Febi bahkan tidak tahu bagaimana mengatakan ini pada Julian. Sampai sekarang, Febi masih ingat mata Julian yang berbinar ketika dia memberitahunya berita ini pada malam itu.
Julian menatapnya dalam-dalam. Tatapan itu tidak tahu apakah dia percaya atau tidak. Jantung Febi berdebar kencang dan dia mengerucutkan bibirnya, lalu berkata, "Duduklah sebentar, aku akan menyimpan barang-barang ini dulu."
"Hmm," jawab Julian. Kemudian, Febi memeluk dokumen itu dengan erat dan kembali ke kamar.
Setelah beberapa saat, Febi keluar dan melihat Julian duduk di sofa sambil menonton TV. Julian tampak sedikit lelah, dengan tangan menopang dahinya dan alisnya sedikit berkerut, seolah-olah dia sedang sakit kepala.
Hati Febi terasa sakit.
Dia berjalan mendekat, lalu duduk di sebelah Julian dan bertanya dengan lembut, "Apakah kepalamu sakit lagi?"
Melihat Febi keluar, dia memperlihatkan ekspresi serius, seolah sengaja menyembunyikannya. Julian mengumpulkan semangat dan menggelengkan kepalanya, "Tidak apa-apa, tidak terlalu sakit."
Febi menatap alisnya yang masih berkerut dan tanpa sadar mengulurkan tangannya untuk menyentuhnya. Mata Febi yang prihatin bertemu dengan tatapan Julian, "Jangan menyembunyikannya di depanku. Tidak peduli seberapa rapuhnya dirimu, aku sudah pernah melihat sebelumnya. Aku tidak akan mengolok-olokmu."
Nada suaranya lembut dan setiap kata mengungkapkan kekhawatiran yang tidak disembunyikan, membuat Julian sangat tersentuh. Namun, jika Febi tahu penyakit Julian bukan migrain, tapi seratus kali lebih buruk dari itu dan mungkin mengancam jiwa, apa yang akan Febi pikirkan?
Secara alami, Febi tidak tahu apa yang sedang Julian pikirkan, jadi Febi menepuk kakinya. Julian meliriknya dengan tidak mengerti, jadi Febi menepuk lagi, "Berbaringlah, aku akan membantumu memijat. Sebenarnya, dulu aku sering memijat ibuku, tapi setelah sekian lama, aku tidak tahu apakah kemampuanku memburuk."
"Kita akan tahu setelah mencobanya." Julian menyunggingkan bibirnya, lalu berbaring dan menyandarkan kepalanya di pangkuan Febi.
Jari-jari Febi yang ramping melingkari pelipis Julian. Kekuatan pijatan Febi sedang dan jarinya sangat lembut, membuat Julian merasakan kenyamanan yang tak terlukiskan.
Dalam suasana yang begitu tenang, hanya ada mereka berdua, jadi hati mereka sangat tenang. Bahkan sakit kepala Julian seakan menghilang dalam sekejap....
Julian berbaring telentang sambil menatapnya. Febi menundukkan kepalanya dan rambutnya yang harum jatuh dan menyapu wajah Julian. Julian mengambil beberapa helai dan meletakkannya di bawah hidungnya dan mengendusnya dengan rakus.
"Apa kamu mau memejamkan mata dan istirahat?" Febi memijat dengan serius. Terlihat jelas dia tampak tidak menyadari konsentrasi Julian yang terganggu.
"Aku dengar kamu menyebut ibumu beberapa kali. Kenapa kalian tidak hidup bersama?" tanya Julian sambil memainkan ujung rambutnya.
Menyebut ibunya, mata Febi menjadi sedikit gelap. Dia merenung sejenak, lalu berkata, "Kondisi ibuku tidak terlalu baik. Dia sedang berobat di luar negeri dan kebetulan menemani adikku bersekolah. Ayah mertuaku yang membayar biaya pengobatan selama bertahun-tahun. Tapi, dia akan segera kembali."
Ketika menyebutkan ibunya akan kembali, senyum muncul di wajah Febi, sangat jelas dia sedang menantikannya. Julian menatapnya dengan mata gelap, tidak tahu apa yang dia pikirkan.
Setelah beberapa saat, dia bertanya lagi, "Sepertinya hubungan kalian sangat baik."
