"Aku awalnya ingin menunggumu bercerai ... tapi aku tidak bisa menunggu sekarang!"
Setiap kata yang Julian ucapkan begitu mendominasi dan keras. Namun, tidak hanya tidak bisa membenci ucapannya, tapi malah terdengar sangat manis.
Seolah-olah Julian terus-menerus menyatakan hak miliknya, yang membuat pikiran Febi menjadi kosong.
...
Malam ini dilalui dengan gairah dan cinta.
Setiap kali, pada menit terakhir, Julian akan memilih cara yang mencegah kehamilan.
Hal ini adalah yang terbaik untuk mereka sekarang.
Tidak terbayangkan betapa memalukan situasi mereka jika Febi hamil pada saat seperti itu.
...
Keesokan harinya.
Febi terbangun sendiri.
Ketika Febi membuka mata, dia melihat cahaya pagi menembus melalui jendela, menyinari seluruh ruangan hingga menjadi warna emas.
Saat Febi menggerakkan tubuhnya, rasa sakit segera menjalar ke tubuhnya.
Faktanya, Julian hanya menginginkannya dua kali tadi malam. Febi tahu Julian sama sekali tidak puas. Akan tetapi, karena ini adalah pertama kali Febi, Julian tidak berani terlalu egois.
Febi berbalik, wajah tampan yang membuat orang terengah-engah terlihat olehnya. Seketika Febi terpesona dan jari-jarinya ingin mendarat di pipinya, tapi sebelum Febi menyentuh ujung hidungnya, dia menarik kembali tangannya dan membeku di udara.
Febi tidak ingin mengganggunya.
Memikirkan kemesraan mereka berdua tadi malam, Febi merasa wajahnya memerah dan setiap bagian tubuhku terasa panas.
Omong-omong, Febi benar-benar tidak tahu bagaimana menghadapinya untuk sementara waktu. Sepertinya akan sangat canggung!
Jelas-jelas mereka berdua masih dalam perang dingin kemarin, kenapa malam hari mereka menjadi seperti ini? Febi bahkan tidak memiliki kekuatan untuk menolaknya.
Selain itu, Nyonya Besar, Vonny dan Nando semuanya ada di sana....
Mereka berdua menghilang tadi malam. Dengan kelihaian Nyonya Besar, tidak mungkin dia tidak mengetahuinya.
Febi merasa bingung, dia sudah bisa menduga pasti akan ada badai yang menunggunya.
Namun apakah dia menyesalinya? Tidak. Febi bukan saja tidak menyesalinya, dia bahkan menatap Julian seperti ini dan merasakan perasaan aneh yang tak terlukiskan di hatinya. Perasan itu muncul sedikit demi sedikit hingga memenuhi hatinya....
Apakah ini namanya suka?
Mungkin, bukan hanya suka, tapi ... lebih dari suka....
Febi melirik Julian lagi. Kemudian, dia bangkit dari lengan Julian dan dengan lembut mengangkat selimut, lalu turun dari tempat tidur dan berjalan ke lantai bawah.
Tidak ada suhu tubuh Julian yang menyelubunginya, Febi merasa sedikit enggan untuk pergi.
Namun, sebelum Nyonya Besar datang, dia harus pergi.
Febi turun ke bawah. Pakaian yang berserakan di lantai membuatnya merasa malu. Untungnya, Julian belum bangun jadi semua ini tidak terlihat olehnya.
Febi memakai baju renangnya yang sudah kering, lalu mengambil handuk mandi Julian dan melipatnya dengan baik. Kemudian, dia berencana untuk keluar, tapi....
Di atas kepalanya, suara yang agak malas tiba-tiba datang, "Kamu akan pergi begitu saja?"
Febi mendongak. Febi melihat Julian berdiri di tangga dan menatapnya dari atas ke bawah. Julian tidak mengenakan sehelai pakaian pun, hingga memperlihatkan tubuhnya yang seperti patung pahat sempurna. Otot dada yang kuat dan seksi, menunjukkan kekuatan dan fisik yang hanya dimiliki oleh seorang pria.
