Chereads / Direktur, Ayo Cerai / Chapter 114 - ##Bab 114 Seseorang Telah Tertanam Di Hati Dan Tidak Pernah Terlupakan

Chapter 114 - ##Bab 114 Seseorang Telah Tertanam Di Hati Dan Tidak Pernah Terlupakan

Begitu seseorang tertanam di hati, makan akan terus-menerus merindukannya.

Malam hari.

Setelah Febi menyelesaikan pekerjaannya dan mandi, dia berbaring di ranjang dan menatap langit-langit. Bayangan seseorang terus-menerus menghantui pikirannya. Memikirkan orang itu, Febi tidak bisa menahan untuk tersenyum. Seketika, hatinya diselimuti perasaan bahagia.

Sekarang sudah lewat jam 10, tidak tahu apakah Julian masih sibuk. Febi memeluk selimut, berbalik, lalu mengeluarkan ponsel dari bawah bantal dan menggerakkan jari-jarinya di nomor yang sudah dikenalnya. Pada akhirnya, dia tidak menekan angka-angka itu.

Menelepon selarut ini mungkin akan membuat Febi tampak terlalu lengket padanya. Selain itu, jika Nyonya Besar ada di sana, maka pasti akan sulit untuk menjelaskannya.

Memikirkan hal ini, Febi melemparkan ponsel ke samping dengan kesal dan menarik selimut untuk menutup tubuhnya. Apakah ini rasanya jatuh cinta?

Kapan Febi menjadi begitu bertele-tele, takut akan kehilangan?

Jika Tasya mengetahui penampilan Febi ini, dia pasti akan menertawakannya.

Saat Febi sedang memikirkannya, telepon tiba-tiba berdering. Di ruang gelap, nada dering itu tampak begitu tiba-tiba. Akan tetapi, suara itu seperti drum yang langsung memukul jantung Febi hingga berdetak tidak karuan.

Febi segera mengeluarkan ponsel dari bawah bantal dan tanpa melihatnya terlebih dulu, dia meletakkan ponselnya di telinganya dengan tidak sabar, "Halo!"

Febi jelas mendengar nada suaranya sendiri terdengar begitu tinggi di malam hari, seperti burung yang terbang di udara.

Akan tetapi....

Suara di sana membuat hatinya yang bahagia tiba-tiba menjadi sedih.

"Aku."

Suara itu adalah suara yang dia harapkan dulu. Namun sekarang, suara ini tidak ada arti lagi untuknya.

"Sudah larut begini, apakah kamu ada urusan?" Itu bukan Julian, tapi Nando.

"Mengetahui ini aku, apakah kamu merasa sangat sedih?" tanya Nando sambil mencibir dengan nada suaranya yang terdengar getir. Perubahan emosi dalam nada suara Febi yang terlalu cepat membuat Nando tidak dapat mengabaikannya.

"Kalau kamu memiliki sesuatu untuk dibicarakan cepat bicarakan, aku sedikit mengantuk." Febi tidak ingin berbicara terlalu lama dengan Nando. Khawatir Nando tidak mempercayainya, jadi dia menguap dengan sengaja.

Nando terdiam beberapa saat, lalu dia berkata, "Apa kamu tahu? Tadi malam, Vonny yang menjagaku sepanjang malam. Aku bermimpi dan mengira itu adalah kamu hingga aku bahkan tertawa di dalam mimpiku. Aku bahkan berpikir, karena kamu merawatku dengan sepenuh hati. Mungkin kamu masih mencintaiku. Kalau begitu, aku tidak akan pernah menceraikanmu dalam hidup ini."

Mendengar kalimat terakhir, Febi tidak bisa menahan cemberut, "Tapi kamu tahu itu bukan aku. Karena Vonny menjagamu sepanjang malam, jangan mengkhianatinya, jangan mengkhianati anak itu."

Nando menertawakan dirinya sendiri.

Ketika Nando terbangun dari mimpi, semua fantasinya hancur....

"Febi, aku akan menanyakan satu pertanyaan terakhir padamu," ucap Nando dengan suaranya muram. Pada malam seperti itu, suara itu terdengar sedikit lebih menyedihkan.