"Tentu saja, bagaimana mungkin keluarga bisa memiliki hubungan yang buruk? Tapi...." Febi berhenti, matanya bertemu dengan mata Julian, "Selalu ada penghalang antara aku dan ibuku. Dalam ingatanku, sepertinya aku jarang melihat dia tersenyum padaku. Terutama setelah kecelakaan mobil sepuluh tahun yang lalu, ketika adikku kehilangan kakinya karenaku.... Seakan ada jurang yang tidak bisa dilewati antara ibuku dan aku. Terkadang, aku bertanya-tanya apakah dia membenciku...."
Berbicara sampai di sini, kata-kata Febi tiba-tiba terhenti.
Julian bisa mendengar kesedihan dalam nada suaranya dan hendak membuka mulutnya untuk menghiburnya. Namun, ketika dia membuka matanya, dia melihat Febi sedang menatapnya dengan serius. Seolah suasana suram barusan telah menghilang dalam sekejap mata.
"Apa yang kamu lihat?" Julian menjentikkan jarinya di dahi Febi.
Febi tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Aku pasti sangat merindukan adikku, jadi tadi aku merasa kalian berdua agak mirip. Namun, sekarang setelah aku melihat lebih dekat, aku tidak berpikir begitu. Aku pikir dia dan Vonny sebenarnya sedikit mirip."
Seolah-olah Julian tidak menyangka Febi akan mengatakan hal seperti itu, Julian sedikit terkejut dan ekspresinya rumit.
"Sadarlah." Febi menarik ujung rambutnya dan menggaruk ujung hidung Julian. Jelas Febi hanya mengucapkan kata-kata itu dengan santai dan tidak menganggap serius. Karena pada saat berikutnya, dia sudah mengubah topik pembicaraan, "Berhentilah berbicara tentangku, ceritakan tentangmu. Aku memiliki sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu...."
Ekspresi Febi menjadi serius dan sedikit tegas.
Julian masih tenggelam dalam apa yang baru saja dia katakan dan tidak memperhatikan perubahan ekspresinya, dia hanya berkata, "Katakanlah."
"Apakah hotelmu ... memiliki transaksi tidak bersih?" tanya Febi dengan sopan sambil mencubitnya.
Julian tiba-tiba tersadar dari lamunannya dan menatap Febi, "Kenapa kamu menanyakan itu?"
"... anggap saja aku hanya penasaran."
"Setiap tahun akan ada jumlah besar." Di depan Febi, Julian tidak menyembunyikannya.
Hal itu tidak mengejutkan, tapi Febi tidak menyangka Julian akan berbicara terus terang di depannya. "Aku hanya penasaran. Sebenarnya kamu bisa berbohong padaku."
Julian memandangnya dengan tenang, "Lingkungan saat ini seperti ini. Banyak orang ingin mendapatkan keuntungan dari setiap proyek, ini adalah hal yang tidak tercela."
Febi mendengarkan ucapan Julian, tapi hatinya merasa tertekan....
Apa yang menurut Julian tidak tercela adalah aturan sosial dan prinsip dalam berbisnis. Seringkali hanya dengan menyesuaikan diri dengan aturan ini, seseorang baru dapat naik ke atas dan menjadi orang yang berkuasa. Namun, hukum tidak pernah memperhatikan lingkungan sekarang dan bahkan tidak akan berbelas kasih.
"Apa yang kamu pikirkan?" Julian menatapnya dengan mata mencari tahu.
Febi menghindari tatapan Julian sambil menggelengkan kepalanya dan bertanya dengan lembut, "Apakah kepalamu masih sakit? Apakah kamu merasa lebih baik?"
Setelah pertanyaan itu, Febi tiba-tiba hanya merasakan kesedihan dan ujung hidungnya terasa perih.
Kelak....
Jika Febi kembali ke Kediaman Keluarga Dinata dan kembali ke sisi Nando, siapa yang akan menjadi wanita yang menjaga Julian ketika dia sakit kepala lagi? Di pangkuan wanita mana dia akan berbaring?
Memikirkan hal ini, tangan Febi yang memijat Julian sedikit gemetar.
Bagaimana ini?
Hanya memikirkannya saja, Febi sudah mulai cemburu dan dia sudah merasa tidak nyaman di dadanya....
Febi akan peduli, akan cemburu....
Namun....
Kelak, Febi tidak memiliki posisi untuk memedulikan hal ini lagi.
Takut air matanya keluar, Febi hendak menarik kembali tangannya, "Kamu bangun dulu, aku ingin ke kamar mandi."
