"Dari membukakan pintu untuk Julian, semuanya nyata? Julian benar-benar ada di sini tadi malam, merawatnya, membujuknya, memeluknya....
"
Febi tiba-tiba menyesal, tadi malam seharusnya dia tidak boleh begitu linglung.
Selain itu....
Pada saat ini, di mana Julian?
Febi duduk kembali di ranjang dengan pakaian di lengannya. Setelah termenung beberapa saat, matanya tertuju pada sebuah catatan.
Febi mengenali kata-kata sederhana pada catatan itu sekilas. Tulisan itu dari dia.
'Jika masih sakit kepala, minum pil kuning. Jika demam tidak sepenuhnya mereda, minum pil putih. Tunggu aku di kamar, aku akan datang menjemputmu.'
Febi melihat catatan itu dengan linglung. Lalu, dia menatap pil itu lagi. Dalam sesaat, hatinya merasa kacau dan rumit.
Pada akhirnya, Febi tidak menunggunya. Setelah mengemasi barang-barang dan mengenakan pakaiannya, dia menghentikan mobil dan kembali ke kota.
Semua yang terjadi tadi malam seperti sebuah mimpi, mimpi yang indah.
Namun, sekarang Febi sudah terbangun dari mimpinya, dia tidak bisa lagi menikmatinya....
...
Setelah Febi kembali ke Kediaman Keluarga Dinata, dia menelepon Tasya.
"Tasya, aku sedikit tidak enak badan. Aku tidak akan pergi ke hotel pagi ini. Kalau terjadi sesuatu, beri tahu aku."
"kamu sakit?" Tasya tampak khawatir, "Apakah tubuhmu sakit atau hatimu yang merasa tidak nyaman?"
"Apa maksudmu hati tidak nyaman?" Febi bingung dengan pertanyaan itu. Setelah berpikir sejenak, kemudian dia berkata, "Apakah kamu berbicara tentang kepulanganku ke Kediaman Keluarga Dinata?"
Tanpa menunggu Tasya menjawab, dia tersenyum kecut pada dirinya sendiri, "Aku sudah terbiasa, bagaimana mungkin aku tidak merasa nyaman lagi?"
Di Kediaman Keluarga Dinata, sepertinya mustahil baginya untuk merasa nyaman.
Tasya terdiam sejenak, kemudian berkata, "Aku tidak berbicara tentang masalah Keluarga Dinata."
"Hmm? Selain ini, ada masalah apa lagi? "Febi bahkan lebih bingung.
Tasya menghela napas, nadanya terdengar agak berat, "Apa kamu sudah membaca koran pagi ini?"
"Koran apa?" Febi tidak mengerti mengapa dia tiba-tiba menyebutkan hal ini.
"... Lupakan saja, tidak apa-apa." Tasya ragu-ragu, kemudian menghentikan kata-katanya, "Tidak apa-apa, bukankah kamu sakit? Istirahatlah dulu. Kita akan membicarakannya setelah kamu tiba di perusahaan."
"Tasya, ngomong jangan setengah-setengah!" Febi memutar bola matanya.
"Sudahlah, aku masih punya sesuatu untuk dilakukan di sini, aku tutup dulu."
Tasya buru-buru memutuskan sambungan telepon, sementara Febi benar-benar merasa bingung. Dia menatap layar ponsel sambil memikirkannya, kemudian memegang erat ponsel dan berencana untuk pergi keluar.
Namun....
Sebelum Febi membuka Pintu, bayangan seseorang telah muncul di pintu.
Selain Nando, siapa lagi?
Melihat Nando, Febi hendak berjalan melewatinya dengan ekspresi datar. Nando melirik Febi dengan wajahnya yang terlihat lelah.
"Kapan kamu kembali?" tanya Nando. Sangat jelas Nando tidak tidur sepanjang malam, suaranya terdengar lelah dan sedikit serak.
"Baru saja tiba," jawab Febi. Suara Febi juga serak, dengan nada sengau yang kuat.
