Setiap gerakan sangat kuat dan pintu lemari ditutup dengan keras olehnya. Di tengah malam, suara itu terdengar menakutkan.
Mengingat tindakan berlebihan yang telah Nando lakukan di masa lalu, Febi benar-benar tidak berani tinggal di kamar yang sama dengannya. Saat Febi hendak keluar sambil memegang bantal, Nando berbalik dan menatapnya dengan dingin, "Febi, berhenti!"
Febi mempercepat langkahnya.
Nando menggertakkan giginya, "Aku menyuruhmu berhenti! Febi, kamu sebaiknya tidak membuatku marah sekarang!"
Nando sekarang adalah bom yang bisa diledakkan kapan saja. Terutama ketika dia teringat Febi bahkan memberikan pertama kalinya pada Julian, dia merasa tidak nyaman seakan disiksa oleh api.
Febi berhenti. Dia memeluk bantal dan berbalik untuk menatapnya, "Apa yang kamu inginkan? Bahkan kalau kamu menggunakan ancaman untuk menahanku, kamu hanya mendapatkan tubuh kosong yang tidak memiliki hati! Nando, kamu tidak dapat memaksa hati seseorang kembali dengan cara paksa!"
Nando merasakan alisnya berkedut, lalu dia meraung dengan marah, "Kamu tidak perlu mengingatkanku sepanjang waktu, hatimu ada pada pria lain!"
"Dan...." Nando meremas piyama di tangannya menjadi bola, lalu dia mengambil napas dalam-dalam dan menatapnya, "Malam ini, kamu tidur di kamar...."
"Aku...."
Febi hendak menolak, tapi Nando sudah memotongnya, "Aku tidur di ruang kerja."
"..." Febi pikir dia salah dengar, jadi dia menatap Nando dengan terkejut. Namun Nando sudah berbalik dan berjalan menuju kamar mandi.
Punggungnya terlihat dingin. Di bawah cahaya kamar tidur, bayangan itu menjadi semakin tinggi dan kesepian.
Febi sedikit mengernyit dan duduk di sofa sambil memegang bantal. Sebelum Nando pergi, dia tidak bisa melepaskan kewaspadaannya.
...
Pintu kamar mandi terbanting menutup hingga terdengar suara "bang".
Nando meletakkan tangannya di atas wastafel dengan napas terengah-engah. Setiap jarinya menegang, seolah-olah akan patah kapan saja.
Dia ... dan Julian....
Memikirkan adegan Febi yang bergairah dan mengerang di bawah tubuh pria lain, dia merasa sakit hati yang tak tertahankan. Akhirnya, Nando tidak mau berpikir lebih jauh lagi. Dia membuka keran air, lalu mengambil air dingin dan terus-menerus membasuh wajahnya.
Bukankah hanya pertama kalinya?
"Pertama kali tidak begitu penting! Tidak begitu penting!" gumam Nando berulang kali pada dirinya. Setelah bergumam untuk ke sepuluh kalinya, depresi dan rasa sakit di hatinya sedikit memudar.
...
Kamar tidur sangat sepi.
Hanya sesekali terdengar gemericik air dari kamar mandi.
Febi duduk di sofa sambil memegang bantal dengan linglung. Dia benar-benar lelah dan tanpa sadar dia tertidur seperti ini.
Setelah Nando mandi, dia berganti piyama dan keluar. Hanya sekilas, dia telah melihat Febi tertidur di sofa.
Febi jelas sangat tidak senang, bahkan ketika dia tertidur, alisnya yang halus terus berkerut. Setengah dari wajah kecil Febi terbenam di bawah bantal dan rambut hitamnya. Namun, Nando bisa dengan jelas melihat kesedihan dan depresi di wajahnya.
Apakah meninggalkan pria itu benar-benar membuatnya sangat sedih?
Napas Nando menjadi sedikit lebih berat dan dia berjalan ke arah Febi perlahan.
Gerakan Nando sangat ringan, dia tidak ingin mengganggu Febi.
Di antara mereka, sekarang hanya ketika Febi tertidur Nando bisa menatapnya dengan begitu tenang.
Di depan Nando, Febi selalu seperti sebuah landak yang tidak sabar untuk menusuk dan melukai Nando dengan duri.
Nando menatapnya dalam-dalam, mendengarkan napas Febi yang pelan, dia merasakan kedamaian yang langka di hatinya.
Seolah-olah rasa sakit dan depresi di hatinya yang begitu lama telah menghilang untuk sementara waktu.
Anak Vonny benar-benar di luar dugaan Nando. Sekarang Nando, Febi dan Vonny seperti berjalan di jalan buntu.
Dia tidak ingin melepaskan Febi, tapi dia lebih tidak bisa meminta Vonny untuk menggugurkan anak yang tidak bersalah.