Tangan yang hendak ditarik dengan cepat dipegang oleh Julian.
Panas di telapak tangan, menjalar dari ujung jari sampai ke jantungnya. Tanpa sadar Febi menatap Julian. Pada saat berikutnya, Julian tiba-tiba mengangkat tangannya dan menggenggam dagu Febi, dia menarik wajah Febi yang bersih.
Julian terus menatap Febi, fitur wajah yang halus dan bersih tercermin dengan jelas di matanya. Tentu saja Julian tidak bisa mengabaikan kesedihan yang tidak bisa disembunyikan di mata Febi.
"Kamu sedang memikirkan sesuatu?" tanya Julian dengan nada rendah. Mata itu seakan melihat segala sesuatu tentangnya dan mengetahui isi hatinya.
Napas Febi terengah-engah, bahkan hatinya juga terasa menyusut.
Selama Febi berpikir kelak tidak ada kemungkinan mereka bersama, rasa sakit di hatinya terasa seolah-olah ada hal terpenting dalam tubuhnya dikupas sedikit demi sedikit... dirobek....
Sadis dan kejam.
"Yah, ada sesuatu di pikiranku." Febi menatapnya dan mengangguk. Jarak keduanya begitu dekat. Febi tidak menghindar, dia hanya terus menatap mata Julian.
Serakah, nostalgia seakan dia ingin mengukir setiap fitur wajah Julian di hatinya dan mengingatnya seumur hidup....
"Aku bilang aku cemburu, apakah kamu percaya padaku?" tanya Febi dengan ragu-ragu.
Julian tersenyum. Dia tidak melepaskannya dan hanya terus menatapnya, "Lalu kenapa kamu cemburu?"
"Aku mendengar seseorang berkata...." Febi mengerutkan bibirnya dan berkata dengan sengaja, "Seseorang bernama Nona Valentia telah kembali."
Valentia?
Mata Julian menjadi gelap, tatapannya yang dalam dan rumit membuat Febi sedikit kewalahan. Febi mengulurkan tangannya untuk menutupi mata Julian, "Jangan menatapku seperti itu, aku hanya berkata dengan santai, kamu tidak perlu menjawab."
Julian meraih tangannya dan menariknya ke bawah. Julian tidak segera berbicara, tapi dia menarik wajah Febi ke bawah.
Bibir masing-masing menyentuh satu sama lain. Pada saat itu, keduanya tercengang.
Bibir Febi selembut kelopak bunga dan dipenuhi dengan aroma manis.
Bahkan saat di kota yang jauh, Julian akan merindukannya ... aroma yang membuatnya merasa nyaman ini....
Sementara bibir Julian dingin dan masih memiliki aroma anggur yang lembut. Sama seperti dirinya yang dapat dengan mudah membuat orang mabuk.
Tanpa ragu, Julian dengan cepat memperdalam ciumannya. Seolah-olah dia telah mengeluarkan kerinduan dua hari terakhir ke dalam ciuman ini. Sebelum Febi mengambil napas, ujung lidah Julian sudah menembus ke dalam mulut dan terjerat dengannya.
Segala macam emosi berkecamuk di hati Febi.
Ada keengganan, nostalgia dan tidak nyaman....
Semua itu berkumpul di dadanya, membuatnya ingin melampiaskan semuanya. Febi tiba-tiba mengaitkan dan merespons dengan penuh semangat. Keduanya berciuman hingga napas mereka terengah-engah.
Napas Febi terengah-engah, wajahnya linglung, tapi dia masih berusaha keras untuk berpikir jernih, "Tasya akan kembali kapan saja...."
"Kalau begitu mari kita pindah ke tempat lain." Meskipun Tasya ditahan oleh Agustino, mungkin tidak mudah untuk pergi. Namun, di tempat yang bukan milik sendiri, mereka tidak akan merasa bahagia.
...
Kembali ke Jalan Akasia, malam terus berlanjut.
Di dalam ruangan, suhu meningkat secara bertahap ... seolah-olah akan terbakar kapan saja....
Pria dan wanita terjalin erat di ruangan yang menawan....
Akan tetapi....
Sebanyak apa pun kemesraan itu, juga tidak bisa menghilangkan kesuraman dan keengganan di hati Febi saat ini.
...
Semalaman.
Febi sangat khawatir dan tidak tertidur.
