Chereads / Direktur, Ayo Cerai / Chapter 112 - ##Bab 112 Menunggu Di Sini!

Chapter 112 - ##Bab 112 Menunggu Di Sini!

"Kenapa kamu melanggar janjimu?" tanya Julian dengan suara yang dalam sambil meremas dagu Febi.

Aura Julian yang jelas marah itu menyelimuti Febi. Mata yang disinari lampu-lampu vila memperlihatkan keinginan dan harapan yang melonjak hingga membuat orang gemetar.

"Aku tidak bermaksud...." Begitu Febi berbicara, dia sendiri tersipu terlebih dulu. Febi biasanya tidak berbicara seperti ini, tetapi sekarang dia berbicara, suaranya lemah dan lembut hingga bahkan Febi tidak bisa mengatur napasnya.

Mata Julian menegang dan napasnya menjadi lebih berat. Dia menundukkan kepalanya dan mencium bibir Febi dengan tidak sabar. Berbagai emosi yang berkecamuk di dada Julian membuatnya mencium semakin keras.

Kali ini bukan pertama kalinya Julian mencium Febi dalam waktu lama. Namun, kali ini Julian tidak selembut sebelumnya, dia lebih seperti binatang buas yang menyerang dengan cepat dan sangat agresif.

Napas Febi terengah-engah.

Febi menjelaskan dengan napas yang tidak stabil, "Aku ... aku tidak ingin menciumnya...."

Febi mundur ke belakang. Dia berusaha keras untuk berpikir jernih dan menjelaskan kepada Julian. Mata Febi yang basah itu penuh dengan ketulusan.

Febi tidak ingin Julian salah paham....

Febi merasakan sesak napas yang tak tertahankan.

Julian memegang pipinya dengan satu tangan. Panas di telapak tangan Julian seperti api yang membara, membakar pipi Febi hingga menjadi semerah bunga sakura di musim semi.

Julian tidak pernah mengatakan sepatah kata pun, dia hanya menatap Febi dengan mata yang gelap.

Hal ini membuat Febi tidak mengetahui apakah Julian memercayainya atau tidak. Febi menjilat bibirnya dan menambahkan, "Itu benar-benar hanya kecelakaan, kamu percayalah padaku...."

"... aku tahu." Julian membuka mulutnya dan suaranya menjadi serak.

Febi menatapnya dengan heran.

Tahu?

Kalau Julian tahu, mengapa dia begitu marah?

Febi tidak mengerti.

Julian tidak marah karena Febi melanggar janjinya, tapi dia marah karena pria lain telah mencicipi kecantikannya. Dibandingkan dengan marah pada Febi, Julian lebih marah pada dirinya sendiri.

"Bisakah kita ... bisakah kita mengubah cara bicara kita?" saran Febi sambil menundukkan kepalanya.

Selama Febi berpikir saat pintu didorong terbuka, semua orang bisa melihat penampilan ambigu mereka, dia merasakan keringat dingin di sekujur tubuhnya.

"Tidak perlu," tolak Julian dengan tegas, jari-jari Julian terus-menerus memegang bibir Febi dan mata Julian terus menatap bibirnya, "Aku pikir cara ini adalah yang terbaik...."

Astaga!

Dari mana ini yang terbaik?

Ekspresi Julian seolah sudah mencium bibirnya ribuan kali. Sentuhan jari-jari Julian membuat kaki Febi semakin lemah. Jari-jari Febi menegang dan dia hanya bisa menutup mulut Julian, "Kalau begitu menyingkir dulu, aku harus mengganti pakaianku...."

Febi melepaskan tangan Julian dan hendak menarik baju renangnya yang terjatuh. Namun, Julian tiba-tiba mengulurkan tangan, lalu menggenggam tangan Febi yang ramping dan mengangkat tangannya dengan mudah.

Febi gemetar dan mengeluarkan suara "ah". Pada saat berikutnya, Febi baru menyadari betapa berbahayanya tempat ini. Tidak hanya ada orang di kamar. Selain itu, mungkin ada turis lain yang datang dan pergi kapan saja. Febi merasa sangat malu dan menggigit bibirnya dengan penuh semangat.

"Julian...." panggil Febi dengan lembut sambil meraih tangannya dengan wajah memerah, "Jangan seperti ini ... seseorang akan melihat...."

Bibir Julian masih mencium Febi, tapi dia tidak mencium dalam-dalam. Bibirnya hanya menempel di bibir Febi seakan enggan untuk melepaskannya.

Telapak tangan besar itu melepaskan tangan Febi.

Febi segera meletakkan tangannya yang bebas bergerak di pundak Julian. Jari-jari Febi mengepal erat dan napasnya masih terengah-engah.