Nando mengambil napas dalam-dalam, dia tidak ingin memikirkannya lagi. Pada saat berikutnya, dia tidak bisa menahan diri untuk mengulurkan tangan dan dengan lembut menyisir rambut dari wajah Febi.
Nando sangat berhati-hati sehingga ujung jarinya bahkan tidak berani menyentuh kulit Febi, karena takut gerakan kecil itu akan merusak ketenangan langka saat ini. Febi tidak bangun, Nando hanya melihatnya seperti itu dan sudut bibirnya sedikit terangkat.
Detik berikutnya....
Nando membungkuk, lalu menggendong Febi dan juga bantal dalam pelukannya.
Kali ini, Febi tiba-tiba terbangun di pelukannya. Ketika dia membuka matanya dan melihat Nando menggendongnya, dia sangat terkejut sehingga dia segera membanting bantal di tangannya ke wajah Nando.
Nando sangat marah.
Sial!
Dia bahkan tidak boleh menyentuh wanita ini! Kenapa pria itu boleh menyentuhnya?
Nando melempar Febi ke ranjang dengan marah. Febi sudah tidak mengantuk dan matanya memelototi Nando dengan waspada, "Jangan mendekat!"
Nando tidak hanya tidak mendengarnya, dia malah bergegas mendekat dan menahannya Febi yang sedang meronta. Febi kesal hingga matanya memerah dan dia memerah dengan sekuat tenaga.
Mata Nando juga merah karena marah, "Febi, kalau aku bilang, lahirkan anak untukku...."
"Jangan bermimpi!" sela Febi.
Nando menatapnya dengan dingin, "Kalau kamu tidak setuju, aku akan mengirim data itu kepada polisi."
Gerakan Febi membeku. Nando menatap Febi dengan dingin dari atas ke bawah, "Bagaimana? Mau melahirkan anakku?"
Febi menggigit bibirnya dengan erat, seolah-olah ingin menggigit bibirnya hingga berdarah. Napas Febi berat dan matanya sepertinya memiliki banyak keluhan. Namun akhirnya, dia keras kepala dan tidak mengatakan sepatah kata pun.
Febi sudah melawan secara diam-diam.
Nando menatapnya lama dengan mata yang rumit. Tepat ketika Febi berpikir Nando benar-benar akan melakukan sesuatu padanya, Nando malah tidak melanjutkan tindakannya. Dia hanya berkata dengan tertekan dan sakit, "Febi, mari kita saling menyiksa seperti ini. Ayo pergi ke neraka bersama...."
...
Pergi ke neraka bersama....
Febi sedang berbaring di ranjang sendirian. Dia masih memikirkan kata-kata Nando.
Apa yang Nando katakan benar. Hari-hari di Kediaman Keluarga Dinata benar-benar seperti neraka. Namun, sekarang dia bahkan tidak bisa melawan.
Di luar pintu, terdengar samar-samar suara pertanyaan Bella yang sinis dan tajam, "Ada apa denganmu? Kamu bahkan membawanya pulang! Foto-foto terakhir kali membuktikan dia berselingkuh. Kamu masih menginginkan wanita yang tidak setia? Apa tidak cukup dia berselingkuh darimu?"
Foto?
Foto apa? Siapa yang mengambil foto?
Febi bingung untuk sementara waktu. Namun pada saat berikutnya, dia menutup matanya dan tidak mau berpikir lagi. Foto apa pun tidak penting lagi.
"Bu, jangan banyak bicara! Dia istriku!"
"Kamu ... kamu sudah tergila-gila padanya!"
...
Di sisi lain.
Julian banyak minum malam ini. Perjamuannya selalu banyak, tapi karena kesehatannya, dia selalu minum secukupnya. Namun, malam ini dia tidak menolak orang yang bersulang padanya.
"Pak Julian, apakah kamu baik-baik saja?" Ryan membukakan pintu mobil untuknya.
Julian tidak menjawab, dia hanya duduk diam di barisan belakang. Julian melihat ke luar jendela mobil, lampu di luar menyinari matanya, tapi matanya masih terlihat gelap.
Ryan menatap Julian dengan sedih. Akhirnya, Ryan tidak mengatakan apa-apa. Dia menutup pintu dan duduk di kursi pengemudi dengan tenang.
"Pak Julian, Anda akan kembali ke Jalan Akasia atau hotel?"
Matanya terus melihat ke jendela. Setelah beberapa saat, dia berkata dengan suara rendah, "Jalan Akasia."
...
Emosi benar-benar adalah sesuatu yang aneh. Jelas-jelas ruangan ini memiliki dekorasi yang sama, tidak ada yang berubah, tapi....
Ketika Julian kembali malam ini, dia merasa seluruh rumah menjadi sangat kosong.
Sama seperti hatinya saat ini, kosong dan ada rasa sakit yang tak terlukiskan.