"Penyebab kamu menceraikanku apakah lebih banyak karena Vonny atau lebih banyak karena Julian?" Nando menambahkan, "Jangan bilang itu tidak ada hubungannya dengan Julian, kamu tidak bisa berbohong padaku!"

"Aku tidak bermaksud mengatakan itu tidak ada hubungannya dengan dia." Febi berbaring, lalu menatap langit-langit sambil merenung dan berkata terus terang, "Dulu karena Vonny. Aku percaya tidak ada wanita yang bisa menerima suaminya mengabaikan dirinya seperti ini dan masih mengetahui wanita lain mengandung anak suaminya. Tapi sekarang ... bagiku Vonny tidak ada arti apa pun lagi."

Nando terkejut, dia jelas terpana dengan kata-kata Febi.

"Ketika aku masih peduli tentangmu dan keluarga itu, Vonny adalah orang yang aku waspadai dan duri dalam dagingku. Sepanjang waktu membuatku merasa tidak nyaman dan tersiksa. Tapi sekarang, tidak peduli itu adalah kamu atau keluarga itu, bagiku semua itu sudah tidak penting lagi. Oleh karena itu, setiap provokasi Vonny berubah menjadi lelucon bagiku."

"..." Nando terdiam untuk waktu yang lama, hingga bahkan napasnya menjadi sangat berat.

"Adapun apa yang kamu katakan tentang Julian...." Ketika Febi menyebut Julian, nada suaranya menjadi jauh lebih tenang dari sebelumnya dan suasana hatinya jauh lebih nyaman, "Aku tidak ingin menyangkal perasaanku padanya. dia mungkin ... lebih dalam dari aku dan kamu bayangkan."

"... Baik, besok bawa surat ceraimu. Aku akan membawa surat nikah."

Febi menatap langit-langit. Dia bahkan berpikir dirinya telah salah dengar. "Apakah kamu tidak bercanda?"

"Kenapa? Apakah kamu ingin aku bercanda? Kalau kamu berharap begitu, maka aku bisa menarik kembali...."

"Jam berapa kita akan bertemu di Pengadilan Agama besok?" tanya Febi dengan terburu-buru, dia bahkan langsung memotong kata-kata Nando.

Kecewa, frustrasi....

Akhirnya, Nando berkata dengan nada murung, "Aku hanya punya waktu setelah jam 3 sore."

"Oke, kalau begitu jam tiga sore!" Febi membuat keputusan dengan cepat dan suaranya penuh kegembiraan.

Apakah ada orang ketika bercerai bisa bahagia seperti dia?

Terlebih lagi, di depan Nando, Febi bahkan tidak menutupinya sedikit pun! Tidak hanya tidak terlihat seperti bercerai, bahkan Febi seperti tidak sabar untuk menikah.

Nando yang berada di sisi lain berdiri di dekat jendela sambil menatap malam di luar jendela. Mendengarkan suara Febi yang bahagia, dia merasa hatinya seakan tersayat oleh pisau.

Nando memegang telepon dengan erat. Dia mengerutkan bibirnya dan mengajukan pertanyaan, "Apakah setelah kita bercerai, kamu akan menikah dengan Julian?"

"..." Kali ini, sebaliknya malah Febi yang tercengang.

Menikah dengan Julian?

Sepertinya bukan giliran Febi untuk memikirkan pertanyaan ini. Hubungan di antara mereka baru saja dimulai dan akan terlalu dini untuk mengatakan pernikahan. Selain itu....

Sekarang Febi bahkan tidak bisa menaklukkan Nyonya Besar.

Masih ada ayah dan ibu Julian yang bahkan belum pernah ditemui oleh Febi.

"Aku tidak berpikir untuk menikah secepat ini."

Tampaknya jawaban ini memuaskan Nando. Ketika dia berbicara lagi, nadanya terdengar sedikit lebih santai, "Oke, Febi, sampai jumpa di Pengadilan Agama besok."

Setelah menutup telepon, Febi merasa dalam suasana hati yang sangat baik. Kali ini dia benar-benar tidak menyangka Nando akan bersedia menceraikannya begitu cepat.

"Bagus sekali!" Febi bangkit dari ranjang dan dengan cepat mencetak surat cerai. Dia tidak lupa menyiapkan semua kartu identitas dan data keluarga lainnya.