Seketika, Nando sudah menyadarinya. Dia menghentikan Febi yang akan melewatinya dan mengulurkan tangan untuk menutup pintu.
Dia mengerutkan kening padanya, "Kamu demam?"
Tampaknya ada kekhawatiran dalam nada suara Nando. Febi hanya menyunggingkan bibirnya sambil tersenyum mengejek, "Kamu lebih baik mengurus urusan Vonny dulu, kamu tidak perlu khawatir tentang urusanku."
Sekarang, menanyakan hal ini benar-benar sudah tidak berguna lagi.
Ketika mengungkit nama Vonny, wajah Nando penuh dengan rasa bersalah. "Situasi tadi malam sedikit mendesak...."
Nando ingin menjelaskan.
"Kamu tidak perlu menjelaskannya kepadaku, aku tidak ingin mendengarnya dan aku tidak peduli," sela Febi begitu saja.
"..." Nando tersedak di sana, sedikit canggung. Dia menatap Febi dengan masam dan tidak mengatakan apa-apa. Awalnya, dia ingin bertanya pada Febi apakah dia pergi untuk mencari Julian tadi malam. Akan tetapi, melihat wajah kecil yang keras kepala dan acuh tak acuh itu, seketika Nando tidak berani mendengar jawabannya.
Febi tidak mengatakan apa-apa lagi pada Nando. Dia masih memikirkan surat kabar yang dikatakan Tasya.
Tepat ketika Febi akan keluar untuk meminta Bibi Della mengambilkan koran pagi ini padanya, sebelum membuka pintu, dia mendengar pertanyaan dingin dan suram dari belakang, "Baju siapa ini?"
Beberapa kata sederhana, tapi setiap kata itu terdengar seolah-olah berasal dari neraka.
Febi tercengang.
Febi menoleh, dia melihat Nando sedang menatapnya dengan tajam sambil memegang pakaian Julian yang dicuci kering. Mata itu seperti ingin menelan Febi hidup-hidup.
Tangan Febi berada di kenop pintu, dia merasakan hawa dingin di sekujur tubuhnya.
Nando mendekat dalam beberapa langkah, lalu menggoyangkan jas di depannya sambil menggertakkan giginya dan berkata lagi, "Aku tanya satu kali lagi, ini...."
"Kamu tidak perlu bertanya!" sela Febi. Tatapan Nando membuat Febi tidak bisa bernapas. Febi mengambil napas dalam-dalam, lalu menatap matanya dan berkata, "Kamu tahu jawabannya lebih dari siapa pun. Kita tidak perlu menipu diri sendiri!"
Febi menjawab dengan sangat percaya diri!
Nando mengepalkan pakaiannya erat-erat, hingga buku-buku jarinya memucat, "Tadi malam ... aku baru pergi, kamu sudah langsung naik gunung, 'kan?"
"Benar. Tapi Nando, kamu yang paling tidak memenuhi syarat untuk menanyaiku! Kalau kamu merasa kesal, kita bisa bercerai!"
Kata "cerai" membuat urat biru di antara alis Nando melompat samar.
Dia sebenarnya takut....
Secara tidak sadar Nando ingin menghindari dua kata ini.
Namun, sebenarnya....
Entah itu dari sudut pandang Vonny, dari sudut pandang anak atau dari sudut pandang Febi, sepertinya tidak ada cara lain untuk menyelamatkan mereka selain bercerai....
"Febi, apakah kamu sangat mencintai Julian? Dalam cuaca tadi malam, kalau ada banjir bandang, kamu mungkin mati dan kamu masih naik gunung?" Nando terpikir akan satu hal dan merasa terhina hingga ekspresinya perlahan berubah, "Jadi, kamar yang aku siapkan untuk kita ternyata menjadi tempat bagi kalian untuk berselingkuh? Kalian bercinta di ranjang yang aku siapkan?"