Saat Febi berbalik badan di tengah malam, dia membangunkan Julian. Julian mengulurkan tangan dan menarik Febi ke dalam pelukannya, lalu tanpa sadar mencium alis dan matanya dengan lembut.
Saat itu, Julian hampir membuat air mata Febi menetes. Takut membangunkannya lagi, Febi bahkan tidak berani bernapas terlalu keras, jadi dia memeluk Julian dengan kuat dan hanyut dalam pelukannya saat ini.
Saat fajar keesokan harinya. Sebelum Julian bangun, Febi buru-buru bangun dan pergi.
Dia tidak membiarkan dirinya memiliki kesempatan untuk serakah....
...
Waktu masih pagi. Febi tidak langsung pergi ke hotel, tapi kembali ke apartemen Tasya terlebih dulu. Dia mengambil kunci, lalu mendorong pintu. Saat dia masuk, Febi melihat sepasang sepatu kulit pria yang diletakkan di pintu.
Febi tertegun sejenak. Saat Febi baru menyadari Agustino ada di sini, dia sudah mendengar suara Tasya datang dari kamar.
"Jangan seperti ini! Jangan...." Napas yang terengah-engah dan suara centil. Hanya dengan mendengarnya, Febi sudah tahu apa yang terjadi di ruangan itu.
"Kamu bahkan sudah melahirkan anakku, apakah sudah terlambat untuk menolakku sekarang?"
"Diam ... hei! Di mana kamu mencium! Agustino, jangan mencium tempat itu, apakah kamu mendengar ..." Kata-kata penolakan pada akhirnya menjadi nada centil.
"Patuhlah, jangan membuat masalah, aku akan membuatmu nyaman...."
"Febi akan kembali, aku mohon, cepatlah pergi...."
...
Febi tersipu di luar pintu. Ketika dia mendengar kata-kata terakhir Tasya, dia bahkan menahan napas dan tidak berani bernapas dengan keras karena takut dia akan mengganggu mereka.
Febi berjingkat-jingkat kembali ke kamarnya dan mandi. Saat terdiri di kamar mandi, Febi menatap dirinya sendiri di cermin besar.
Ada tanda merah gelap di kulitnya yang seputih salju. Semua itu pada posisi yang sangat ambigu, seperti dada dan pinggang....
Jejak itu semua adalah jejak yang sengaja Julian tinggalkan tadi malam, seolah-olah dia ingin menandai Febi adalah miliknya.
Jari-jari Febi yang tak terkendali menempel pada tanda itu. Sampai sekarang, tampaknya napas dan kekuatan ciuman Julian masih tersisa....
Akan tetapi....
Apakah Julian tahu mulai hari ini, Febi tidak akan lagi menjadi miliknya....
Memikirkan hal ini, dada Febi terasa sakit dan matanya tiba-tiba memerah. Febi tidak berani melihat lebih jauh. Dia berbalik, lalu mengambil pakaian bersih dan mengenakannya sendiri untuk menutupi bekas cupang yang ambigu itu.
Febi, jalan itu dipilih sendiri.
Selama Julian baik-baik saja, maka tidak masalah....
...
Setelah mandi, Febi merias wajahnya untuk membuat dirinya terlihat segar, kemudian keluar sambil membawa tas. Tasya dan Agustino belum keluar dari kamar. Di dalam hatinya, Febi sudah berniat meminta izin untuk Tasya.
Setelah naik bus dan tiba di pintu hotel, telepon berdering. Julian yang menelepon. Mungkin dia baru bangun dan menyadari Febi sudah pergi, jadi dia menelepon Febi untuk menanyakan kesalahannya.
Awalnya Febi ingin menjawab telepon, tapi ketika dia mengalihkan pandangannya, dia melihat sebuah mobil polisi melintas.
"Nona, apakah kamu tahu di mana kantor Pak Julian?" tanya salah satu dari polisi berseragam yang menjulurkan kepalanya saat mobil polisi berhenti di depan Febi. Melihat seragam polisi, Febi merasa sedikit bingung dan tanpa sadar mengepal tas dengan kedua tangannya.
Melihat Febi tidak menjawab, pria itu bertanya lagi, "Kamu tidak tahu?"
Baru pada saat itulah Febi tersadar dari lamunannya, "Kalian ... untuk apa kalian mencarinya?"
Saat berbicara, Febi bahkan mendengar suaranya bergemetar, lidahnya juga tersimpul.