Febi benar-benar tidak tahu apakah ini karena restu Nyonya Besar. Jika bukan karena perjalanan pemandian air panas yang dia atur, Vonny tidak akan bisa menjaga Nando sepanjang malam.

Semakin Febi memikirkannya, dia semakin bahagia.

Febi sedang melihat-lihat dokumen di tangannya, lalu telepon berdering lagi. Dia mengulurkan tangan untuk mengambilnya dan meletakkannya langsung di telinganya, "Kamu tidak menyesalinya, 'kan?"

"Apa?"

Kali ini, bukan Nando.

Suara itu adalah suara serak lelaki lain yang masuk ke telinganya.

Febi memindahkan ponselnya ke depan wajahnya. Ketika dia melihat nama yang ditampilkan di layar, dia langsung tersenyum.

Febi terlalu bahagia hingga menjadi linglung.

"Tidak ada, aku pikir itu telepon orang lain."

"Oh? Siapa itu?" tanya Julian dengan santai, seolah hanya pertanyaan basa-basi.

Febi membereskan berkasnya dan berkata, "Aku baru saja menelepon Nando."

"Oh...." Nada suara Julian sedikit naik, tapi dia tidak bertanya lebih jauh.

Febi mematikan komputer dan layar komputer berangsur-angsur menjadi gelap, hingga mencerminkan ekspresi tersenyum. Mata Febi berbinar-binar dengan senyuman berseri dan lembut. Tidak heran semua orang mengatakan dia terlihat bahagia.

"Apakah kamu tidak ingin tahu apa yang kita bicarakan?" Febi memegang telepon dan bersandar di samping ranjang. Ketika dia berbicara, suaranya pelan dan lembut.

"Penasaran. Tapi alih-alih berbicara di telepon, apakah kamu pernah berpikir untuk bertemu?"

"Bertemu?"

"Aku di bawah gedungmu."

"Benarkah?" Mata Febi berbinar-binar. Dia berusaha sangat keras untuk menahan suasana hati yang bahagia. Namun pada saat berikutnya, dia sudah berjalan ke jendela dengan kaki telanjang dan tidak sabar untuk membuka jendela.

Lantai bawah gelap dan dia tidak bisa dilihat dengan jelas. Namun, ini sama sekali tidak memengaruhi suasana hatinya.

"Bagaimana kamu bisa tahu alamat di sini?" tanya Febi sambil membuka pintu dan berbalik untuk berjalan keluar. Febi mengenakan piyama, dia bahkan tidak berganti pakaiannya.

"Aku bertanya pada Agustino, dia seharusnya sering pergi ke sini."

Febi tersenyum sedikit, "Ya. Tunggu aku, aku akan segera turun."

"Oke," jawab Julian, tapi dia tidak segera menutup telepon. Meskipun pada saat ini mereka berdua tidak berbicara, hanya mendengarkan napas satu sama lain, Julian merasa jarak mereka sangat dekat, seolah-olah Febi berada di sisinya.

Perasaan ini sangat menakjubkan....

Menakjubkan dan menghangatkan hati.

Setelah dia masuk ke lift, Febi berkata, "Kalau begitu aku akan menutup telepon, aku sudah sampai di lift."

Suara itu lembut, juga terdengar sedikit nostalgia dan keengganan. Perasaan seperti ini sangat aneh, bukankah Julian akan segera bertemu dengan Febi?

Mungkin....

Inilah perasaan rindu yang sesungguhnya.

Seperti sebuah bayangan....

Diam-diam masuk ke lubuk hatinya.... Pada saat Julian tidak menyadarinya, Febi sudah mengisi seluruh hatinya....

...

Febi berlari ke bawah dan tepat sebelum dia akan meninggalkan gedung unit, dia sengaja berhenti, mengambil napas dalam-dalam, lalu menenangkan napasnya dan membuat dirinya terlihat normal. Kemudian, Febi baru berjalan keluar.

Di bawah lampu remang-remang di dalam kompleks, dia melihat Maybach yang akrab dalam sekilas.

Sementara Julian....

Bersandar pada tubuh mobil. Malam ini, Julian telah mengganti setelan formal dan mengenakan setelah kasual. Pakaian berwarna biru tua dengan totem di dadanya.

Julian yang seperti ini terlihat jauh lebih muda, dengan penampilan luar biasa dan semangat tinggi.