Julian berbaring telentang di ranjang besar. Dalam napasnya, sepertinya masih ada aroma yang Febi tinggalkan di ranjang ini tadi malam....
Sesaat demi sesaat menarik sarafnya.
Julian menyunggingkan sudut bibirnya dengan mengejek.
Dia sudah melewati usia muda yang sembrono, tapi dia masih tidak bisa menahan perasaan menyakitkan yang tak tertahankan karena Febi.
...
Manusia selalu menjadi makhluk yang aneh.
Febi sebenarnya tidak ingin bertemu Julian di hotel. Dia takut dia akan kehilangan kendali dan tidak bisa mendahan diri ingin mendekatinya. Namun, setiap kali dia berjalan ke jendela, matanya terus mencari dengan tak terkendali.
Dari lokasi ini, garis pandangnya sangat luas. Sebagian besar taman hotel dapat dilihat olehnya.
Akan tetapi....
Selama dua hari berturut-turut, Febi tidak melihat Julian. Telepon juga tidak pernah berdering.
Keduanya tampaknya diam-diam telah memutuskan kontak.
Bagus....
Sangat bagus....
Menanganinya dengan rapi selalu menjadi gayanya.
Julian adalah orang yang datar, tidak akan terus mengganggunya. Febi juga tidak akan merasa kesulitan.
'Seperti ini yang paling dirinya inginkan, bukan?' pikir Febi
Febi menghibur dirinya sendiri seperti ini, tapi tekanan yang terjerat di hatinya semakin hari semakin menjadi-jadi.
Rasa ingin tapi tak dapat memiliki, rindu tapi tak dapat bertemu begitu menyiksanya.
Saat istirahat makan siang, Tasya mengajaknya ke pusat perbelanjaan tidak jauh dari hotel. Tasya ingin membeli pakaian baru untuk Delvin. Febi menganggap itu sebagai pengalih perhatian, jadi dia pergi bersamanya.
Toko bayi.
Saat keduanya baru masuk, Febi dan Tasya tertegun sejenak. Di toko bayi, Vonny dan Usha bahkan ada di sana.
Keduanya memilih pakaian bayi dengan bahagia.
"Tidak tahu apakah bayi di perutmu laki-laki atau perempuan. Kalau itu perempuan, aku bisa membelikannya pink, mendandaninya dengan cantik dan membawanya keluar untuk dipamer," ucap Usha dengan bahagia.
"Aku malah berharap adalah laki-laki!" Vonny berkata, "Keluargamu hanya memiliki seorang keturunan. Seharusnya Bibi berharap aku melahirkan anak laki-laki, 'kan?"
"Benar. Febi telah menikah dengan kakakku selama dua tahun, tapi dia bahkan tidak melahirkan anak. Benar-benar membuat ibuku panik. Kemudian, aku baru tahu kakakku bahkan tidak menyentuhnya. Menurutmu, betapa menyedihkan hidup seorang wanita yang bahkan suaminya tidak ingin menyentuhnya. Kalau aku jadi dia, aku mungkin akan menabrak kepalaku sampai mati."
Ketika mendengarnya, Vonny tertawa.
"Febi, kamu adalah kubis kecil segar yang tidak digerogoti oleh babi. Kita harus menyalakan petasan untuk merayakannya, bukan?" sela Tasya dengan tiba-tiba, menyebabkan keduanya tercengang.
Ketika Usha menoleh, dia melihat Febi dan Tasya memegang sesuatu dengan kepala menunduk, seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Usha sangat marah sehingga dia melemparkan benda di tangannya, "Tasya, berani-beraninya kamu memarahi kakakku!"
Tasya tersenyum manis, "Oh, ternyata kakakmu si babi itu?"
Tatapan Tasya mendarat di perut Vonny untuk sementara waktu dan dia tidak bisa menahan tawa, "Menurutku, kubis busuk yang terus digerogoti babi sampai mengandung anaknya dan ditolak dari keluarga itu yang seharusnya menabrak kepalanya sampai mati!"
Wajah Vonny menjadi pucat dan tangan yang tergantung di sisinya terkepal erat. Kata-kata Tasya langsung menusuk hatinya.
Namun, Vonny malah mengarahkan jarinya ke Febi yang selalu berwajah dingin dan tidak mau terlibat dengan mereka, "Febi, apa yang kamu inginkan? Aku sudah mengandung anak Nando dan aku tidak akan pernah menggugurkannya. Sekarang, Nando juga sangat peduli adalah anak ini. Apa maksudmu kembali ke Kediaman Keluarga Dinata dan mengganggu Nando? Aku mohon, lepaskan dia pergi, oke?"
Setelah berkata, Vonny bahkan memperlihatkan wajah menyedihkan.
Febi memandangnya seperti sedang menonton lelucon. Dengan pemikiran Vonny, sangat mudah bagi Nando untuk membujuknya.