Serangkaian pertanyaan itu membuat Febi merasakan sakit kepala. Dia melambaikan tangannya, menunjukkan bahwa dia tidak ingin berbicara dengan Nando lagi dan membuka pintu. Namun, pintu baru ditarik hingga terlihat celah kecil, pintu yang berat itu sudah ditutup dengan kuat.
Lengan Nando melewati bahunya dan bersandar di pintu. Saat ini, dada Nando menekan di punggung Febi, hingga dia bisa dengan jelas mendengar detak jantung Nando.
Namun....
Semua ini sudah tidak bisa lagi menyentuh hati Febi seperti sebelumnya.
"Apa yang kamu inginkan?" Nada suara Febi terdengar sangat tidak sabar.
"Kamu sangat mencintainya?" Nada suara Nando terdengar tidak berdaya dan perasaan sedih yang tidak bisa sembunyikan.
Febi tidak ingin menyembunyikan perasaannya, "Kita semua tahu jawabannya."
Nando mencibir dengan ekspresi mengejek dan menatap bagian belakang kepala Febi, "Apakah kamu sudah membaca koran pagi ini?"
Koran lagi?
Keraguan Febi semakin dalam, dia menoleh dan menatap Nando, "Koran apa?"
Selain itu, apa hubungan isi koran dengan kekagumannya pada Julian?
"Sepertinya kamu tidak tahu sama sekali." Nando mendengus dan menatap wajah Febi yang bingung, "Febi, mungkin Julian bukan lagi orang yang bisa kamu cintai sesuka hatimu lagi."
Sebelum Febi bisa memahaminya, Nando mendorongnya dari pintu, lalu membuka pintu dan menjulurkan kepalanya, "Bibi Della, bawa koran bisnis hari ini ke atas!"
"Ya, Tuan Muda, segera," jawab Bibi Della.
Nando menoleh untuk menatap Febi dengan ekspresi menonton pertunjukan yang bagus. Hati Febi menegang, dia memiliki firasat buruk yang tidak dapat dijelaskan.
Namun, Febi benar-benar tidak bisa menebak apa isi surat kabar itu.
Dia mengerutkan bibirnya, berbalik untuk membuka lemari, lalu mengeluarkan satu set piyama bersih dan berencana untuk mandi.
Setelah minum obat tadi malam, sekujur tubuh Febi berkeringat dan sampai sekarang dia masih belum sempat mandi.
Setelah mengambil pakaian, Febi hendak pergi ke kamar mandi. Di sana, Bibi Della sudah tiba di pintu kamar, "Tuan Muda, ini semua koran yang diantar pagi ini, lihatlah."
"Oke, yang ini saja." Nando mengambil salah satu koran itu, "Bibi turun dulu saja."
Nando menutup pintu, lalu melirik Febi yang berjalan ke kamar mandi, "Apa kamu tidak berencana membaca koran yang begitu menarik dulu, baru mandi?"
"... Letakkan saja, aku akan melihat sendiri setelah mandi," kata Febi.
Namun, Nando tidak bersedia memberinya waktu untuk mempersiapkan diri. Dia membuka koran dengan suara "srek", "Nih, judul berita ini adalah satu-satunya pewaris Grup Alliant terbongkar akan menikahi putri Keluarga Yulianto. Kenapa? Kamu tertarik dengan berita ini?"
Faktanya, ketika Nando mengucapkan kalimat pertama, langkah kaki Febi sudah berhenti.
Kalimat terakhir membuat tangan Febi yang memegang pakaian terkepal dan ujung jarinya hampir menusuk masuk ke telapak tangannya.
Menikah....
Jadi, akankah Julian menikahinya?
Ya, seharusnya....
Tidak perlu membicarakan Nyonya Besar sangat menyukai gadis itu, hanya identitas, latar belakang dan penampilan mereka, mereka sudah merupakan pasangan yang sangat serasi. Sedangkan Febi....
Seorang wanita yang belum bercerai, bahkan kalau dia bercerai, dia adalah seorang janda. Bagaimana dia bisa bersanding dengan Julian?