Febi membuang muka dan tidak melihat lagi, "Apakah aku yang membangunkanmu?"
Julian tidak menanggapi, dia hanya turun dalam diam. Febi dengan cepat menyentuh handuk yang disimpan di samping dan menyerahkannya dengan mata tertutup. Febi mendengar tawa rendah Julian yang penuh minat, lalu merasakan tangannya yang menjadi ringan, handuk mandi sudah diambil olehnya.
Julian menyipitkan matanya. Ketika Febi melihat Julian dengan patuh membungkus tubuh bagian bawahnya yang membuat orang mimisan, dia baru membuka matanya.
Namun, sebelum Febi bisa bernapas lega, Julian mengulurkan lengannya yang panjang dan menarik tubuh Febi ke dalam pelukannya. Jarak keduanya begitu dekat sehingga Febi bisa dengan jelas merasakan ada sesuatu yang berdiri di bagian bawah tubuh Julian.
Febi terbatuk canggung, lalu dia menggerakkan tubuhnya dengan tidak nyaman dan meletakkan tangannya di dada Julian, "Aku ... aku pergi dulu, kamu keluar sebentar lagi."
"Apakah tubuhmu sudah lebih baik?" Julian jelas tidak peduli dengan kata-kata Febi. Dia hanya menundukkan kepalanya dan melirik Febi sekilas.
Febi tidak bisa menahan diri mengingat adegan Julian memijatnya tadi malam, hingga wajahnya memerah dan jari-jari yang menempel di dada Julian menjadi sedikit menegang.
Takut Julian akan melakukan trik itu lagi, Febi menggigit bibir bawahnya dan menggelengkan kepalanya, "Tidak apa-apa, sudah membaik...."
"Hmm. Satu hal lagi...."
"Apa?"
Wajah Julian sedikit serius dan tatapannya menjadi lebih serius dari sebelumnya, "Kamu pindah dari Jalan Akasia?"
"Ah, ya." Julian tidak mengungkitnya, Febi bahkan lupa memberitahunya tentang hal itu.
"Kenapa?"
Febi menjelaskan, "Seperti yang kamu tahu, rumah itu milik Keluarga Dinata. Karena aku ingin bercerai dengan Nando, tentu saja aku tidak bisa tinggal di rumah mereka lagi."
Julian mengangkat alisnya sedikit.
Sepertinya dia salah paham tentang sesuatu.
"Kalau begitu kamu tidak tinggal di Kediaman Keluarga Dinata sekarang?"
"Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?" Terkecuali Febi telah gila, dia baru akan kembali ke Kediaman Keluarga Dinata.
"Aku kembali ke Jalan Akasia hari itu dan staf di gerbang yang mengatakannya. Dia memberitahuku...." Julian berhenti sejenak dan menyipitkan matanya, " Nyonya Muda Dinata telah pindah. Selain itu, dia dijemput oleh Pak Nando."
Julian sengaja menekankan tiga kata "Nyonya Muda Dinata". Terlihat jelas Julian ingin memberitahu Febi, dia peduli dengan tiga kata ini.
Jadi....
Apakah Julian cemburu?
Febi tiba-tiba merasa penampilan Julian sedikit lucu hingga dia tidak bisa menahan tawa.
Tawa ini membuat wajah Julian menjadi semakin masam.
Julian mencubit dagu Febi dan mencium bibir dengan sedikit kasar. Setelah beberapa saat, Febi kehabisan napas karena ciuman itu, tangan kecilnya sedikit gemetar dan menggenggam lengan Julian sambil memohon, "Aku tidak memintanya untuk membantuku pindahan, dia datang sendiri ... jangan mengejekku lagi...."
"Ketika kamu memperkenalkan diri kepada seseorang, apakah kamu suka menggunakan tiga kata "Nyonya Muda Dinata"?" Suara Julian terdengar serak. Matanya yang dalam tertuju pada mata Febi yang jelas terlihat bingung dan telapak tangannya yang besar menggenggam pinggang mungil Febi dengan erat, "Aku lebih suka panggilan "Nona Febi"!"