Dia hanya berdiri di sana dan menatap Febi tidak berada tidak jauh darinya. Mata Julian berbinar-binar dan ada senyum tipis. Meski begitu, dia tetaplah putra kaya raya dan terhormat.

Dia terlihat elegan, menawan seperti lelaki luar biasa....

Bahkan jika dia tidak melakukan apa-apa, dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi dia sudah membuat jantung Febi berdetak lebih cepat dan tidak bisa mengalihkan pandangannya....

Gadis kecil di kompleks yang baru saja kembali dari shift malam juga tidak tahan untuk meliriknya, lalu menundukkan kepalanya dengan malu-malu dan berbisik satu sama lain.

Tidak perlu mendengarnya pun, Febi bisa menebak apa yang mereka bicarakan.

Febi mendekati Julian sambil tersenyum.

"Sudah selarut ini, kenapa kamu datang kemari?" tanya Febi. Ketika dia berbicara, suaranya menjadi lebih lembut.

Julian menatapnya dengan tatapan yang dalam. Julian tidak menjawab, dia hanya tiba-tiba mengulurkan tangan dan memeluk Febi ke dalam pelukannya. Napas pria itu mengenai lubang hidung Febi dan tiba-tiba dia menahan napas.

"Aku sibuk sampai sekarang. Aku baru saja makan dengan Nyonya Besar."

Karena begitu dekat, setelah diperiksa lebih dekat, Febi bisa melihat kelelahan di wajahnya. Febi merasa kasihan dan tiba-tiba jari-jarinya yang halus membelai alis Julian, "Kamu sudah sangat lelah, jadi jangan datang ke sini lagi. Bukankah kamu masih harus melakukan perjalanan bisnis dengan Direktur Utama besok?"

Ujung jari Febi yang hangat dan lembut itu dengan perlahan mendarat di dahi Julian, hingga membuatnya merasakan kenyamanan yang tak terlukiskan.

"Karena aku akan pergi, makanya aku datang ke sini sekarang." Julian memeluk Febi dan mengendus aroma harum di tubuhnya dengan enggan. Pada saat itu, kelelahan sepanjang hari seakan menghilang dalam sekejap.

"Besok penerbangan jam berapa?"

"10 pagi."

"Kalau begitu kamu harus istirahat lebih awal malam ini. Selain itu, aku memeriksa di Internet tentang migrain. Semua orang berkata migrain tidak boleh banyak berpikir, jadi kamu tidak boleh terlalu lelah. Pastikan kamu membawa obatmu, jangan seperti terakhir kali penyakitmu kambuh."

Ketika teringat dengan situasi migrain Julian yang kambuh, Febi masih memiliki ketakutan yang tersisa.

Mendengar Febi memesankan begitu banyak padanya, Julian tidak hanya tidak berpikir dia cerewet. Sebaliknya, dia berpikir bahwa Febi terlihat sangat cantik.

Bersinar terang....

Bibir merah mudanya berkedut. Terlihat indah dan hidup....

Julian tiba-tiba tidak bisa menahan diri untuk tidak menciumnya....

Benar-benar menginginkannya....

"Aku dengar cuaca di sana akan berubah baru-baru ini, jadi kamu harus ingat untuk membawa pakaian lebih. Untuk Direktur Utama, kamu juga ingat untuk mengingatkannya."

Tatapan Julian mengarah padanya, hingga membuat mulut Febi terasa kering.

Hal tersebut juga membuat Febi tiba-tiba menyadari dia berbicara terlalu banyak. Dia menggigit bibir bawahnya dan memaksa dirinya untuk diam karena malu.

Untuk pertama kalinya, Febi menyadari dia sebenarnya memiliki potensi seorang ibu yang cerewet.

Julian mengulurkan tangan dan membelai bibirnya, menggantikan bibirnya untuk mencium bibir Febi, "Bukankah seharusnya kamu berbicara denganku tentang percakapanmu dengan Nando?"

Nada suara itu sedikit lebih rendah. Di malam yang gelap, suara itu terdengar sangat seksi hingga membuat orang terkejut. Terutama kapalan tipis di ujung jari Julian yang menggosok di bibir Febi, jari itu seakan membawa arus listrik yang membuatnya mati rasa.