Nando berjalan ke hadapan Febi. Meskipun Febi berusaha keras untuk menenangkan dirinya, berharap dirinya bisa terlihat sedikit lebih santai, rasa sakit yang menyebar di antara alisnya tetap tidak bisa disembunyikan.
Nando berpikir dia akan senang, tapi penampilan Febi malah membuat hatinya tiba-tiba menegang.
Setelah merenung sebentar, Nando mendorong koran ke tangan Febi, "Lihat baik-baik! Febi, kalau kamu ingin menikahi Julian, aku sarankan kamu menyerah lebih awal!"
...
Pintu tertutup rapat.
Nando membiarkan Febi berdiam diri di ruangan itu.
Febi memegang koran di tangannya, tapi dia tidak ingin membaca berita utama itu. Bagaimanapun juga, hubungannya dan Julian sudah berlalu. Kelak, mereka tidak akan berinteraksi lagi.
Adapun tadi malam....
Benar-benar hanya kecelakaan.
Namun....
Terkadang gerakannya itu tidak bisa dia kendalikan. Ketika Febi kembali ke akal sehatnya, dia sudah membalik koran ke halaman itu.
Judul halaman depan!
Berita itu panjang dengan gambar yang sangat besar.
Pada saat ini, dia tidak punya niat untuk melihatnya. Seketika, pandangannya tertuju pada gambar yang dilampirkan pada berita itu.
Gambar itu adalah foto yang sangat besar dan sepertinya diambil pada malam hari, jadi wajah kedua orang tidak begitu jelas. Namun, hanya sekilas Febi mengenali dua orang yang saling berpelukan di koran....
Kedua orang itu adalah Julian dan Valentia.
Julian mengenakan jubah mandi dan memeluk Valentia dengan erat. Sementara, Valentia bersandar dengan manis di pelukannya....
Jubah mandi dan pelukan itu telah menguraikan perasaan ambigu dari gambar itu.
Sangat jelas dan menusuk mata.
Hati Febi terasa sakit....
Febi melihatnya dengan linglung. Dia mengatakan pada dirinya sendiri berulang kali ini bukan sesuatu yang harus dia pedulikan dan dia seharusnya tidak peduli. Akan tetapi....
Matanya memerah dalam sekejap.
Febi jelas tidak ingin membaca laporan itu, tapi pandangannya tak dapat dia kendalikan. Setiap kata tergambar jelas di matanya.
Setelah membacanya, Febi tertawa....
Ada air mata di sudut matanya.
Ternyata Julian meninggalkan hotel tempat Febi menginap tadi malam untuk pergi menemui Valentia....
Bahkan Julian sudah akan bertunangan, mengapa dia masih bersikap baik pada Febi?
Tiba-tiba, Febi tidak ingin berpikir lebih jauh. Dia membuang koran itu ke samping, mengambil pakaiannya, lalu berbalik dan bergegas ke kamar mandi.
Melihat wajahnya yang pucat di cermin, air mata Febi tiba-tiba jatuh seperti keran yang tidak bisa ditutup.
Seberapa jauh perkembangan hubungan ... mereka?
Julian memeluk Valentia seperti dia memeluk diri Febi. Jadi, Julian juga akan mencintai wanita lain di ranjang seperti dia mencintai Febi?
Apakah mereka bersama tadi malam?
Julian memakai jubah mandi....
Jadi, seharusnya ... benar?
Memikirkan hal ini, Febi merasa rasa sakit yang tumpul di dadanya, seolah-olah dia tidak bisa bernapas....
Air mata pun jatuh lebih deras.
Febi tidak membiarkan dirinya menjadi begitu lemah, dia dengan cepat membuka shower di bak mandi. Bahkan sebelum dia melepas pakaiannya, dia sudah berdiri di bawah shower.
Air panas membasuh dan air mata di wajahnya terhanyut dalam sekejap. Namun ... air panas tidak bisa menghangatkan tubuh Febi yang sedingin es, apalagi hatinya yang sedingin es....