Febi perlahan membuka matanya yang linglung. Hal yang menarik perhatian Febi adalah wajah tampan Julian yang penuh dengan keinginan, harapan dan rasa sakit. Jantung Febi berdegup kencang dan dia membuka mulutnya untuk meminta Julian melepaskannya. Namun, Julian malah membantu Febi merapikan pakaiannya.

Febi melihat gerakannya dengan terkejut, seolah-olah dia tidak menyangka Julian tiba-tiba berhenti. Baru saja, penampilan Julian seolah-olah dia tidak sabar untuk melahap Febi. Selain itu, sekarang Julian terlihat sedang menahan keinginannya itu.

"Tunggu aku di sini, aku akan segera kembali," ucap Julian dengan suara serak dan menatap Febi.

Mata Febi menunjukkan ekspresi dia tidak mengerti tindakan Julian.

Akan tetapi....

Julian sudah melepaskannya dan tidak menjelaskan lebih lanjut. Julian hanya mencium bibir Febi sejenak dan pergi.

Langkah Julian terlihat stabil, tapi dia pergi dengan tergesa-gesa.

Febi melihat bayangan Julian sambil tertegun.

Begini saja?

Setelah ciuman yang lama, Julian meninggalkan Febi sendirian di sini?

Tangan Febi menyentuh bibirnya yang merah dan bengkak, ujung jarinya sedikit gemetar. Di sana, seolah-olah masih ada aroma Julian.

Rasa segar seperti mint bercampur dengan aroma lembut anggur merah yang tertinggal di bibir Febi, terasa sangat manis seakan perasaan sedang jatuh cinta....

Keinginan mereka berakhir dengan tiba-tiba, Febi seharusnya merasa lega. Namun, ketika dia ditinggalkan di sini secara misterius seperti ini, Febi malah merasa sedikit kecewa.

Febi benar-benar merasa sedih.

Selain itu....

Jelas-jelas Julian yang menggodanya terlebih dulu. Sekarang, dia adalah orang pertama yang mundur dan pergi dengan terburu-buru. Febi bahkan tidak tahu kemana Julian pergi.

Febi merasa tertekan dan berpikir aneh, hingga dia tidak bisa menahan diri untuk melihat ke arah Julian pergi. Embusan angin dingin bertiup, tubuh Febi yang basah kuyup membuatnya tersadar dari lamunannya. Febi berencana untuk berdiri di sudut.

Pada saat ini....

Pintu kamar lain dengan perlahan terbuka dari dalam.

Febi mendengar suara dan mendongakkan kepalanya. Dia melihat Vonny dengan rambut terurai dan piyama berwarna polos berjalan keluar dari ruangan. Gerakannya sangat ringan seperti seorang pencuri. Dia jelas khawatir akan mengganggu Nyonya Besar yang berada di dalam kamar.

Ketika Vonny berbalik, dia melihat Febi berdiri di sana. Vonny terkejut hingga menutupi dadanya dan wajahnya menjadi dingin.

"Kenapa kamu berdiri di luar?" tanya Vonny.

"Kalau tidak? Apakah menurutmu aku harus berada di ruangan yang sama dengan Nando?" tanya Febi dengan acuh tak acuh. Faktanya, Febi merasa terkejut.

Untungnya Julian pergi dengan cepat. Jika tidak, Vonny pasti akan melihat pemandangan tadi.

Febi tidak tahu masalah apa yang akan terjadi setelah Vonny memanggil Nyonya Besar?

"Sekarang Nando mabuk dan pingsan di kamar, kamu tidak merawatnya? Kalau dia butuh sesuatu, siapa yang akan membantunya?" Nada suara Vonny bahkan lebih buruk, dia seakan kesal karena Febi tampak acuh tak acuh.

Ekspresi Febi menjadi dingin, dia benar-benar tidak ingin bertengkar dengan Vonny, jadi dia hanya meliriknya, "Posisi apa yang kamu gunakan untuk menanyaiku?"

Satu kalimat yang membuat Vonny tidak bisa berkata-kata.

Vonny memelototinya, lalu mendorong pintu dan masuk. Dia mengkhawatirkan Nando, jadi dia tidak berniat berdebat dengan Febi.

Akhirnya, Febi merasa damai dan menghela napas lega. Saat teringat saat ini dia masih mengenakan baju renang basah, Febi berpikir untuk mandi dan berganti piyama.

Febi berbalik dan bersiap kembali ke kamar untuk mengambil baju ganti, kemudian pergi untuk membuka kamar sendiri. Saat pintu baru didorong terbuka sedikit, pergelangan tangannya tiba-tiba ditarik dari belakang.