"Kami ingin mencari Pak Julian untuk bertanya sesuatu. Bagaimana? Apakah kamu tahu?"
Febi menggelengkan kepalanya, "Aku ... tidak tahu. Kalian tanyakan pada orang lain saja!"
Mobil polisi tidak berhenti dan melaju dengan cepat ke hotel.
Febi melihat bagian belakang mobil dengan linglung, hati Febi terus bergetar. Setelah merenung sejenak, dia dengan cepat mengambil ponselnya untuk melakukan panggilan. Dia juga mengabaikan panggilan tak terjawab dari Julian.
Telepon berdering beberapa kali sebelum terhubung dan terdengar kata "halo" yang malas dari sana. Sangat jelas orang itu masih belum bangun.
"Apakah kamu yang menyebarkan data itu?" tanya Febi secara langsung.
Nando sedikit sadar, "Sekarang kamu hanya berbicara tentang perceraian atau dia denganku?"
Namun Febi mengabaikan kata-katanya, "Kamu seharusnya sangat jelas, kalau data itu tersebar keluar. Seumur hidupku, aku tidak mungkin kembali ke Kediaman Keluarga Dinata!"
"Benarkah? Kalau begitu, bersiaplah dan kembali malam ini! Jangan khawatir, aku tidak akan mengirim datanya sebelum aku membawamu kembali!"
"Kamu tidak akan?" Febi sedikit terkejut, "Lalu kenapa polisi datang ke sini?"
Nando juga tertegun sejenak.
Polisi?
Tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh Nyonya Besar.
Nando hanya berkata, "Mungkin telah mendengar desas-desus, jadi mereka pergi untuk mencari tahu. Kamu juga tahu penangkapan terhadap suap baru-baru ini sangat tinggi."
Sebelum menutup telepon, Nando menambahkan, "Aku akan menjemputmu setelah pulang kerja hari ini dan membantumu pindah."
"..." Febi ingin menolak, dia ingin memberitahunya dengan keras, jangan bermimpi. Namun, ketika dia mengalihkan pandangannya dan melihat mobil polisi diparkir di hotel, semua kata-kata itu tidak dapat terucap.
Febi ... tidak punya pilihan....
...
Tasya datang terlambat dua jam.
Dia buru-buru mengirim email untuk dikirim. Ketika dia menoleh, dia melihat Febi duduk di kursi dengan linglung. Sesuai perkiraan tadi malam dia dan Pak Julian bersama, bukankah dia seharusnya bersemangat pagi ini?
Tasya membungkuk dan melirik Febi, ponsel di atas meja berdering dan nomor Julian berkedip di layar. Tasya menepuk pundaknya, "Hei, pagi-pagi kamu sudah melamun. Kamu tidak bisa mendengar teleponmu?"
Setelah kembali sadar, Febi tidak melihatnya, dia hanya mengatur telepon ke mode senyap. Dia tidak berani menjawab panggilannya lagi, dia takut ... takut dia tidak cukup tegas dan akhirnya menyakitinya....
"Ada apa?" Tasya tidak bisa menahan diri untuk meliriknya.
Dia menghela napas panjang, "Malam ini ... aku akan pindah."
Tasya tertegun sejenak dan langsung mengerti apa yang sedang terjadi.
"Febi...."
"Aku tidak punya pilihan...." Febi tahu apa yang ingin Tasya katakan, dia mengangkat kepalanya ke arah Tasya, "Kalau Agustino yang dalam masalah sekarang, bagaimana denganmu? Bagaimana kamu akan memutuskan? "
Agustino?
Tasya sedikit terkejut dan ingin mengatakan, masalah Agustino tidak ada hubungan dengannya. Namun, setelah merenung sejenak, kalimat ini tidak bisa terucap.
Tidak tahu sejak kapan, Tasya dan pria itu benar-benar sudah terlibat.
"Aku bisa mengerti pilihanmu." Pada akhirnya, Tasya hanya berkata begitu.
Cinta adalah hal yang tidak masuk akal.
"Sebenarnya, hidup memang seperti ini, ada untung dan ruginya." Febi tersenyum dan mencoba yang terbaik untuk berpikir terbuka, "Bagaimanapun aku belum bercerai. Hari-hari hidup dengan tenang seperti ini seakan adalah hasil curian.... Sekarang, aku hanya akan kembali ke kehidupan lamaku. Karena aku bisa menjalaninya sebelumnya, sekarang ... seharusnya tidak menjadi masalah...."