Febi berjongkok, memeluk dirinya sendiri dengan erat dan duduk di bak mandi.
Air perlahan menyebar ke seluruh tubuhnya....
Febi perlahan menutup matanya, wajahnya terlihat sangat lelah....
Dia merasakan lelah yang menjalar dari lubuk hatinya, membuatnya bahkan sulit untuk menggerakkan satu jarinya.
Ternyata mencintai seseorang itu sangat sulit, sangat melelahkan....
...
Nando berganti pakaian bersih, mandi dan duduk di sofa yang berada di aula di lantai bawah. Semua masalah tentang Vonny tadi malam berkeliaran di benaknya.
Jika dia menikahinya, apakah anak itu bisa terselamatkan?
Akan tetapi....
Dia tidak bisa menceraikan Febi!
Setelah beberapa saat, Bibi Della berkata, "Tuan Muda, sudah waktunya makan siang."
"Hmm." Nando kembali ke akal sehatnya dan mengangguk, "Pergi dan panggil nyonya muda turun."
Sekarang, Febi mungkin masih merasa tidak nyaman.
"Baik. Segera."
Bibi Della berjalan ke atas dengan tergesa-gesa. Nando sedang bersandar di sofa dan membolak-balik koran. Sebelum Nando memahami apa yang dia pikirkan, dia mendengar seruan dari atas, "Tuan Muda! Tuan Muda! Cepat naik! Nyonya Muda celaka!"
"Apa?" Nando terkejut, lalu segera melompat dari sofa dan bergegas ke atas.
Dia bergegas ke kamar tidur, kemudian ke kamar mandi. Nando terpana oleh adegan di dalamnya.
Febi bahkan terbenam di dalam bak mandi, hanya bagian atas rambutnya yang tersisa.
Bibi Della berusaha sangat keras untuk menyeretnya keluar, tapi Febi sudah tenggelam dan tidak sadarkan diri.
Nando menarik Febi keluar dari bak mandi. Febi bersandar di tepi bak mandi, seluruh wajahnya pucat seperti orang mati.
Nando ketakutan dan gemetar.
Nando meraung marah, bahkan alisnya pun berkedut, "Sialan! Dia membuatmu begitu peduli, sehingga kamu bahkan tidak menginginkan nyawamu lagi! Febi, kamu berani bunuh diri. Percaya atau tidak, sekarang aku akan mencekikmu sampai mati!"
"Tuan Muda, sekarang jangan marah dulu ..." bujuk Bibi Della.
Namun, akal sehat Nando benar-benar telah hilang. Dia mengulurkan tangan, meraih kerah pakaian Febi dan mengangkat Febi yang sekarat seperti sebuah kain karung. Nando menggertakkan giginya dengan marah, "Febi, kalau kamu ingin mati demi dia, jangan mati di sini!"
Alis mata Febi yang basah bergerak sejenak, dia berusaha sangat keras untuk membuka matanya, tapi dia tidak memiliki tenaga untuk membuka mata.
Nando menggendong Febi dengan kasar dan membantingnya ke ranjang. Bibi Della yang berada di samping tampak ketakutan, tapi Nando tidak menunjukkan belas kasihan sedikit pun. Dia menundukkan kepalanya, lalu mencubit wajah Febi dengan terengah-engah, "Aku akan memberimu sepuluh menit! Bangunlah dari ranjang dan aku akan segera membawamu ke Pengadilan Agama!"
Setelah jeda, dia menambahkan empat kata lagi, "Aku tidak akan melanggar janjiku!"
Cukup sudah! Nando benar-benar berpikir sudah cukup! Dia kalah dari Febi!
Tadi malam Nando sudah melihatnya dengan jelas, demi pria itu, Febi bahkan rela mati, jadi....
Apa gunanya mengikat Febi di sisinya? Hal itu hanya membiarkan Febi menjadi sebuah belati yang menusuk ke jantung Febi inci demi inci....
Jadi....
Bercerai saja. Mulai sekarang, tidak akan ada lagi keterikatan!