Febi menoleh karena terkejut dan yang terlihat olehnya adalah tubuh tinggi Julian.

"Ikut denganku."

Julian tidak menjelaskan panjang lebar. Dia mengulurkan tangan dan menutup pintu yang dibuka oleh Febi. Kemudian, dia menarik Febi dan berjalan cepat ke arah lain.

"Ke mana kita akan pergi?" tanya Febi.

Julian memiliki kaki yang panjang dan dia berjalan dengan tergesa-gesa, Febi ditarik olehnya dan harus berlari untuk mengikuti langkahnya.

"..." Namun, Julian sama sekali tidak menjawab Febi.

"Aku mau mengganti pakaianku...."

"Tidak perlu! Sebentar lagi, tidak ada bedanya memakai pakaian apa pun," jawab Julian, dia bahkan tidak menoleh.

"Apa maksudmu?" Febi tidak mengerti.

"Kamu akan tahu sebentar lagi."

Febi menatap punggung Julian yang lebar, bertanya-tanya apa yang sedang dia rencanakan. Setelah ditarik oleh Julian dan berjalan melewati hutan bambu yang dalam. Di depannya, Febi melihat sebuah vila keluarga tunggal yang indah.

Febi terkejut kenapa Julian membawanya ke sini?

Sebelum bertanya, Julian sudah menggesek pintu vila dengan kartu kamar.

Febi menatapnya, "Kamu ... tadi pergi membuka kamar?"

"Hmm." Julian hanya berdeham pelan. Dia membuka pintu, lalu berjalan masuk dan masukkan kartu kunci ke dalam slot listrik.

Di sana, Febi mengulurkan tangan untuk menyentuh saklar lampu. Namun, saat ujung jari Febi baru menyentuh sakelar dan belum sempat menyalakan lampu, jarinya sudah digenggam oleh sebuah tangan yang besar.

Telapak tangan Julian tebal dan kuat, hingga telapak tangan Febi terlihat lebih ramping dan lemah seolah-olah akan patah dengan satu sentuhan.

Kemudian, Febi merasakan punggungnya yang terasa hangat. Tubuh Julian yang tinggi mendekat dari belakang dan langsung menekan Febi ke dinding.

Napas Febi terhenti sejenak dan dia tanpa sadar menggenggam erat jari-jari Julian, "Kamu ... apa yang kamu lakukan?"

Buruk sekali!

Ketika Febi mengajukan pertanyaan ini, dia merasa pertanyaan itu tidak hanya berlebihan dan bodoh. Dalam situasi ini, apa lagi yang bisa Julian lakukan?

"Tidak bisakah kamu merasakannya?"

Suara Julian sengaja menjadi rendah. Di ruangan yang gelap, suara itu menjadi semakin ambigu. Tubuh Julian bahkan lebih mendekat padanya.

Astaga!

Febi tersentak, hingga jari-jarinya hampir menusuk masuk ke dalam jari Julian.

Pikiran Febi menjadi kosong dan bulu matanya bergetar hebat.

"Sekarang mulai persiapkan mentalmu."

Suara Julian terngiang di telinga Febi.

"Aku akan memberimu waktu yang cukup!"

persiapkan mental?

Febi tidak bodoh, tentu saja dia tahu apa yang Julian bicarakan. Namun, apakah mereka benar-benar boleh seperti ini?

"Julian ..." panggil Febi dengan ragu-ragu sambil memalingkan wajahnya ke samping.

"Kamu panggil aku apa?" tanya Julian dengan nada menggoda.

Kaki Febi menjadi lemah dan dia tidak bisa menahan erangannya.

"Kita ... tidak boleh...."

"Tidak ada yang tidak boleh, aku menginginkanmu malam ini!" Kata-kata Julian sangat mendominasi.

Febi masih meronta, "Semua orang ada di sini, kita seperti ini ... um...."

Kata-kata Febi telah dihentikan oleh ciumannya.

Julian memeluk Febi dengan erat dan membiarkannya bersandar di pelukannya dengan lembut.

Bibir yang terbuka dan terkatup membuat kulit kepala Julian menjadi semakin menegang, dia berharap bisa menelan Febi dalam satu gigitan. Julian menundukkan kepalanya, lalu mencium bibir Febi dengan penuh kasih sayang. Kemudian, dia mundur dan berbisik, "Malam ini, aku ingin menarik kembali semua kata yang aku katakan sebelumnya!"

Kata-kata apa?

Lambat laun, Febi kehilangan akal sehatnya. Dia benar-benar tenggelam dalam rasa manis dan gairah yang Julian berikan.