Tasya tiba-tiba tidak tahu bagaimana menjawabnya. Apa yang Febi katakan hanyalah untuk membujuk atau menipu diri sendiri. Namun, siapa yang bisa tertipu?
Ketika seseorang sudah masuk ke dalam hati. Untuk berpisah, itu adalah rasa sakit yang menusuk tulang.
Selain itu, dengan pilihannya, Febi sama sekali tidak punya jalan keluar....
"Berhentilah tertawa, kamu terlihat lebih buruk ketika tertawa daripada menangis." Tasya mencubit wajah Febi, dadanya juga terasa sesak.
"Sakit!" Febi menghela napas dan air matanya terjatuh. Menghadapi mata Tasya yang sedih, dia langsung mengalihkan pandangannya sambil menggosok pipinya yang dicubit dan bergumam dengan suara serak , "Kenapa kamu mencubit begitu keras?"
Tasya ingin berkata....
Tasya bahkan tidak mengerahkan kekuatan sama sekali.
Dia juga ingin berkata....
Bukan wajah Febi yang sakit, tapi hatinya....
Namun, melihat mata Febi yang berlinang air mata, akhirnya Tasya tidak bisa mengatakan sepatah kata pun....
...
Ketika Febi pulang kerja, dia keluar sambil merangkul Tasya dan melihat mobil Nando diparkir di kejauhan.
Febi berhenti, lalu mengambil napas dalam-dalam dan berjalan. Namun, Tasya meraih lengannya, "Febi, Pak Julian!"
Febi melihat ke arah Tasya dan melihat Julian berjalan ke arahnya dari arah lain. Karena pantulan cahaya matahari terbenam, Julian terlihat sangat bersinar sehingga sulit untuk mengalihkan pandangan darinya.
Jantung Febi berdebar tak karuan.
Seolah-olah ada sesuatu yang memanggil Febi dan dia hampir tidak bisa menahan diri untuk tidak berlari ke arah Julian.
"Febi."
Suara Nando tiba-tiba menarik kembali akal sehatnya.
Pada saat ini, Julian sudah berdiri di depannya. Dari jarak setengah meter, dia bisa mencium aroma tubuhnya yang unik. Aroma yang membuat orang merasa tenang dan serakah....
"Kenapa dia datang ke sini?" Julian juga memperhatikan Nando. Dia mengangkat alisnya dengan pelan, matanya melirik Julian, kemudian menatap Febi, "Pagi tadi kapan kamu pergi?"
Febi menggigit bibirnya begitu keras hingga memucat.
Tasya berdiri di samping dengan cemas.
"Febi, ayah dan ibu sedang menunggu kita kembali untuk makan malam. Ayo pergi, jangan tunda." Sebelum dia bisa menjawab, Nando sudah datang. Nando mengatakan ini dengan sengaja, dia mengulurkan tangannya untuk memegang tangan Febi dan hendak pergi.
Nando bahkan tidak memandang Julian, seolah-olah dia sama sekali tidak memedulikan kehadirannya.
Febi seperti boneka yang jiwanya telah direnggut. Dia ditarik hingga berjalan maju selangkah. Namun, saat berikutnya, tangan yang lain langsung ditangkap oleh seseorang.
Febi mengangkat kepalanya dan melihat Julian menatap Nando dengan dingin. Cahaya gelap yang dingin dan serius keluar dari mata yang selalu terkendali dan tenang itu, "Lepaskan dia!"
Nando tersenyum dan menjawabnya, "Karena kita berdua memegang tangannya, bagaimana kalau biarkan dia yang membuat pilihan? Biarkan dia memberi tahu kita siapa yang harus melepaskan tangannya!"
Febi menatap Nando. Kenapa dia harus menyulitkannya hingga seperti ini?
Namun Nando masih memiliki tersenyum pelan dan penuh tekad, "Istriku, kamu yang memilih."
Kata 'istri' itu membuat Febi merasa lebih putus asa, dia menatap Julian tanpa sadar dan yang benar saja....
Wajah Julian menjadi masam dan matanya yang gelap menatap Febi dengan tegas, seolah bertanya apa yang sedang terjadi. Meskipun pada saat ini, dibandingkan dengan ketegasan saat menghadapi Nando, saat menatap Febi tatapannya telah kembali lembut.
Mata yang samar, tapi tersirat kepercayaan itu membuat Febi merasa bersalah.