Karena jarak keduanya tiba-tiba begitu dekat, napas Febi terhenti. Tubuh bagian bawah mereka bersandar begitu dekat sehingga tanpa sadar Febi merasa sekujur tubuhnya mati rasa.
Bahkan lidahnya sedikit kaku, "Kamu salah paham, aku tidak menyukainya.... Selain itu, aku belum pernah memperkenalkan identitasku seperti ini...."
Julian puas dengan jawaban Febi dan mencium bibirnya dalam-dalam.
Terobsesi, nostalgia, enggan....
Seolah tidak pernah cukup untuk berciuman dengannya.
Febi dicium hingga sekujur tubuhnya mati rasa sehingga dia tanpa sadar melingkarkan lengannya di leher Julian. Kemudian, dia berdiri berjinjit dan dengan penuh semangat menanggapi ciuman Julian.
Akhirnya....
Febi meninggalkan vila terlebih dahulu.
Febi berjalan sendirian di bawah sinar matahari dengan suasana hati yang bahagia. Dia menatap ke langit dan awan putih yang seperti permen kapas.
Febi berpikir....
Seharusnya rasa awan juga manis.
Sama seperti hati Febi saat ini.
"Nona Febi, aku tidak menyangka kamu bangun sepagi ini."
Saat Febi baru melewati hutan bambu, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang membuat semua kegembiraan di hatinya hancur.
Nyonya Besar berdiri di belakang Febi dan menatapnya sambil tersenyum. Dibandingkan dengan Febi yang sekarang masih mengenakan baju renang, Nyonya Besar sudah berpakaian bagus dan rapi.
"Direktur Utama," sapa Febi sambil memaksakan untuk tersenyum.
"Nona Febi terlihat sangat bahagia hari ini. Apakah kamu bertemu dengan hal yang menggembirakan di pagi hari? Maukah kamu menceritakannya padaku?"
Kata-kata Nyonya Besar lembut dan tidak ada kata-kata tajam dalam ucapannya, tapi itu membuat Febi merasakan banyak tekanan. Seolah-olah Nyonya Besar tahu apa yang terjadi tadi malam.
"Sebenarnya ... aku tidak bertemu dengan hal menggembirakan, hanya saja ... pemandangan di sini indah, aku keluar di pagi hari dan menghirup udara segar, aku merasa sangat nyaman...." Febi mencoba untuk menemukan alasan yang masuk akal. Namun, apakah dia dapat meyakinkan Nyonya Besar, dia sama sekali tidak percaya diri.
Tidak tahu apakah Nyonya Besar percaya atau tidak, dia hanya sedikit mengangguk, "Kalau begitu aku tidak mengganggu Nona Febi menghirup udara segar. Kalau Nona Febi suka tempat ini, lebih baik kamu tinggal bersama suamimu untuk beberapa hari lagi."
Febi tersenyum sedikit, "Terima kasih atas kebaikan Direktur Utama. Tapi, kami sedang menjalani prosedur perceraian, jadi tidak cocok berada di lingkungan seperti ini."
Nyonya Besar tertegun sejenak dan menatap Febi dengan tatapan yang dalam.
Setelah mengatakan ini, Febi merasa jauh lebih santai. Kemudian, dia sedikit membungkuk, "Aku akan pergi dulu. Sampai jumpa di perusahaan!"
Tanpa jeda lebih lanjut, Febi berbalik ke samping, menghindari Nyonya Besar dan berjalan pergi. Nyonya Besar berbalik dan terus melihat bayangan yang pergi dengan linglung. Sampai bayangan itu menghilang sepenuhnya, dia baru menarik kembali pandangannya dan mengerutkan kening.
Tadi malam....
Febi dan Julian benar-benar bersama?
...
Keesokan harinya.
Febi muncul di perusahaan sambil membawa laptop dan seseorang berkata, "Febi, kamu terlihat bahagia hari ini, apakah kamu bersenang-senang di akhir pekan?"
Febi terkejut sesaat dan tanpa sadar menyentuh wajahnya.
Apakah terlihat sangat jelas?