"Sebaiknya kamu kembali dan memohon ayah dari anakmu untuk melepaskanku. Aku akan berterima kasih padamu."
"Siapa yang menyuruhmu terlalu menarik, ayah dari anak itu hanya suka mengganggumu? Tidak seperti seseorang yang memiliki perut besar dan tidak diterima dalam keluarga itu, benar-benar menyedihkan!" ucap Tasya dengan sedih. Mereka saling sahut-menyahut, membuat wajah Vonny menjadi semakin pucat. Dia menatap Febi dengan enggan, seolah-olah dia akan membunuhnya dengan matanya.
Usha hendak membantu Vonny berbicara, tapi dia malah menerima telepon.
"Bu, ada apa? Apa? Seorang wanita tua mencari masalah denganmu? Tunggu aku, aku akan segera ke sana! Baik!"
Usha buru-buru menutup telepon dan berkata kepada Vonny, "Kak Vonny, ibuku bertengkar dengan seorang wanita tua di konter pakaian wanita. Aku harus pergi memeriksa. Tidak tahu siapa wanita tua yang menyebalkan itu!"
"Oke, kalau begitu kamu pergilah."
Usha juga tidak tinggal lebih lama lagi. Sebelum pergi, dia memelototi Febi, "Masalah kamu memarahi kakakku, aku akan membuat perhitungan denganmu nanti! Kakakku tidak akan pernah melepaskanmu!"
Febi tidak bisa berkata-kata.
Begitu Usha pergi, hanya Vonny yang tersisa di sini. Febi tidak berniat berdebat dengannya. Bagi Febi, keberadaan Vonny sudah tidak ada artinya lagi. Dulu Vonny merupakan wanita yang membuat Febi cemburu, tapi sekarang dia bukan siapa-siapa lagi.
Tasya secara alami berhenti memprovokasi Vonny. Mereka berdua memilih beberapa set pakaian untuk Delvin di toko pakaian anak-anak. Setelah membayar pesanan, mereka mendengar suara yang akrab dari kejauhan.
"Aku adalah pelanggan VIP di toko ini. Karena aku suka pakaian ini, aku secara alami akan mengambilnya!" Suara itu adalah suara Bella.
Dia selalu bersikap sesuka hati dan arogan.
"Nyonya ini, set ini dan set ini dilihat oleh nenekku terlebih dulu. Tidak peduli Anda adalah pelanggan VIP atau bukan. Anda juga harus memperhatikan orang yang pertama datang. Kalau Anda ingin mengambil semuanya, Anda terlalu mendominasi!"
Suara itu adalah suara wanita yang tidak dikenal, seorang wanita muda. Dibandingkan dengan suara keras Bella, dia terlihat jauh lebih lembut, tapi auranya tidak kalah dari Bella.
"Ayo, kita lihat juga." Tasya suka menonton kesenangan, jadi dia menyeret Febi dan pergi.
Saat mereka berjalan ke pintu toko yang indah, keduanya kembali tercengang. Selain Bella dan wanita asing itu, ada....
Nyonya Besar!
"Nona, bantu aku membungkus semua pakaian yang disukai wanita ini, aku menginginkan semuanya!" Nyonya Besar bahkan tidak melihat Bella. Dia hanya mengeluarkan kartu dari tasnya dan meletakkannya di konter dalam diam.
"Dasar wanita tua, sombong sekali kamu!" Orang yang berbicara adalah Usha sambil mendekati wanita tua itu. Wanita tua itu memalingkan wajahnya untuk menatapnya. Tatapan agung itu membuat Usha merasa sesak napas dan takut.
"Nenek, apa Nenek baik-baik saja?" Febi memperhatikan wanita muda yang selalu berada di samping Nyonya Besar.
Dia pasti sama seperti Usha putri yang lahir di keluarga kaya, tapi auranya jauh lebih kuat dan elegan daripada Usha. Dia hanya menanyakan kalimat seperti itu dengan perlahan. Bulu mata lentik yang panjang berkedip beberapa kali dan memperlihatkan gaya unik seorang wanita.
Tidak tahu kenapa, nama "Valentia" tiba-tiba muncul di benak Febi.
"Jangan khawatir, nenek baik-baik saja." Nyonya Besar menepuk tangan wanita muda itu, kemudian berkata kepada yang lain, "Setelah selesai dibungkus, kirimkan ke Hotel Hydra."
Pelayan terus melihat kartu yang diberikan Nyonya Besar, kemudian mengalihkan pandangannya ke Bella dengan ekspresi meminta maaf, "Maaf, Ibu Bella, kartu nyonya ini hanya adalah kartu WIP yang hanya ada tiga di dunia. Ketentuan perusahaan kami adalah memenuhi kebutuhan pelanggan WIP tanpa syarat."