Perasaan itu seperti dipukuli oleh cambuk. Hingga kulit dan dagingnya terkoyak....
Di dunia ini, tidak ada yang lebih kejam dan menyakitkan daripada menyakiti seseorang yang kamu cintai dengan tanganmu sendiri....
Tangan yang digenggam oleh Julian hanya bergerak sedikit. Dengan tindakan sekecil itu, Julian sudah merasakan niatnya. Matanya menjadi dingin dan dia menggenggam tangannya lebih erat, "Beri aku alasan!"
Tiga kata yang dapat dengan mudah membuatnya menangis. Akan tetapi....
Febi hanya mengambil napas dalam-dalam dan menelan kembali cairan pahit itu.
"Itu rumahku. Aku sudah menikah dengan Nando. Jadi, cepat atau lambat aku harus kembali."
"Kamu sudah bercerai." Julian menjelaskan fakta, tapi dia menekan nada suaranya.
"... tidak. Hari itu, ketika aku pergi ke Pengadilan Agama, aku menyesalinya." Febi mengatakan kebohongan yang bahkan tidak dia percayai, "Aku tidak ingin bercerai."
Julian mencibir dengan dingin, dia berpikir Febi menceritakan lelucon konyol, "Febi, tidak ada dari kita yang bodoh. Mungkin kamu bahkan tidak bisa membodohi dirimu sendiri dengan kata-katamu ini."
Memang benar, bukan?
Bagaimana alasan seperti ini bisa menipu Julian?
Jari-jari Febi mengepal tegang satu per satu. Setelah beberapa saat, Febi mengangkat kepala dan menatapnya. Dia berusaha untuk menekan getaran dalam nadanya, hingga terdengar sangat tenang, "Sebenarnya ... aku tidak punya cukup keberanian."
"Kalau Nando dan aku bercerai. Mulai sekarang, aku akan menyandang gelar janda. Aku adalah orang biasa dan juga aku akan takut dengan rumor. Bahkan kalau kamu benar-benar tidak peduli sama sekali. Tapi, bukan berarti orang lain tidak keberatan. Bersama denganmu, aku harus menghadapi lebih banyak rumor, lebih banyak rintangan dan bahkan lebih banyak penderitaan daripada Keluarga Dinata. Aku tidak ingin mencari penderitaan lagi...."
Ekspresi tenang Julian berubah sedikit demi sedikit.
"Kalau kamu sangat takut, kenapa kamu tidak membicarakannya denganku? Kalau kamu ingin mundur. Katakan padaku, apa maksud tindakan kita tadi malam?" tanya Julian sambil menggertakkan giginya.
Kalimat terakhir itu membuat wajah Nando menjadi pucat. Dia menatap Febi, seolah-olah dia akan menggigitnya berkeping-keping.
Tadi malam?
Febi takut kata-kata Julian akan memprovokasi Nando, jadi dia berusaha untuk menarik tangannya dari telapak tangan Julian. Julian menggenggamnya dengan begitu keras sehingga seketika membuat lengannya memerah. Namun, Febi tidak merasakan sakit, dia hanya buru-buru berkata, "Aku sudah lupa! Jadi ... Pak Julian, kelak tolong jangan mengungkitnya lagi!"
"Pak Julian?" Dia mencibir, menatapnya seperti orang asing.
Mata itu setajam duri, seolah akan menusuknya.
"Aku masih harus pindahan, aku tidak akan menemanimu lagi." Febi tidak berani menatap matanya, dia hanya mengatakan ini, lalu berbalik dan pergi.
Febi berbalik dengan cepat, tanpa jeda, seolah-olah dia takut jika dia ragu-ragu sejenak, dia akan menyesalinya.
Bayangan yang tegas dan dingin terlihat olehnya ke matanya. Mata Julian menjadi gelap, tanpa sadar dia mencoba meraih tangannya kembali, tapi Febi menghindar ke samping terlebih dahulu.
Tangannya membeku di udara dengan begitu saja.
Menggantung dengan canggung.
Kemudian, Julian mengepalkan tangannya dengan erat hingga sendinya memutih.
Telapak tangannya terasa kosong....
Febi sudah digenggam oleh Nando masuk ke mobil dan pergi.
Tasya berdiri di samping. Melihat mereka pergi semakin jauh, dia merasa tidak nyaman tapi tidak dapat berbicara.
...