Dia tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Mungkin karena aku akhirnya sedikit bersantai selama akhir pekan. Bagaimanapun juga, aku sudah lelah akhir-akhir ini."
Tasya tersenyum padanya, matanya dipenuhi dengan senyum ambigu. Febi terbatuk karena malu, lalu meraih laptop dan kembali meja kerjanya, dia sengaja berpura-pura tidak mengerti senyum Tasya dan berkata, "Tasya, aku telah menemukan rumah yang cocok. Aku akan pindah dari tempatmu dalam dua hari ke depan."
"Kenapa terburu-buru untuk pindah? Bukankah seharusnya...." Tasya merendahkan suaranya dan mencondongkan tubuh lebih dekat ke telinganya, "Mungkinkah kamu tinggal bersamaku hingga memengaruhi hubunganmu dengan seseorang?"
Indera keenam seorang wanita benar-benar menakutkan.
Setelah Febi kembali kemarin, Tasya terus mengendus tubuhnya. Dia berkata ada aroma Julian di tubuh Febi. Sejujurnya, Febi sudah mandi beberapa kali, bagaimana mungkin ada aroma Julian?
Alhasil....
Tasya memelototinya dan menginterogasinya sepanjang malam.
Tentu saja, pada akhirnya Febi mengutarakan semuanya.
"Aku khawatir merusak hubunganmu dengan seseorang. Jangan pikir aku tidak melihatnya, siapa yang berciuman denganmu di lantai bawah kamis lalu?"
Tasya jelas tidak menyangka Febi akan melihat dengan jelas. Dia tertegun sejenak dan segera berkata dengan tegas, "Tidak ada!"
"Lalu kenapa wajahmu memerah?"
"Aku ... aku tidak."
Febi tertawa, "Ya, tidak. Kamu dicium secara paksa oleh seseorang. Benar, 'kan?"
"... aku tidak mau berbicara padamu lagi." Tasya kembali ke meja kerjanya dengan wajah merah dan mengabaikan Febi.
Febi tertawa puas karena akhirnya dia merasa tenang. Namun, apakah emosinya benar-benar terlihat jelas? Semua orang melihatnya dengan jelas.
Sekitar jam 10, sekretaris dari Agustino mengadakan rapat. Sebuah rapat kecil, Julian juga ada di sana.
Selama rapat, Tasya sedang membuat laporan kerja. Febi sedikit termenung dan matanya terus-menerus tertuju pada seseorang.
Febi berusaha keras untuk berkonsentrasi, tapi ada beberapa hal benar-benar di luar kendalinya.
Orang itu duduk diam di sana, seperti tubuh bercahaya yang dengan mudah menarik perhatian Febi. Selain itu, tidak hanya Febi, tapi mata staf wanita lainnya juga terus mengarah pada orang itu dan Agustino.
Namun, Julian bekerja dengan sangat serius. Kadang-kadang, matanya melirik ke Febi, tapi setelah jeda singkat, dia memalingkan wajahnya dan terus mendengarkan laporan Tasya. Sesekali dia menundukkan kepalanya untuk berkomunikasi dengan Caroline.
Meski begitu, Febi merasakan kepuasan yang tak terlukiskan di hatinya. Sesekali saling memandang, dia bisa melihat fluktuasi dangkal di mata Julian.
Rapat berakhir dengan cepat dan semua orang keluar satu demi satu. Febi juga seperti orang lain, dia berkemas dan hendak keluar. Namun, ketika dia melewati Julian, jari-jarinya tiba-tiba digenggam.
Kehangatan dari ujung jari Julian membuat Febi sedikit terkejut.
Febi menundukkan kepalanya, Julian terdiam. Febi tanpa sadar melirik rekan-rekannya di sekitarnya. Sebelum mereka menyadari gerakan kecil di antara keduanya, Febi dengan cepat menarik kembali tangannya dan memeluk dokumen di tangannya dengan kedua tangan.
Jantung Febi berdebar kencang.
Namun, Febi tidak pergi dengan tergesa-gesa, dia hanya berdiri di samping Julian dan menunggu orang terakhir keluar.
