik tangan Serenity, kemudian berlarian masuk ke lorong dan nampaklah sebuah rumah sederhana yang terbuat dari anyaman bambu.

"Tunggu sebentar di sini, Serenity."

"Jangan ke mana-mana!"

Serenity mengangkat jempol pertanda setuju.

Sementara itu di alam manusia, Edward dan calon mertuanya kebingungan mencari Eliz.

Sudah sebulan lamanya Eliz menghilang begitu saja tanpa kabar.

Sukurin Lo. Kebanyakan mimpi akhirnya dapat zonk!"

"Maksud kamu apa, Ana?"

"Emm, Gak ada apa-apa. Ini aku lagi baca cerbung di aplikasi. Kesal aja lihat tokoh utama nya teraniaya," Jelas Ana.

"Oh, Kirain kamu sedang nyumpahin aku!"

"Tidaklah, sayang." Jawab Ana.

Atas saran Edward, Ana mengajukan diri tinggal di rumah orang tua Eliz, Untuk sementara waktu. Menemani sekaligus menghibur beliau sampai Eliz ditemukan kembali.

Ibu Eliz yang sedang kalut, Hanya dapat mengikuti saran bawahannya.

"Yes, Beberapa langkah lagi aku akan semakin dekat dengan tujuanku. Menguasai harta benda milik orang tua Eliz." Ana berkata dalam hati.

Ana tidak menyadari jika dirinya akan mengalalami kejutan tidak terduga, saat memutuskan tinggal bersama ibu kandung Eliz.

Malam itu Ana putuskan untuk tidur di kamar milik Eliz. Usai mengunci pintu, Gadis itu menghempaskan diri ke atas ranjang.

Ia memejamkan mata menghirup harum aroma lavender. Secara perlahan membuka kelopak mata. Netranya menjelajah, melihat setiap sudut kamar Eliz.

"Akhirnya Eliz pergi juga. Sudah saatnya aku menikmati jerih payahku."

"Aku juga tidak akan kehilangan Edward untuk selamanya."

Ana sedemikian menikmati suasana damai di kamar Eliz. Di iringi lantunan musik yang berasal dari ponsel, Ana on the way ke alam mimpi.

Ana terbangun saat jarum jam berdentang satu kali. Perlahan Ia mengucek mata, Sambil menguap.

Ac dalam kamar tiba-tiba saja padam. Buat Ana jadi gerah dan kepanasan.

Perempuan itu hendak menjangkau kipas angin mini yang terletak di sudut meja rias. Saat hendak menekan tombol on, Kipas jatuh bergerak dengan sendirinya. Kemudian jatuh ke lantai.

Mata Ana seketika terbuka lebar. Mendadak Ana di serang rasa takut. Bulu kuduk Ana meremang.

Ia memegang tengkuknya yang terasa dingin.

Entah dari mana asalnya muncullah sepotong tangan yang patah. Tangan itu bergerak mencakar muka Ana berulang kali.

"Aduh...."

"Hentikan...."

"Tolong...."

Ana berteriak kesakitan ketika tangan itu terus bergerak mencakar tanpa henti.

Wajah Ana kini terasa pedih. Keluarlah darah setetes demi setetes dari bekas cakaran tadi.

Suara Ana kini terasa serak. Namun tak ada satu orang pun yang mendengar teriakannya.

Ana masih berusaha melepaskan potongan tangan tersebut.

Sayup-sayup Ana kembali mendengar sosok tak kasat mata berbicara kepadanya.

"Ini balasan untuk orang jahat...."

"Hihihi....."

Tubuh ana gemetaran menahan rasa perih sekaligus takut akan sosok yang tiba-tiba saja menyerangnya.

Terdengar dari luar suara petir menyambar, di tambah petir saling bersahutan. Lolongan anjing menambah seram keadaan malam itu.

Dari sudut kamar keluarlah kepulan asap beraroma kemenyan. Ana menjadi sesak napas akibat menghirup kepulan asap yang kian pekat.

Tok tok.

"Ana, kamu tidak apa-apa?"

Edward yang kebetulan lewat di depan kamar Eliz, Mendengar suara berisik yang berasal dari dalam kamar.

Edward inisiatif memanggil kekasih gelapnya. Perasaan lelaki itu mendadak menjadi tidak tenang. Ia pun inisiatif mencari kunci cadangan, Untuk membuka kamar dan mengeluarkan Ana dari dalam sana.

"Kamu tidak apa-apa, sayang?"

"Tolong jawab pertanyaanku, Ana!"

Sayang sekali entah mengapa pada saat itu Ana sama sekali tidak dapat mengeluarkan suara.

Meskipun ia telah berusaha sekuat tenaga, tetap saja suaranya seolah hilang tanpa jejak.

Mengetahui hal tersebut Ana jadi bertambah semakin panik.

"Bagaimana kalau aku mati di sini?"

"Bagaimana kalau Edward tidak berhasil membuka pintu?"

"Aku masih ingin hidup bahagia."

"Aku tidak ingin mati sia-sia."

Ana hanya dapat duduk sambil memeluk lututnya sendiri.

Ana jadi berpikir apa mungkin suara tak kasat tadi berasal dari jiwa Serenty yang sedang tersesat?

Apa mungkin Serenety sudah tahu jika ia secara diam-diam telah menjalin hubungan hubungan terlarang dengan Edward?

Di tengah rasa takut semakin mendera, napas Ana terasa semakin sesak. Ia sudah tidak kuat lagi. Akhirnya Ana pingsan tidak sadarkan diri.

Bersamaan dengan pingsannya Ana, akhirnya

pintu terbuka dengan sendirinya.

Edwar langsung berlarian menghampiri Ana yang sudah tergeletak di atas lantai.

Setelah lelaki tersebut mengangkat tubub kekasihnya ke atas ranjang, Edward seolah mencium aroma tak sedap.

Aroma bangkai teramat busuk memenuhi indera penciumanya.

"Di sini apa mungkin ada bangkai tikus mati?" Edward bertanya kepada dirinya sendiri.

Edward putuskan untuk menyadarkan Ana terlebih dahulu. Ia membuka kotak p3k terletak tidak jauh dari lemari pakaian.

Selanjutnya Edwar mengambil minyak kayu putih. Kemudian mengoleskan minyak tersebut ke lubang hidung Ana.

Tidak berselang lama Ana pun bangun dari pingsan.

Ana bangun masih dalam keadaan shock.