Febi terengah-engah , dia berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan diri, lalu meraih tangan Julian yang bergerak sembarangan dan berusaha untuk berbicara, "Dia membuat janji denganku untuk bertemu di depan Pengadilan Agama besok."

Berbicara sampai di sini, Febi melihat mata Julian yang berkedip cerah, begitu cerah sehingga Febi tidak bisa mengabaikannya.

Febi juga ikut tertawa, "Kami akan bercerai besok."

Setelah jeda, dia berkata dengan sungguh-sungguh, "Mulai besok ... aku akan bebas."

Bebas tanpa ikatan....

Untuk pertama kalinya, Febi merasa perceraian bisa menjadi hal yang menenangkan.

"Ini adalah berita terbaik yang aku dengar baru-baru ini." Kelelahan di wajah Julian telah hilang, "Sebenarnya aku berpikir pada hari perceraianmu, aku akan menemanimu ke sana. Tapi, sekarang sepertinya aku hanya bisa membiarkanmu pergi sendiri."

"Lebih baik kamu tidak muncul. Kalau merangsang harga diri Nando yang tinggi dan dia menyesalinya lagi, maka aku akan mendapat masalah lagi."

Julian mengangguk dan tidak mengatakan apa-apa.

Untuk waktu yang lama, Julian hanya menatapnya diam-diam. Pada saat ini, Febi mengenakan piyama sederhana, dengan aroma sabun mandi di tubuhnya, juga rambutnya yang sedikit terkulai dan wajahnya yang tanpa riasan. Di bawah sinar bulan, Febi terlihat bersih dan menawan, hingga membuat jantung Julian berdebar.

Julian membungkukkan kepalanya. Bibir Julian perlahan mendekat pada bibir Febi. Dia dari awal sudah ingin menciumnya.

Akan tetapi....

Sebelum menyentuhnya, telepon sudah berdering. Julian mengerutkan kening dan menatap Febi. Febi tertawa dan melangkah mundur sedikit, "Cepat jawab teleponnya, telepon saat selarut ini mungkin ada masalah."

Julian mengeluarkan ponsel dan meliriknya, "Nenek. Mungkin menebak aku keluar untuk mencarimu."

"Oh." Mata Febi menjadi gelap, tapi dia masih mengangguk, "Ayo."

Setelah melirik Febi, Julian menempelkan ponsel ke telinganya. Febi tanpa sadar ingin mundur selangkah agar tidak mendengarkan isi pembahasan itu, tapi Julian enggan melepaskannya. Dia melingkarkan lengannya dan memeluk Febi kembali ke pelukannya.

Julian dan Nyonya Besar hanya berbicara beberapa patah kata, lalu menutup telepon.

"Sebaiknya kamu pergi lebih awal. Semakin lama kamu tinggal di sini, Direktur Utama akan semakin marah padaku." Febi mendorongnya.

"Baiklah, kalau begitu aku pergi." Julian menatapnya dalam-dalam. Setelah berlama-lama, dia baru melepaskannya.

Febi sudah terlepas dari pelukannya, hingga membuat Julian merasa kosong dan sedikit dingin.

Jika memungkinkan, Julian ingin memeluknya seperti ini....

"Oke ... kalau begitu, selamat tinggal." Febi tersenyum, dia bahkan mengangkat tangannya dan melambai padanya.

Dalam hati Febi, ada perasaan keengganan yang terus bermunculan.

Begitu Julian pergi, Febi tidak akan bertemu dengannya selama beberapa hari.

Ada beberapa orang yang bahkan sebelum pergi, sudah mulai merindukannya....

Mungkin seperti itulah rasanya.

Agak buruk.

Julian membuka pintu mobil dan duduk. Kemudian, lampu dinyalakan.

Febi hanya berdiri di sana dan menonton dengan linglung sambil mendengarkan suara mesin. Rasa kehilangan yang tumbuh di hatinya membuat Febi merasa geli. Dia sudah berusia 20 lebih dan bahkan pernah menikah, kenapa dia masih khawatir kehilangan dan terjerat di dalamnya?

Tepat ketika Febi memutuskan untuk pergi lebih dulu, pintu mobil tiba-tiba didorong terbuka. Julian membungkuk untuk keluar dari mobil dan berdiri di depannya.