Pada akhirnya, hanya ada dia, Julian dan Caroline yang tersisa di seluruh kantor. Caroline juga tidak keluar, dia hanya duduk di samping. Saat ini, Caroline benar-benar seperti bayangan transparan.
"Ayo makan siang bersama." Julian berdiri, lalu menggenggam tangan Febi dan dengan santai memainkan ujung jarinya.
Jantung Febi masih berdegup kencang.
Tanpa sadar dia melirik Caroline di sebelahnya, lalu menggelengkan kepalanya dan berkata, "Mungkin tidak bisa."
"Kamu punya sesuatu untuk dilakukan?"
"Aku punya janji untuk bertemu dengan karyawan pabrik pada jam 12." Jika memungkinkan, Febi sebenarnya ingin makan malam dengan Julian....
"Oh." Julian sedikit merendahkan suaranya, tapi dia berkata, "Bisnis lebih penting. Namun, aku mungkin tidak punya waktu untuk menemanimu beberapa hari ini."
Julian menatap Febi dengan tatapan meminta maaf, "Sejak kemarin Nenek dalam suasana hati buruk dan dia mencoba menyiksaku. Dia berkunjung ke sana-sini. Mulai besok, aku harus menemaninya ke Hotel Hydra di Kota F, mungkin akan memakan waktu beberapa hari baru bisa kembali."
Febi merasa tertekan, "Kamu menderita migrain, jangan terlalu lelah. Kalau kamu benar-benar merasa tidak tahan, beri tahu Direktur Utama. Kamu adalah cucunya, dia pasti tidak akan menyulitkanmu."
Julian tertawa, "Apakah kamu mengkhawatirkanku?"
Febi juga tertawa dengan bahagia, "Kamu adalah bosku, apakah salah aku peduli padamu?"
Julian menjentikkan dahi Febi dengan jari-jarinya, "Hanya bos?"
Febi tertawa, tapi jawabannya sudah jelas. Febi menggosok dahinya, dia tiba-tiba memikirkan sesuatu dan berkata, "Ngomong-ngomong, aku tidak perlu merepotkan Ryan tentang perceraian antara Nando dan aku."
"Kenapa?"
"Tadi malam, Nando tiba-tiba meneleponku dan berkata dia ingin bercerai dengan damai. Dua hari ini!" Febi berpikir sejenak, "Mungkin pemilihan dewan direksi sudah dekat, demi tidak membesar-besarkan masalah perceraian, dia hanya bisa menenangkanku seperti ini."
Julian mengangguk, "Tidak peduli apa yang dia pikirkan, tidak ada harapan baginya untuk masuk dewan direksi."
"Hmm? Kenapa kamu tahu?" Febi tidak tahu apakah itu ilusi, tapi Febi selalu merasa Julian tampaknya sangat memperhatikan dewan direksi Perusahaan Dinata.
Julian tidak mengatakan apa-apa lagi, dia hanya melihat ke arloji, "Apakah kamu sudah harus pergi? Hanya tersisa setengah jam sebelum janjimu dengan pabrik."
Febi berteriak 'gawat' dan bergegas keluar. Melihat punggung yang menjauh, mata Julian sedikit gelap dan sudut bibirnya tersenyum.
Caroline berdiri, lalu meliriknya dan berkata sambil tersenyum, "Setelah pergi ke Vila Sunrise kali ini, suasana hati Pak Julian tampaknya telah berubah 360 derajat."
"Sejelas itu?" Julian tidak membantahnya.
Caroline mengangguk sambil tersenyum, "Semua orang yang memiliki mata bisa melihatnya. Namun, aku rasa Nyonya Besar lebih mengerti."
Bukankah seperti itu?
Meskipun Nyonya Besar tidak bertanya sepatah kata pun tentang apa yang terjadi malam itu, di dalam hatinya dia sangat jelas. Alasan mengapa dia tidak bertanya karena dia ingin mereka mundur. Namun, Nyonya Besar tidak tahu sebenarnya hal itu tidak diperlukan bagi mereka.