Sebenarnya, Febi hanya pindah beberapa saat, tapi dia merasa seakan sudah berlalu lama. Kembali ke Kediaman Keluarga Dinata, dia seakan tidak bisa mendengar semua hinaan itu.
Febi menghadapi orang banyak, naik ke atas, mengemasi barang-barang dengan kaku....
Malam hari, Febi tidak makan. Setelah mendengar cibiran Bella dan Usha, dia meletakkan sumpitnya dan naik ke atas.
Setelah mandi, Febi mengenakan piyama, lalu membungkus tubuhnya dengan selimut dan menutup mata. Dia benar-benar ingin tertidur seperti ini. Asalkan dia tertidur, dia tidak akan memikirkan apa pun.
Rasa sakit yang sesak di dadanya terus-menerus datang, membuatnya merasa sangat tersiksa.
Febi membungkus dirinya dalam selimut dengan lemah dan menutup matanya. Namun, di dalam benaknya terus terbayang orang itu. Baru tadi malam, mereka tidur saling berpelukan, saling mendambakan kehangatan satu sama lain....
Hari ini, mereka telah menjadi orang asing....
"Membungkus dirimu dengan begitu erat, apakah kamu rindu pelukannya?" Sebuah suara mencibir terdengar di pintu.
Febi merasa sakit kepala yang luar biasa. Tadi, dia sudah mengunci pintu, tapi dia lupa Nando memiliki kunci kamar.
Dia bangkit dari ranjang sambil memegang bantal, dia bahkan tidak ingin menatapnya, "Kalau kamu ingin tidur di sini, aku akan tidur di ruang kerja," ucap Febi lalu berjalan ke samping, mencoba menghindari Nando dan berjalan keluar. Ketika dia lewat, lengannya tiba-tiba dicengkeram oleh Nando.
Nando begitu kuat dan sedikit kasar, membuat Febi sakit hingga mengerutkan kening.
"Lepaskan!"
Dia meronta.
Dia tiba-tiba menarik Febi masuk. Pada saat berikutnya, Nando membanting pintu dengan keras. Febi terhuyung mundur selangkah, bantal di tangannya jatuh. Sebelum dia bisa berdiri tegak, Nando berjalan mendekat sambil memandangnya dari atas ke bawah dan mengencangkan tangannya dengan dingin, "Tadi malam, apa yang sudah kalian lakukan?"
Febi seharusnya sudah bisa memikirkannya.
Sebenarnya Nando adalah orang yang berpikiran sempit. Dia tidak akan pernah melupakan apa yang dikatakan Julian barusan.
"Jangan mengajukan pertanyaan yang kamu sudah tahu jawabannya! Aku lelah hari ini. Aku tidak ingin berdebat denganmu lagi. Kalau kamu memiliki sesuatu untuk dikatakan, kembalilah dan beri tahu aku besok," usir Febi dengan dingin sambil mengulurkan tangan untuk mengambil bantal.
"Sialan! Kamu berselingkuh dariku dan kamu masih merasa dirimu benar!" erang Nando dengan marah, matanya tiba-tiba memerah, "Katakan padaku, apakah kamu memberikan pertama kalimu padanya? Benarkah?"
Febi tersenyum sedikit. Melihat penampilannya yang sedih, dia tiba-tiba merasakan perasaan balas dendam, "Ya, apa yang dulu kamu hina, yang tidak kamu inginkan, sekarang semuanya tidak tersisa lagi. Tubuhku, hatiku sudah bukan milikmu lagi! Jadi, apakah kamu puas sekarang?"
"Kamu!" Nando mengangkat tangannya dengan marah. Namun, tamparan itu tidak jatuh. Telapak tangan itu menjadi semakin erat dan jari-jarinya tertutup satu per satu. Matanya menjadi semakin gelap.
Febi menatap telapak tangan Nando dan menyunggingkan bibirnya dengan ekspresi mengejek, "Kenapa kamu tidak menampar? Bukankah kamu sangat suka menamparku?"
"Diam! Berhenti membuatku marah!" raung Nando dengan marah dan menatapnya dengan mata memerah, seolah-olah dia akan mencabik-cabiknya. Saat berikutnya, Nando tiba-tiba mendorong Febi, lalu melangkah ke kamar, membuka lemari dan mengeluarkan piyamanya. Setiap gerakan sangat kuat dan pintu lemari ditutup dengan keras olehnya. Di tengah malam, suara itu terdengar menakutkan.